Tafsir

Makna Al-Yamm: Benarkah Nabi Musa Menyeberangi Laut Merah?

4 Mins read

Kisah Nabi Musa (Moses) dan Fir’aun (Pharaoh) merupakan salah satu kisah fenomenal yang terekam dalam kitab suci Al-Qur’an dan mengandung beragam peristiwa yang luar biasa. Hal yang ikonik tentunya adalah momen Nabi Musa menyeberangi lautan –Arab; al-bahr atau al-yamm–  setelah memukulkan tongkatnya yang memunculkan lintasan kering bagi kaumnya atas perintah dari Tuhan. Penyeberangan itu terjadi karena menghindari pengejaran Fir’aun dan pengikutnya yang bertujuan membinasakan mereka. Sebagaimana diketahui, Fir’aun bersama kaumnya tenggelam setelah berupaya menyusul bangsa Israil yang melewati jalan kering di tengah lautan tersebut.

Mayoritas umat Muslim mengetahui kisah ini karena lazim disampaikan generasi ke generasi secara tematik berlandaskan ayat-ayat dalam Al-Quran. Selain Muslim, umat Kristiani dan Yahudi juga mengenal kisah tersebut karena tercatat dalam Perjanjian Lama. Jadi, para penganut agama abrahamik sudah familiar dengan peristiwa tersebut meskipun dengan interpretasi yang bervariasi.

Al-Qur’an mencatat kisah dalam beberapa surat, misalnya Al-Baqarah ayat 50, Al-A’raf ayat 138, dan Yunus ayat 90. Pada ayat-ayat tersebut, kata al-bahr yang bermakna lautan digunakan. Akan tetapi, pada beberapa ayat lain dengan kasus yang sama, Allah menggunakan kata al-yamm seperti dalam surat A-A’raf ayat 136, Al-Qasas ayat 40, dan Adz-Dzariyat ayat 40. Secara harfiah, baik kata al-bahr ataupun al-yamm sama-sama diinterpretasikan sebagai lautan. Kemudian, adakah perbedaan dari kedua kosakata tersebut? Tulisan singkat ini akan mengulasnya, terutama kosakata al-yamm dari beberapa perspektif.

Makna Al-Bahr dan Al-Yamm dalam Al-Qur’an

Shaleh al-Shaleh dan Aminah al-Ahmad dalam al-Mu’jam al-Shafi fi al-Lughat al-‘Arabiyah mengatakan bahwa al-bahr memiliki makna “tempat luas yang menampung air dalam jumlah besar, baik air asin maupun air tawar.” Singkatnya, al-bahr itu mengarah pada lautan atau bisa juga danau, meskipun jamak diketahui bahwa al-bahr selalu bermakna laut. Sedangkan danau dalam bahasa Arab juga memiliki kata tersendiri, yaitu al-buhairah yang berarti “lautan kecil.” Kata buhairah merupakan sighat tashgir berwazan fu’ail (فُعَيْلٌ) yang menunjukkan bentuk mungil dari sesuatu. Maknanya, danau adalah miniatur lautan dengan kandungan air yang dapat berbeda (asin atau tawar).

Baca Juga  Pentingnya Membaca Al-Qur’an Secara Tartib Nuzuli

Sedangkan al-yamm memiliki makna yang identik dengan al-bahr, seperti terdapat pada surat Al-A’raf ayat 136 tentang penenggelaman Fir’aun. Dalam surat Thaha ayat 39, Nabi Musa dihanyutkan ibundanya ketika masih bayi di al-yamm kemudian sampai di tepian (as-sahil) dan diambil oleh musuh Allah (Fir’aun, atau salah seorang dari keluarganya). Kata al-yamm cocok diartikan sebagai laut karena setelahnya diikuti kata as-sahil, yang bermakna tepian laut atau pantai dalam kamus Al-Ma’any. Meski seringkali kisah Nabi Musa yang disampaikan pada kita bahwa beliau dihanyutkan di sungai (Nil) yang mengarah langsung ke salah satu komplek istana kerajaan Mesir Kuno, sebagaimana yang terdapat dalam penjelasan Ibnu Katsir dalam kitabnya, Tafsir Al-Quran Al-Adzim. Hal ini juga tervisualisasikan dalam salah satu film terkait, yaitu The Ten Commandments yang, meskipun, mengambil referensi dari kitab Perjanjian Lama.

Kata Al-Yamm dan Relasinya dengan Eksodus Bangsa Israil

Kata al-yamm diyakini bukan murni dari bahasa Arab, melainkan serapan dari (kemungkinan besar) bahasa Ibrani. Dalam kitab Perjanjian Lama sendiri, Nabi Musa tercatat menyeberangi yam-suph. Kata tersebut lazim diartikan sebagai Red Sea, alias Laut Merah. Ini dikuatkan ahli kelautan Doron Nof dan Nathan Paldor, bahwa angin kencang dari timur (strong east wind) bisa saja menyebabkan air laut terbelah. Dalam artikel ‘Statiscics of Wind over the Red Sea with Application to the Exodus Question’, mereka menjelaskan bahwa angin yang berkelanjutan (sustained wind) bisa menyebabkan surutnya garis pantai teluk Suez lebih dari 1 Km dan menampakkan petak dasar Laut Merah yang memungkinkan adanya lintasan kering untuk menyeberang. Pendapat Nof dan Paldor ini nampaknya selaras dengan interpretasi para mufasir Al-Qur’an, salah satunya Ibnu Katsir, terkait tema yang sama (QS. Al-A’raf: 136).

Baca Juga  Tafsir Waqfi: Jalan Tengah Menyikapi Berbagai Penafsiran Al-Quran

Akan tetapi, sebagian peneliti ada yang berpendapat lain. Dengan melihat jejak mobilitas bangsa Israil ketika eksodus, itu dapat menguatkan pendapat mereka. Joseph Offord dalam jurnal Palestine Exploration Quarterly mengemukakan pendapat Sir William Willcocks bahwa Nabi Musa dan kaumnya meninggalkan Mesir menuju pesisir laut Mediterania ke arah Gaza dan melewati yam-suph, yang dia artikan sebagai “Sea of reeds or weeds”, perairan, danau atau sungai yang dipenuhi ilalang, dimana Fir’aun beserta pengikutnya ditenggelamkan sebagaimana dalam histori Yudaisme.

***

Sir William yang ahli dalam hal perairan delta Nil masa lalu dan sekarang, mengatakan bahwa yam-suph ini merupakan salah satu percabangan sungai Nil paling timur (Pelusiac). Artikel Mark Harris, ‘How did Moses part the Red Sea?’, juga memaparkan beberapa pendapat sarjana terkait kondisi geografis yang menunjukkan bahwa di sebelah timur delta sungai Nil terdapat deretan danau dari utara ke selatan laut Mediterania menuju Teluk Suez, termasuk di antaranya danau Ballah, danau Timsah dan bitter lake. Danau-danau ini saling bertemu oleh bentangan geografis, yaitu Wadi Tumilat dan diyakini membentuk jalan raya masa kuno serta diasumsikan sebagai rute pelarian bangsa Israil kala itu. Hal ini juga yang ditelusuri oleh James Hoffmeier.

Aly Bey Shafei juga pernah menyelidiki jejak irigasi Mesir Kuno, merekonstruksi rute eksodus, dan menggambarkan pengaruh angin terhadap permukaan air di wilayah Delta. Ia mencontohkan seperti jalan dari wilayah Baltim ke Burj al-Burullus yang tergenang air ketika angin barat bertiup kencang dan kering ketika tertiup angin kencang dari timur. Hanya saja ketinggian permukaan air di wilayah tersebut, menurut gambar-gambar yang ada, tidak lebih dari mata kaki. Poin terakhir inilah yang dikritisi oleh Nof dan Paldor karena danau itu terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya penurunan permukaan air yang signifikan karena angin kencang.

Baca Juga  Tafsir Akhlak terkait Covid-19

Mukjizat Nabi Musa

Dalam Al-Qur’an sendiri, jelas bahwa al-yamm merupakan sinonim dari al-bahr. Bagi orang religius, hal ini dapat diterima karena termasuk mukjizat Tuhan kepada Nabi-Nya dan tercatat dalam kitab suci. Mukjizat, menurut Quraish Shihab, adalah kejadian luar biasa yang sukar untuk dijangkau oleh akal manusia. Logika manusia yang lebih condong pada realita ilmiah tentu akan berupaya mencari bukti-bukti logis yang berkaitan dengan suatu mukjizat, sebagaimana para sarjana yang menginterpretasikan kisah penyeberangan Nabi Musa dan bangsa Israil di atas. Selama memiliki bukti-bukti yang valid, pendapat-pendapat yang berkenaan bahwa bangsa Israil sebenarnya tidak melewati Laut Merah dan makna yam-suph lebih dekat dengan sea of the reeds dibandingkan Red Sea adalah sah-sah saja. Terlebih mereka mengemukakannya disertai kondisi geografis negara yang menjadi latar peristiwa tersebut.

Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar yang melengkapi risalah Nabi dan Rasul terdahulu tentu tidak akan melewatkan peristiwa besar yang tercatat dalam kitab-kitab sebelumnya, termasuk Taurat (Perjanjian Lama). Memang, kisah Nabi Musa dalam Al-Qur’an hanya dipaparkan secara global tanpa disertai perincian mengenai latar peristiwa secara detail. Hal demikian karena dalam Islam sendiri, peristiwa besar mengenai umat terdahulu lebih utama untuk dijadikan pelajaran dan ibrah bagi kehidupan daripada menghabiskan masa untuk menelusurinya lebih rinci. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa penelitian-penelitian mengenai lokasi peristiwa-peristiwa itu juga berharga untuk menambah khazanah ilmiah manusia.

Editor: Soleh

Avatar
8 posts

About author
Alumni TMI PP. Darussalam Kersamanah, Mahasiswa
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *