Tafsir

Menegakkan Keadilan adalah Perintah Al-Qur’an

4 Mins read

Perintah Menegakkan Keadilan

Menegakkan Keadilan – Tidak jarang di dalam Al-Qur’an, Tuhan menyeru dengan menggunakan julukan tertentu. Contohnya, seperti yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 8 berikut ini:

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Maidah: 8)

Sayangnya kita sering lupa, bahwa ketika Tuhan menyebut ‘orang-orang beriman’, bukan berarti bahwa setiap yang membaca firman ini sudah pasti dinilai beriman. Justru dibalik itulah, Tuhan sedang menerangkan prasyarat untuk seseorang bisa dianggap beriman kepada-Nya. Syarat itu disebutkan pada perintah yang mengikuti setelahnya (Jadilah… dan seterusnya).

Disini perlu dipahami terlebih dahulu, bahwa makna iman melampaui sekedar percaya, namun juga melaksanakan perintah Tuhan itu. Demikianlah, tidak dapat dikatakan telah beriman seseorang bila ia tidak membuahkan keyakinan dalam perbuatan nyata, sebagaimana kehendak-Nya. Sholat, misalnya, adalah salah satu dari perintah-Nya.

Tiga Syarat Keimanan Seseorang

Supaya makin jelas, kita lanjutkan pembacaan pada kata-kata berikutnya. ‘Jadilah’ yang mengawali kalimat itu bermakna perintah. Sedangkan menjadi seorang ‘Penegak’ bermakna bahwa manusia harus menjadi subjek aktif, atau pelaku yang secara sadar mengusahakan keadilan di muka bumi. Ini sekaligus menjadi syarat pertama.

Termasuk ‘menjadi saksi dengan adil’, mengisyaratkan bahwa apa yang kita saksikan secara langsung di sekitar kita merupakan objek penegakan keadilan. Sangat dimurkai Tuhan, bila kemudian seseorang lari dari kedzaliman yang dia temui untuk alasan apapun.

Bahkan, akan lebih dimurkai seseorang yang menyaksikan kedzaliman yang ia lakukan sendiri. Oleh sebab itulah, melihat ketidakadilan yang dilakukan orang lain saja kita disuruh melawan. Sehingga, menjadi pelaku ketidakadilan kita akan menanggung dosa dua kali lipat banyaknya.

Baca Juga  Hubungan QS. Ar-Ra'd: 29 dengan Psikologi Kebahagiaan

Pemaknaan itu membawa kita berhubungan dengan syarat yang kedua. Dijelaskan dalam ayat tersebut, bahwa manusia musti berlaku adil kepada siapapun sekalipun hatinya membenci suatu pribadi atau kelompok tertentu. Yang demikian ini merupakan suatu wujud ‘ketakwaan’ juga. Namun syarat ini belumlah cukup untuk dinyatakan berimannya seseorang.

Terdapat syarat ketiga, ’Bertakwalah’ yang mengandung makna agar kita menemukan dan melaksanakan perintah Tuhan yang lain. Seseorang menjadi beriman tidak bisa hanya dengan melaksanakan dua syarat yang telah disebutkan di atas (Menjadi penegak keadilan & adil tanpa pandang bulu).

Maka Tuhan menyebut salah satu namanya, yaitu Maha Teliti, yang sejatinya untuk mendorong manusia lebih seksama dalam memahami maksud dan perintah Tuhan. Jangan sampai pada saat pertimbangan di akhirat nanti, ternyata masih banyak permasalahan keadilan yang terlewatkan akibat kita kurang teliti.

Reduksi Makna Keimanan Kita

Jika kita amati dalam kehidupan sehari-hari, makna keberimanan telah mengalami reduksi yang kronis. Seola-olah, mengucapkan syahadat dan menjalankan ibadah mahdah sudah menjadikan cukup bagi seseorang untuk menjadi Muslim. Reduksi makna semacam ini dapat kita amati pada banyak hal.

Namun, yang paling utama bahwa kita harus menyadari pola reduksi makna-makna itu. Umumnya reduksi makna terdapat pada wilayah substansi dari keimanan yang merujuk kepada nilai-nilai terdalam Islam. Padahal, pada nilai-nilai tersebutlah yang memungkinkan ia menjadi sebuah agama rahmat bagi semesta alam.

Sebagai gantinya, keberimanan dimaknai sempit menjadi aspek ritual yang berkenaan dengan tanggungjawab individual untuk menebus tempat di surga. Keimanan yang pamrih semacam itu menjadikan hubungan manusia dengan Tuhan tak ubahnya seperti transaksi jual-beli di pasar.

Beriman Berarti Adil

Terkadang yang salah kaprah barangkali adalah menganggap beriman berarti membela agama, sehingga boleh mengambil hak-hak mereka yang berbeda secara keyakinan. Apalagi ketika pembelaan agama itu dibarengi dengan kekerasan.

Baca Juga  Gunakan Konsep Moderasi Beragama untuk Wujudkan Pemilu 2024 yang Kondusif dan Damai

Miris, karena kekerasan yang mereka lakukan seringkali berakar kepada ketakutan irasional akan pemurtadan. Seolah-olah Muslim sangat rapuh iman dan segera menggadaikan akidah, yang hanya sekedar ketika berinteraksi dengan kelompok non-muslim dan bangunan peribadatan mereka.

Tindakan perampasan hak-hak kaum non-muslim yang umumnya minoritas di negara kita, seringkali juga berangkat pada keyakinan bahwa Tuhan menakdirkan suatu ‘permusuhan abadi’ antara Muslim dan non-Muslim. Merawat rasa permusuhan dan mendzalimi non-muslim itu, maka kelompok muslim tertentu merasa telah melaksanakan kehendak Tuhan.

Padahal Tuhan amat membenci manusia yang senang merawat permusuhan. Sebagaimana pada ayat yang lain, ia mengulangi perintahnya, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan”. (Q.S. An-Nahl: 90)

Menjadi Penegak Keadilan

Terhadap ketidakadilan, Tuhan bukan hanya melarang manusia berbuat tidak adil. Lebih dari itu, Tuhan menuntut manusia untuk menjadi penegak keadilan sebagaimana kandungan ayat ke delapan surat Al-Maidah. Artinya, manusia harus pro-aktif dalam menciptakan dunia yang berkeadilan. Membangun dan mematuhi hukum-hukum yang berlaku, kemudian mencari masalah konkrit ketidakadilan sosial agar dapat mereka pecahkan.

Namun, realita menunjukkan banyaknya individu menjadi muslim yang reaktif. Mereka sekedar menanti sebuah masalah itu besar, dibandingkan memiliki inisiatif untuk menyelidiki dan membongkar ketidakadilan yang kecut bersembunyi di balik hierarki, budaya dan norma hukum. Kelak ketika masalah itu terakumulasi dan menjadi besar, mereka memohon ampun karena tidak memiliki daya. Seakan-akan masalah itu tidak mereka antisipasi jauh-jauh hari.

Bahkan, masih banyak dari kita yang enggan urun mengambil peran, ketika ada suatu masalah tidak berkaitan dengan hajat sendiri. Seolah,”itu urusanmu dan bukan urusanku.” Yang begitu lagi-lagi mengingkari perintah Tuhan untuk bersikap adil, bahkan kepada seseorang atau kelompok yang kita benci.

Baca Juga  Ayah, Teganya Kau Hancurkan Impian Anakmu!

Tuhan mengisyaratkan bahwa keadaan hati kita tidak menggugurkan kewajiban menegakkan keadilan.

Hal itu merujuk kepada potongan ayat “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil”. Artinya, sekalipun kita marah, jijik atau tidak setuju kepada sesuatu, bukan berarti kita berhak menghalangi mereka untuk memenuhi hak-hak mereka. Keadilan itu berlaku pada segalanya; peribadatan dan hajat hidup mereka.

Tiga Misi Tuhan

Maka di penghujung tulisan ini, kita dapat menyimpulkan tiga misi yang diembankan Tuhan. Pertama, menjadi muslim berarti menjadi pejuang dalam menegakkan keadilan. Sebabnya, seperti yang diisyaratkan dalam wahyu di atas, bahwa iman juga diukur dari kesungguhan kita dalam penciptaan suatu tatanan masyarakat yang berkeadilan.

Kedua, Tuhan menuntut kita untuk berlaku adil (menegakkan keadilan) tanpa pandang bulu dan bahkan sekalipun hati kita membencinya. Di sini dapat dimaknai, bahwa keadilan dapat memiliki sisi objektif yang tidak bergantung kepada perasaan pribadi semata, namun juga hak-hak yang memang melekat pada diri orang lain.

Ketiga, Tuhan menyampaikan agar kita melihat lingkungan kita secara seksama. Tujuannya, agar kita dapat mengungkap permasalahan ketidakadilan dan kemudian mengatasinya. Kita tidak boleh lagi menjadi muslim yang reaksioner, eksklusif dan egois. Terwujudnya Islam sebagai rahmat bagi semesta alam akan tergantung pada kita untuk mewujudkannya.

Editor: Saleh

Avatar
31 posts

About author
Dosen Fakultas Psikologi UMM dan Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *