Tarikh

Tiga Tokoh Kunci Penghapusan “Tujuh Kata” Piagam Jakarta: Moh. Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, dan Kasman Singodimedjo

5 Mins read

Tanggal 18 Agustus 1945 merupakan hari bersejarah kelahiran Pancasila. Karena pada hari itu, terjadi peristiwa yang sangat dramatis yang dikenal dengan “penghapusan tujuh kata” Piagam Jakarta. 

Sejarah Piagam Jakarta

Sejak didirikan pada tanggap 29 April 1945, BPUPKI melakukan Sidang Pleno I berhasil dilakukan pada 29 Mei-1 Juni 1945, akan tetapi belum bersepakat tentang dasar negara Indonesia. 

Karena itu, BPUPKI membentuk “Panitia 8” (Panitia Kecil Resmi) yang beranggotakan: Soekarno, Hatta, Yamin, AA Maramis, Otto Iskandar Dinata, Sutardjo, Katohadikusumo, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH Abdul Wahid Hasyim. 

Namun pada kenyataannya, Soekarno justru membentuk “Panitia 9” karena situasi darurat saat itu. Teknisnya, pada 1821 Juni 1945 ada rapat Cuo Sangi In VIII di Jakarta yang dihadiri oleh 38 orang anggotanya, Soekarno menunjuk 9 orang secara spontan. 

Pertemuan itu behasil karena Ir. Soekarno menampung semua aliran pemikiran dari golongan Islam dan mengubah perbandingan antara golongan nasionalis dan golongan Islam di Panitia Kecil; yang semula 6:2 menjadi 5:4.  

Di Panitia 9 Panitia Kecil “Tidak Resmi” golongan nasionalis diwakili oleh: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. Yamin, Mr. Maramis, Mr. Subardjo dari golongan nasionalis, sedangkan dari golongan Islam diwakili oleh K.H. Wachid Hasjim, K.H. Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, dan R. Abikusno Tjokrosuroso. 

Pertemuan itu dilaksanakan di Jawa Hookokai, kantor Ir. Soekarno, bukan di gedung BPUPKI, dan perumusannya dilakukan di rumah beliau, Jl. Pegangsaan Timur No. 56.

Pertemuan itu menghasilkan Rancangan Pembukaan UUD yang oleh Ir. Soekarno diberi judul “Mukaddimah”, oleh Mr. M. Yamin dibari nama “Piagam Jakarta” dan oleh Dr. Sukiman disebut Gentremen’s Agreement karena belum menjadi keputusan BPUPKI.

Panitia 9 inilah yang melahirkan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang kemudian dilaporkan pada Sidang Pleno BPUPKI pada 30 Juni 1945. Di forum itu, Soekarno pun menyadari dan meminta maaf karena telah membentuk Panitia 9 di luar prosedur formal. Saat itu ia menyatakan:

***

“Semua anggota Panitia Kecil sadar sama sekali bahwa jalannya pekerjaan yang kami usulkan itu sebenarnya ada penyimpangan daripada formaliteit, menyimpang daripada aturan formeel yang telah diputuskan, telah ditentukan. Tetapi anggota Panitia Kecil berkata: Apakah arti formaliteit di dalam zaman gegap gempita sekarang ini. Apa arti formaliteit jika Sekutu telah mendirikan Netherlands Indies Civil Administration, telah menyerbu ke dalam daerah tanah air kita dan membahayakan Indonesia Merdeka. Apakah arti formalitiet jikalau di kanan kiri kita mengguntur-menggeledek gempa-petir-halilintar Meriam, bom, dinamiet? Saudara-saudara sekalian, Panitia Kecil berpendapat, bahwa jikalau fomaliteit tidak sesuai dengan dinamiek sejarah, maka harus dirobah formaliteit itu, harus diganti formaliteit itu, harus dibongkar formaliteit itu” (Yamin, 1959: 151-152; Risalah, 1959: 92-93).

***

Pada saat menyusun Piagam Jakarta, besar kemungkinan bahwa Ki Bagus Hadikusumo, setelah sidang Cuo Sangi in berakhir, buru-buru pulang ke Yogyakarta, sehingga tidak dapat memenuhi pertemuan tersebut.

Baca Juga  Rasyid Ridla (9): Wafat Ketika Mengemban Amanat Memoderasi Mesir dan Arab Saudi

Beliau tidak setuju dengan perumusan di Piagam Jakarta, sehingga beliau berulang kali menggugat anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya”. Beliau ingin “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus (Yamin, 1959: 278; Risalah, 1995: 246).

Pada tanggal 14 Juli 1945 Ki Bagus Hadikusumo menggugat kembali kompromi dengan mengatakan bahwa seharus kompromis itu berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam”, tanpa “bagi pemeluk-pemeluknya”, maka Ir. Soekarno menjawab sebagai berikut:

“Paduka Tuan Ketua yang mulia! Saya hanya mengatakan bahwa ini sebagai hasil kompromis yang diperkuat oleh panitia pula. Cuma dari “bagi pemeluk-pemeluk” dibuang, maka itu mungkin diartikan “yang tidak Islam pun diwajibkan menjalankan syariat Islam” (Yamin, 1959: 283).

Sebelumnya, pada 11 Juli 1945, dalam sidang Panitia Penyusun UUD, Mr. Latuharhary menyatakan tidak setuju dengan bunyi anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut beliau, pengaruhnya besar terhadap Hukum Adat. (Yamin, 1959: 259; Risalah, 1995: 215).

Gugatan itu dijawab oleh Ir. Soekarno dengan mengatakan bahwa itu adalah hasil kompromis yang dibuat dengan susah payah. Selain itu, Prof. Djayadiningrat mengkhawatirkan bahwa adanya “tujuh kata” itu dapat menimbulkan fanatisme seperti pemaksaan sembahyang dan lain-lain.

Penghapusan 7 Kata: Piagam Jakarta

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, aktivis mahasiswa anggota PPKI asal Indonesia Timur, Sam Ratulangi, Latuharhary, dan I Gusti Ketut Pudja menyatakan keberatan terhadap isi Piagam Jakarta. 

Mahasiswa kemudian menghubugi Moh. Hatta yang kemudian mengundang para mahasiswa dan menemuinya jam 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu Piet Mamahid dan Iman Slamet.

Setelah berdialog, Moh. Hatta kemudian menyutujui usul perubahan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta. Setelah itu, para mahasiswa menelpon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen Indonesia Timur.

Baca Juga  Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Hilangnya 7 Kata Sila Pertama

Keesokan harinya, Soekarno dan Moh. Hatta menggelar rapat lobi-lobi dengan anggota PPKI untuk membahas perubahan penting dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.

Lobi-lobi melibatkan tiga tokoh Muhammadiyah, Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, dan satu tokoh Nahdlatul Ulama, KH. Abdul Wahid Hasyim. 

Betapa gigihnya itu, Ir. Soekarno dan Moh. Hatta sampai “tidak berani” bicara langsung dengan Ki Bagus, bahkan Soekarno terkesan menghindar dan canggung untuk meluluhkan pendirian Ki Bagus Hadikusumo.

***

Ir Soekarno sendiri pernah mati-matian mempertahankan adanya anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, karena Bung Karno adalah sosok yang mengambil inisiatif untuk menyusun Piagam Jakarta.

Untuk itu, soekarno mengutus Teuku Mohammad Hassan dan KH Abdul Wahid Hasyim untuk melobi Ki Bagus Hadikusumo. Namun, keduanya pun tak mampu meluluhkan pendirian Ki Bagus.

Akhirnya, dipilihlah Kasman Singodimedjo untuk melakukan pendekatan personal sebagai sesama anggota Muhammadiyah. Dalam memoir yang berjudul Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Kasman menceritakan ketika melobi Ki Bagus dengan bahasa kromo inggil (Bahasa Jawa paling halus). 

Dalam memoir itu, Kasman menjelaskan bahwa perubahan itu diusulkan Hatta. Hajriyanto Y Thohari, menyebut Hatta sebagai Bapak paham Ketuhanan Yang Maha Esa. KH. Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila.

“Sekali lagi bukan Ketuhanan sembarangan Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa”, demikian Kasman Singodomedjo meyakinkan Ki Bagus. 

Pada akhirnya, Mr. Kasman sukses melobi dan meyakinkan Ki Bagus, sehingga pada 15 menit terakhir pertemuannya dengan Bung Hatta dan sejumlah tokoh bangsa lainnya di PPKI menyetujui penghapusan tujuh kata dalam UUD 1945, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada tanggal 18 Agustus 1945.

Ki Bagus, Ketuhanan Yang Maha Esa dan Tauhid

Dengan peristiwa itu paling tidak dapat dicatat, bahwa Ki Bagus telah memberikan keteladanan tentang hidup berbangsa, memperioritaskan persatuan dan kesatuan daripada kepentingan golongan. Meski teguh memegang prinsip dasar syariat Islam, akan tetapi demi keutuhan NKRI, Ki Bagus mengilaskah penghapusan “Tujuh Kata” dalam Pembukaan UUD 1945.

Baca Juga  Nabi Ibrahim: Berdakwah dengan Santun dan Lemah Lembut

Mulanya Ki Bagus sangat gigih dalam menolak penghapusan “tujuh kata” itu. Baginya, penegakkan syariat Islam adalah harga mati yang tak bisa ditawar dalam mendirikan negara ini.

Pendirian kuat Ki Bagus pada “Piagam Jakarta”, awalnya hal itu karena sudah kesepakatan bersama (gentlemen agreement) dan siap diputuskan di sidang PPKI 18 Agustus 1945. Bagi tokoh Islam kesepakatan itu merupakan “janji bersama” yang tidak boleh diingkari, apalagi tidak semua “Panitia 9” ada dan terlibat dalam perubahan. 

Menurut informasi Djarnawi Hadikusuma, Ki Bagus setelah dilobi Mr Kasman akhirnya bersedia kompromi dengan meminta Ketuhanan dilengkapi menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan menjadi sila pertama.

Ketuhanan YME bagi umat Islam tiada lain adalah tauhid. Selain itu, Ki Bagus juga mempertimbangkan keutuhan bangsa, sehingga menunjukkan jiwa besarnya meskipun terasa berat karena sudah menjadi kesepakatan.

Sama juga ketika Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal, disampaikan pada saat bertemu dengan Presiden Soeharto di istana negara setelah Muktamar Solo 1986.

Bahwa Muhammadiyah berasas Pancasila, dengan pengertian sila Ketuhanan Yang Maha Esa bagi umat Islam & Muhammadiyah seperti pada kesepakatan 1945 ialah “Tauhid”.

Kesediaan Ki Bagus, yang saat itu merupakan momentum yang sangat menentukan, sehingga dapat dikatakan kunci Pancasila ada di tangan Ki Bagus.

Sementara, Kasman Singodimedjo adalah tokoh kunci yang sangat menentukan peranannya yang membuat Ki Bagus ikhlas menerima perubahan itu.

Sejak itulah tepat pada drama yang menentukan ini dilakukan oleh kedua tokoh dan putra terbaik Muhammadiyah. Maka tidak salah jika Anhar Gonggong menyatakan “Pancasila adalah hadiah terbaik Muhammadiyah untuk bangsa”. 

Sumber:

Gunawan Budiyanto dkk (ed.), Konstruksi Pemikiran Politik Ki Bagus Hadikusumo: Islam, Pancasila, dan Negara (Yoyakarta: UMY, 2018), 5-8.

R.M. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004).

Artikel ini sebelumnya pernah diterbitkan di kalimahsawa.id

Editor: Yahya FR

Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *