Tulisan ini diorientasikan untuk menanggapi sebuah artikel yang dimuat dalam website Santri Cendikia yang bertajuk Layangan Putus, Monogami, dan Prinsip Keluarga Sakinah.
Meski sudah tayang sejak 6 bulan yang lalu, artikel yang ditulis oleh ustadz Niki Alma, kepala pusat tarjih itu menyisakan beberapa catatan yang sekilas tidak begitu serius, namun tidak bisa disederhanakan begitu saja, karena hal tersebut berkaitan dengan beberapa dimensi penting dalam memetik suatu hukum seperti kaidah ushul fiqh, penafsiran ayat dan penafsiran hadits. Tiga hal ini memiliki konsekuensi logis yang kuat dalam keberadaan hukum.
***
Tulisan beliau itu merupakan refleksi dari sebuah tragedi yang menggegerkan publik ketika itu, yakni layangan putus. Sebuah representasi dari “ekses buruk” poligami. Berangkat dari tragedi tersebut, beliau menghimbau kita untuk mereview kembali syari’at poligami dengan berupaya menjamah aspek-aspek yang belum tersentuh oleh kebanyakan sarjana. Menurut beliau, ada dua aspek yang terlewatkan dalam memahami isu poligami :
Pertama, aspek historis, di mana poligami berlaku saat kondisi darurat, yakni sebagai mekanisme Islam dalam menghadapi krisis sosial. Kedua, aspek yuridis, poligami mensyaratkan sifat adil, sedangkan dalam ayat lain (QS. An-Nisā’ : 129) manusia menurut beliau tidak dapat berlaku adil. Selain itu, beliau juga memahami bahwa alih-alih poligami menjadi solusi, namun justru menambah kemudharatan, sebagaimana hadis tentang larangan Rasulullah saw kepada Ali ra yang hendak memadu Fatimah ra.
Bermodal tiga aspek di atas, ustadz Niki hendak mamacu kuriositas kita untuk menggali makna poligami dengan “sudut pandang baru”. Padahal, sudah menjadi rahasi umum bahwa tiga nalar tersebut adalah mitos yang paling fantastis dan absurd yang diulang-ulang oleh kaum liberal dan sebagian sarjana muslim. Dan kini, nalar itu reproduksi kembali dan kemudian dikonsumsi oleh 3.558 masyarakat. Namun, begitulah cara beliau memantik wacana pembaruan fiqih poligami.
Loh, kenapa diasumsikan bahwa tulisan ustadz Niki berorientasi pada pembaruan fiqih poligami ?. Ya, jelas. Karena 90% alur bahasan tersebut berpijak pada tiga aspek di atas yang menuntut pengkajian ulang. Dan di sinilah alasan keberadaan tulisan ini.
Poligami hanya boleh dilakukan dalam kondisi darurat ?
Menurut ustadz Niki, secara historis, praktik poligami mulai masif saat kondisi sosial ekonomi Islam sedang genting, di mana pada abad ke-4 H, ada banyak kaum laki-laki yang meninggal dunia dalam perang Uhud, yakni sebanyak 70 orang, sehingga mereka banyak meniggalkan janda-janda dan anak yatim dalam kondisi sosial-ekonomi yang fluktuatif.
Oleh sebab itu, poligami kala itu menjadi salah satu mekanisme utama Islam dalam mengentas krisis tersebut. Inilah yang dimaksud beliau sebagai kondisi darurat. Dari sini pula, beliau melontarkan kritik yang “berbobot” namun rapuh untuk menyimpulkan bahwa poligami secara hukum hanya dibenarkan saat kondisi darurat.
Klaim saya tersebut berpijak pada sebuah kaidah ushul fiqh yang diadopsi jumhur ulama [1], yakni al Ibratu bi ‘umūm al Lafdzi, la bikhusus al Sabab, yang dimaknai secara mendalam oleh Kyai Sahal Mahfudz sebagai “suatu lafal (kata atau rumusan redaksional sebuah dalil) yang umum, mujmal, maupun mutlak (yang berlaku umum) harus dipahami dari sudut padang keumumannya, bukan hanya dari latar belakang turunnya suatu ketentuan” [2]
Kaidah tersebut akan lebih terang lagi untuk dipahami secara tekhnis saat kita menyimak tafsiran Imam Al-Qurthubi terhadap QS. An-Nisā’ : 3. Ayat ini secara khusus berbicara tentang poligami. Beliau berkata :
كل من يعاني العلوم على أن قوله تعالى: “وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى” ليس له مفهوم؛ إذ قد أجمع المسلمون على أن من لم يخف القسط في اليتامى له أن ينكح أكثر من واحدة: اثنتين أو ثلاثا أو أربعا كمن خاف. فدل على أن الآية نزلت جوابا لمن خاف ذلك، وأن حكمها أعم من ذلك
“Setiap orang yang memiliki perhatian khusus terhadap ilmu-ilmu agama telah sepakat bahwasannya firman Allah ta’ala : Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim” tidak memiliki mafhum (makna yang tersirat). Sebab, semua umat telah sepakat bahwa orang yang tidak khawatir terhadap kemampuannya dalam bersikap adil terhadap anak-anak perempuan yatim juga diperbolehkan untuk menikahi wanita-wanita lain lebih dari satu, atau menikahi dua, tiga, atau empat; seperti yang diperbolehkan kepada orang yang khawatir terhadap kemampuannya dalam bersikap adil. Ini menunjukkan bahwa ayat tersebut turun sebagai jawaban bagi orang yang khawatir itu, dan bahwa hukum menikahi anak perempuan yatim itu lebih umum”. [3]
Dengan kaidah yang sama, Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa Allah swt memberikan keleluasaan kepada lelaki yang menjadi wali perempuan-perempuan yatim kala itu untuk menikahi perempuan lain selain perempuan yatim jika sekiranya mereka khawatir tidak berlaku adil, dan yang lebih penting lagi ialah bersepakatnya seluruh umat Islam atas kebolehan seorang lelaki yang tidak khawatir terhadap kemampuannya dalam bersikap adil untuk menikahi wanita lain (selain yatim) lebih dari satu.
Dari sini, jelaslah bahwa Imam Al-Qurthubi menukil ijmak tersebut tanpa embel-embel sosio-historis dalam menetapkan hukum. Lagi pula dalam ayat itu sendiri Allah ‘azza wajalla telah menetapkan adil sebagai syarat pokok. Dan ini harus dipahami dengan kaidah ushul yang menjadi pegangan jumhur ulama.
Tak perlu risau dengan isu-isu nyeleneh yang diangkat kaum liberal dalam kaidah ini, karena kita tau kita berdiri pada kubu yang haq, yakni mayoritas aimmah. Tidak perlu menjadi memaksa diri untuk progresif dalam pengertian mereka.
Lagian, konteks historis yang terbatas tersebut tak cukup beralasan untuk menafikan afirmasi para ulama terhadap keabsahan poligami dan praktik hukumnya dari generasi ke generasi, karena itu tidak berimbang dan infirād (asing).
Poligami mensyaratkan adil, QS. An-Nisaa’ : 129 menetapkan manusia tidak dapat berlaku adil, poligami dimansukh ? Atau mustahil diamalkan ?
Dalam isu poligami, miskonsepsi makna adil seringkali menjadi pemicu gagal-pahamnya seseorang terhadap hukum poligami. Pasalnya, makna adil dalam QS. An-Nisa’ ayat 3 dan 129 dihimpun dalam satu makna dan konteks yang sama, akibatnya seringkali dua ayat tersebut mengesankan posisi yang berhadap-hadapan (ta’arudh). Padahal, makna adil pada kedua ayat tersebut memang tidak berada dalam makna dan konteks yang sama.
Adil dalam QS. An-Nisā’ : 3 ialah dalam perkara lahiriah atau sesuatu yang konkrit. Seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, waktu bermalam, dst, bukan dalam perkara perasaan atau cinta. Imam Al-Qurthubi berkata :
إِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فِي مُهُورِهِنَّ وَفِي النَّفَقَةِ عَلَيْهِنَّ
” .. Jika kalian takut tidak berlaku adil dalam memberikan mahar kepada mereka atau nafkah kepada mereka ..”
Imam Ibn Hajar Al-‘Asqalani berkata :
قوله باب العدل بين النساء ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساءأشار بذكر الآية إلى أن المنتهى فيها العدل بينهن من كل جهة وبالحديث إلى أن المراد بالعدل التسوية بينهن بما يليق بكل منهن فإذا وفى لكل واحدة منهن كسوتها ونفقتها والإيواء إليها لم يضره ما زاد على ذلك من ميل قلب أو تبرع
” Imam Al-Bukhari mengisyaratkan dengan menyebutkan ayat tersebut bahwasannya tidak mungkin berbuat ‘adil terhadap mereka semua dalam segala sisi, serta beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan dalam hadits di bawahnya bahwa makna adil yang dimaksud ialah penyamarataan di antara mereka (istri) menurut kebutuhan mereka. Apabila kebutuhan setiap dari mereka seperti pakaian, nafqah serta akomodasi terpenuhi, maka tidak mengapa bagi suami jika ia kecenderungan mencintai yang satu atau memberi hadiah kepadanya” [4]
Imam Al-Shan’ani berkata :
قال العلماء: المراد الميل في القسم والإنفاق لا في المحبة، لما عرفت من أنها مما لا يملكه العبد
“Para ulama berkata : kecenderungan yang dimaksud ialah dalam pembagian nafkah, bukan cinta, berdasakan kenyataan bahwa cinta bukanlah sesuatu yang mampu dikuasai oleh seseorang” [5]
Adapun makna adil dalam QS. An-Nisā’ : 129 ialah dalam perkara hati dan perasaan. Imam Al Syafi’i berkata :
فقال بعض أهل العلم بالتفسير لن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء بما في القلوب فإن الله عز وجل وعلا تجاوز للعباد عما في القلوب فلا تميلوا تتبعوا أهواءكم كل الميل بالفعل مع الهوى وهذا يشبه ما قال والله أعلم
“Tafsir sebagian besar ulama tentang QS. An-Nisā’ : 129 ialah berkatian dengan hati. Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajall membolehkan kecenderungan hati seorang hamba, Tetapi janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai); dengan mengikuti hawa nafsumu. (dengan) setiap kecenderungan – kullal-maili yaitu dengan perbuatan berlandaskan hawa nafsu. Penafsiran inilah yang lebih tepat dengan apa yang difirmankan Allah. Wallaahua’lam” [6]
Imam Muhammad Al-Amīn Al-Syanqithī berkata :
.. أنه لا يستطاع هو العدل في المحبة، والميل الطبيعي ; لأنه ليس تحت قدرة البشر بخلاف العدل في الحقوق الشرعية فإنه مستطاع
“.. maksud ketidakmampuan tersebut ialah adil dalam perkara cinta dan kecenderungan naluriah, karena sifat tersebut bukanlah di bawah kendali manusia. Berbeda dengan makna adil dalam perkara syar’i (konkrit) yang mampu dilakukan” [7]
Badaruddin Al-‘Aini menukil ucapan Ibnul-Mundzir :
دلت هذه الآية على أن التسوية بينهن في المحبة غير واجبة وقد أخبر رسول الله صلى الله عليه وسلم أن عائشة أحب إليه من غيرها من أزواجه فلا تميلوا كل الميل بأهوائكم حتى يحملكم ذلك على أن تجوروا في القسم على التي لا تحبون
“Ayat ini menunjukkan bahwa membagi rata antara mereka dalam urusan cinta tidaklah wajib hukumnya, dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengkhabarkan bahwa ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa lebih beliau cintai dibandingkan istri-istri beliau yang lain. Tapi janganlah engkau keterlaluan dalam mengikuti hawa nafsumu sehingga membuatmu berlaku lalim dalam pembagian terhadap istri yang tidak kamu sukai” [8]
Dari nukilan di atas, jelaslah perbedaan antara makna adil dalam QS. An-Nisā’ayat 3 dan 129. Keduanya tidak sama. Sehingga klaim yang mengatakan bahwa berpoligami tidak mungkin dilakukan karena manusia tidak dapat berlaku adil atau barangkali dianggap telah dimansukh, adalah silogisme hukum yang keliru. Dengan demikian, hukum poligami kembali pada asalnya, yakni boleh dengan syarat adil.
Rasulullah saw melarang Ali ra memadu Fatimah ra, karena poligami membawa kemudharatan ?
Seringkali keadaan “menyakiti” Fatimah ra itu diframing sedemikian rupa untuk meredukisi dan mengesankan poligami secara umum sebagai sumber ketidakharmonisan rumah tangga. Padahal, pemahaman hadits tersebut dikalangan para ulama pengkaji hadits tidak demikian.
Perlu di ketahui bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan larangan Rasulullah saw kepada Ali ra untuk memadu Fatimah ra terekam dalam riwayat Bukhari No. 3110 dan 3729, Muslim No. 2449, Abu Dawud No. 2070 dan 2069 dan Ibn Majah No. 1999 secara marfu’.
Para ulama menyimpulkan hadits-hadits tersebut sebagai satu pemahaman bahwa poligami itu adalah halal, yaitu boleh bagi ‘Ali untuk menikahi anak perempuan Abu Jahal secara asal (karena beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak hendak mengharamkan yang halal).
Rasulullah telah menjelaskan sebab pelarangan tersebut, bahwa beliau tidak menginginkan berkumpulnya putri beliau dengan putri Abu Jahal.
Ulama lain ada yang menjelaskan bahwa pelarangan tersebut adalah karena poligami yang dilakukan ‘Ali dengan puteri Abu Jahal, musuh Allah dan Rasul-Nya, akan menyakiti hati Fathimah, dimana ‘Ali telah berjanji sebelumnya tidak akan menyakiti hati Fatimah. Hal ini sebagaimana penjelasan imam Al-Nawawi : [9]
قال العلماء في هذا الحديث تحريم إيذاء النبي صلى الله عليه وسلم بكل حال وعلى كل وجه وإن تولد ذلك الإيذاء مما كان أصله مباحا وهو حي وهذا بخلاف غيره قالوا وقد أعلم صلى الله عليه وسلم بإباحة نكاح بنت أبي جهل لعلي بقوله صلى الله عليه وسلم لست أحرم حلالا ..
“Para ulama mengomentari hadits ini sebagai keharaman menyakiti Nabi saw dalam bentuk dan cara apapun, jika meskipun perbuatan itu muncul dari perkara yang pada dasarnya mubah (poligami yang ingin dilakukan Ali ra), demi menjaga kehormatan Nabi saw, dan ini berlaku secara khusus. Para ulama berkata aku menyadari kebolehan pernikahan anak Abu Jahal dengan Ali ra dari perkataan beliau saw : aku tidak mengharamkan yang halal”
ولكن نهى عن الجمع بينهما لعلتين منصوصتين إحداهما أن ذلك يؤدي إلى أذى فاطمة فيتأذى حينئذ النبي صلى الله عليه وسلم فيهلك من أذاه فنهى عن ذلك لكمال شفقته على علي وعلى فاطمة والثانية خوف الفتنة عليها بسبب الغيرة وقيل ليس المراد به النهي عن جمعهما بل معناه أعلم من فضل الله أنهما لا تجتمعان ..
“Akan tetapi larangan memadu Fatimah ra tersebut didasarkan pada dua alasan. Pertama karena hal itu akan menyakiti Fatimah yang juga membuat Nabi saw terluka, lalu Nabi melarang pernikahan tersebut karena kemuliaannya beliau lebih tinggi dari pada Ali ra dan Fatimah ra. Kedua, karena takut menjadi fitnah lantaran cemburu. Maksdu larangan tersebut bukan karena Ali ra memadu Fatimah ra melainkan karena kekususan yang diberikan oleh Allah untuk tidak mengumpulkan antara Fatimah dengan putri musuh Allah swt ..”
Banyak pula penegasan-penegasan tentang hukum poligami secara umum seperti perkataan Imam Abu Daud :
(وإني لست أحرم حلالا ولا أحل حراما ولكن والله لا تجتمع إلخ): فيه إشارة إلى إباحة نكاح بنت أبي جهل لعلي رضي الله عنه
“(Sabda Nabi saw : sungguh aku tidak bermaksud mengramkan yang halal dan menghalalkan yang haram dst) di dalamnya mengandung keterangan akan kebolehan Ali ra menikahi putrinya Abu Jahl” [10]
Demikian pula perkataan Imam Ibn Hajar Al-Asqalāni
ومعنى قوله لا أحرم حلالا أي هي له حلال لو لم تكن عنده فاطمة
“Dan makna perkataan beliau saw : (aku tidak mengharamkan yang halal) ialah bahwa putri Abu Jahal halal bagi Ali ra sekiranya yang dimadu bukan Fatimah ra”
Dari nukilan-nukilan diatas jelaslah bahwa larangan tersebut bersifat khsusus, yakni hanya berlaku untuk Fatimah ra, sehingga tidak relevan untuk dikutip sebagai bahan kajian pembaruan fiqih poligami, resolusi terhadap tragedi layangan putus, atau resolusi keluarga sakinah. Demikian pula, bahwa pemahaman dari tiga aspek yang beliau kemukakan tidak berbanding lurus dengan upaya beliau untuk melandasi monogami sebagai prisip (solusi) keluarga sakinah.
Menurut saya, akan lebih bijak jika suatu hukum baik monogami ataupun poligami disampaikan secara proporsional kepada publik, bukan dengan dalil khas atau kasuistik (layangan putus), melainkan dengan menyampaikan hukum asal keduanya, dan alasan perubahan-perubahan hukumnya jika memang terdapat tuntutan perubahannya, sehingga tetap objektif tanpa harus “mengasingkan” syari’at poligami dari benak masyarakat, terlebih banyak yang membencinya.
Berbeda jika seseorang mengajukan pertanyaan secara khusus berdasarkan persoalannya, maka keberadaan hukum pun dipahami berdasarkan persoalan tersebut, bukan berlaku secara bagi orang lain secara umum. Monogami baik untuk saya, tapi belum tentu monogami (menikah) baik untuk orang tertentu. Demikian pula, poligami baik untuk saya, namun belum tentu baik bagi orang tertentu. Maka harus proporsional.
Catatan kaki :
1. Umar bin Abdul Aziz Al Syaikhani, Mabāhits Takhsīs, hlm. 295-296
2. KH. MA. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta, cet. 2, hlm. 51
3. Imam al Qurthubi, Al Jāmi’ul Ahkām, 5/407
4. Fathul-Baari 9/224 oleh Ibnu Hajar, tahqiq ‘Abdul-Qadir Syaibah Al-Hamd, Cet. 1/1421.
5. Subulussalam : 3/311, atau Mughni Muhtaj : 2/401
6. Al Syafi’i, Al Umm, 5/118
7. Al Syanqithi, Adhwāul Bayan : 1/317
8. Al’Ain, Syarah Shahih Al Bukhari :20/19
9. Imam Al-Nawawi, Syarh Al-Nawawi ‘ala Muslim : 16/2-3
10. Abu Daud, ‘Aunil Ma’būd
11. Ibn Haja Al Asqalāni, Fathul Bārī : 9/329