Fikih

Konsep As-Syura sebagai Demokrasi Islam

3 Mins read

Dalam Islam ada beberapa konsep politik, diantaranya adalah siyasah syar’iyah atau politik Islam meletakkan Allah SWT sebagai sumber kedaulatan dan kekuasaan dan tidak ada kuasa lain yang boleh menandingi.

Salah satu prinsip utama pendukung konsep politik islam ini yaitu al- siyadah atau al- hakimiyah, keadilan, kebebasan,persamaan, syura, dan kesatuan. Masing- masing mempunyai peranan penting dalam meneguhkan kedudukan politik islam sehingga menjadi istimewa dibandingkan dengan ideologi atau sistem politik yang lain (Khalil,1984:4). Pada tulisan kali ini, kita akan membahas salah satu prinsip utama tersebut, yaitu As-Syura.

Dalam kamus bahasa arab, kata syura (syura) diambil dari “syaawara”,bermakna “lil musyarakah”, artinya saling memberi pendapat, saran, atau pandangan (Munawwir,1984).

Kemudian definisi lain disampaikan oleh beberapa tokoh yakni Abu Ali al-Tabarsi, yang mengatakan bahwa Syura merupakan “permusyawaratan untuk mendapatkan kebenaran”. Lalu Al-Asfahani yang mendefinisikan syura sebagai merumuskan pendapat melalui pemusyawaratan. Sementara Ibn al-Arabi memberikan pengertian syura sebagai “Musyawarah untuk mencari kebenaran atau nasihat dalam mencari kepastian”(Izani dan Zain, 2005:19).

Prinsip dan Praktik As-Syura

Prinsip syura yang paling mendasar adalah pada surat Asy- Syura ayat 38 dan Ali Imran ayat 159 yang menekankan pentingnya bermusyawarah dalam Islam. Yang kedua yaitu ta’awun yaitu didasarkan pada surat Al Maidah ayat 2 yang menyatakan adanya tuntutan untuk kerja sama demi kepentingan Tuhan dan kepentingan manusia sendiri.

Prinsip ketiga yaitu banyak ditemukan didalam al qur’an dengan kata dasar “Shalih”, yaitu Mushlahah. Prinsip ini berfungsi sebagai suatu moral force agar setiap individu berbuat baik sehingga menguntukngkan pihak lain.

Prinsip keempat adalah taghyir atau perubahan. Prinsip ini dapat ditemukan dalam surat ar-Ra’d ayat 11 yang menyatakan bahwa manusia berperan besar dalam menentukan perubahan hidup (Izani dan Zain, 2005:75-80).

Baca Juga  Meninggal Saat Bulan Ramadhan, Apakah Pasti Masuk Surga?

Prinsip kelima adalah praktik Khulafaur Rasyidin, seperti pada zaman pemerintahan Abu Bakar budaya syura senantiasa berjalan dalam usaha pengukuhan sistem politik umat Islam.

Dalam prinsip-prinsip syura, suara kebenaran lah yang harus menang walaupun dia minoritas. Dalam syura yang benar belum tentu banyak walaupun yang banyak belum tentu benar. Syura tentunya berkaitan dengan politik umat, dalam konsep syura ada sekelompok orang yang berhak memilih dan mengangkat seseorang menjadi pemimpin. Golongan itu disebut Ahlul Hal Wal Aqdi.

Sejarah konsep pemilihan dengan cara Ahlul Hal Wal Aqdi .Pada zaman Rosulullah memulai berdakwah hingga menjelang wafatnya, masa yang dikenal dengan masa kenabian itu disebut dengan masa paling ideal pada pemerintahan Islam. Karena pada saat itu kepemimpinan Rasulullah bersifat demokratis terlihat pada kecenderungan menyelenggarakan musyawarah.

Sejarah mencatat pada saat pergantian kempemimpinan Rosulullah telah membuktikan bahwa Rosulullah tidak menunjuk langsung seseorang sebagai pengganti beliau, ia juga tidak memberikan gambaran-gambaran kriteria pemimpin seperti apa yang bisa menggantikan dirinya saat itu. Dengan demikian khalifah pertama dipilih secara terbuka.

Demikianlah era Rasulullah mencerminkan era persatuan, usaha dan pendirian bangunan umat, serta menampilkan ruh yang mewarnai kehidupan politik, dan mewujudkan replika bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan ditiru oleh generasi- generasi yang datang kemudian.

Namun, pemikiran teoritis’ saat itu belum dimulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang ada. Yang jelas, belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian, belum lagi era tersebut berakhir, sudah timbul faktor-faktor fundamental yang niscaya mendorong timbulnya pemikiran ini, dan membentuk ‘teori-teori politik’ secara lengkap.

Di antara faktor-faktor yang terpenting ada tiga hal: Pertama, sifat sistem sosial yang didirikan oleh Rasulullah SAW. Kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan berpikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk merinci detail sistem ini, seperti tentang metode manajerialnya, dan penentuan beberapa segi formatnya.

Baca Juga  Hukum Menyembelih Hewan Qurban

Setelah wafatnya Nabi, kaum muslimin di Madinah membentuk kelompok-kelompok politik yang berbeda dengan pemimpinnya masing-masing, seperti kelompok Anshar dipimpin oleh Sa’ad bin Ubadah, kelompok Muhajirin yang memberi dukungan kepada Abu Bakar dan Umar, serta kelompok Bani Hasyim yang memberi dukungan yang kuat kepada Ali. Masing-masing mengklaim supaya pengganti Nabi di lantik dari calon kelompok mereka, dengan memberikan alasan-alasan tertentu.

Akhirnya Abu Bakar di lantik dengan persetujuan semua pihak. Pertemuan antara kelompok Anshar dan Muhajirin tersebut pada hakikatnya bukanlah dirancang, namun menunjuk kepada adanya satu sidang permusyawaratan. Proses pembentukan lembaga syura secara tidak langsung terwujud dari pertemuan tersebut yang mana anggota-anggotanya adalah merupakan tokoh-tokoh yang diangkat dari kelompok masing- masing.

Ahlul Hal Wal Aqdi

Cara pengangkatan Ahlul Hal Wal Aqdi secara tidak jelas tidak disebutkan dalam Al- Qur’an dan Hadist, namun dalam masa kepemimpinan nabi Muhammad Saw pernah mencontohkan pemilihan yang demokratis. Peristiwa tersebut ketika nabi meminta kepada suku Aus dan Khazraj untuk menentukan tokoh-tokoh yang mewakili mereka. Kemudian terjadilah pemilihan yang akhirnya memilih wakil masing-masing tiga dari suku Aus dan sembilan dari suku Khazraj.

Dari peristiwa pemilu pertama tersebut nantinya akan menentukan bagaimana cara pemilihan Ahl al-Halli wa al-Aqdi. Anggota Ahl al-Halli Wa al- Aqdi adalah para ulama, para ahli dan tokoh yang dianggap mumpuni. Tidak semua umat memenuhi kriteria sebagai anggota Ahl al-Hall wa Al-’Aqdi. Al-Ghazali menerangkan bahwa salah seorang dari kalangan Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi yang bay’ah-nya untuk Imam dapat dianggap mengikat, adalah orang- orang yang berwewenang dan memperoleh dukungan dari rakyat.

Tugas Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi tidak hanya bermusyawarah dalam perkara umum kenegaraan, mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan kemaslahatan dan tidak bertabrakan dari satu dasar dari dasar-dasar syariat yang baku dan melaksanakan peran kontitusional dalam memilih pemimpin tertinggi negara saja. Maka wewenang Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi diantaranya adalah  memberikan masukan kepada khilafah dalam berbagai aktifitas masalah bernegara.

Baca Juga  Jihad, Melawan Kebodohan dan Kefakiran

Khalifah berhak menyodorkan undang-undang atau hukum yang hendak di adopsi kepada majelis. Majelis boleh menampakkan ketidak setujuannya terhadap para mu’awim dan amil. Majelis berhak membatasi kandidat calon khalifah sebagai wujud suksesi kekuasaan atau pemerintahan. Majelis memiliki hak interplasi, yaitu hak untuk meminta keterangan kepada khalifah mengenai suatu kebijakan (Djazuli,2003:77).

Avatar
5 posts

About author
Ketua Umum IMM FISIP UIN Jakarta, Founder Terminal Kopi Indonesia
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *