Fikih

Jihad, Melawan Kebodohan dan Kefakiran

4 Mins read

Islam adalah agama kekerasan, agama perang, agama yang anti-modernitas, agama yang melahirkan banyak teroris dan ekstrimis radikalis, dan beberapa citra buruk lainnya yang kerap kali disematkan terhadap Islam. Bahkan, semenjak banyak tragedi bom bunuh diri dan tindak kekerasan anarkis yang mengatasnamakan Islam, dan membuat puluhan bahkan ratusan orang merenggut nyawa.

Seorang sejarawan, De Lacy O’leary pun yang mendukung hal demikian. Dalam karyanya, Islam at the Cross Road: A Brief Survey of the Present Position and Problems of the World of Islam menjelaskan bahwa Islam telah menjelajahi seluruh dunia dan memaksakan agama Islam dengan pedang.

Sampai kini pun negara yang mengatasnamakan dirinya negara Islam tidak kunjung hentinya melakukan peperangan. Lihat saja Suriah dan beberapa negara Islam lainnya yang mendaku dirinya sebagai negara Islam, kerap kali dekat dengan desas-desus konflik yang tiada kunjung henti. Sehingga, beberapa kalangan akademis Barat menyebutnya sebagai biang dari terjadinya kejahatan (the Source of violence).

Memang tidak dapat serta merta lalu menyatakan Islam tidak ada sangkut pautnya dengan kekerasan yang dilakukan. Terlalu egois jika hal itu terjadi, karena mayoritas pelaku teror adalah mereka yang mendaku dirinya Islam. Mengakui itulah hasil perenungan dan pemahamannya yang dipetik dari kandungan beberapa ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunah yang menyuruh hal demikian, yaitu jihad di jalan-Nya, mati sebagai pahlawan, dan surga sebagai balasan.

Islam dapat dikatakan sebagai institusi yang berpotensi melahirkan dua karakter protagonis di satu sisi dan antagonis di sisi lainnya. Islam berpotensi menjadikan setiap subjek yang dapat mendorongnya untuk menjadi pelaku kekerasan atau pelaku perdamaian. Hal ini bergantung kepada subjek masing-masing dalam memahami nilai-nilai yang terkandung dalam syariat serta interpretasi teks suci (Al-Qur’an) yang bersifat general dan metafora yang terkadang menuai beragam polemik.

Mengambinghitamkan Agama

Begitu pun insiden yang menimpa Wina beberapa hari lalu, yang mana dihebohkan dengan aksi penembakan yang diaktori oleh teroris Islamis jihadis. Meskipun tidak separah beberapa tahun terakhir yang melanda Paris, Berlin, Brussel, dan London, tetap saja aksi teror tidak dapat dibenarkan.

Baca Juga  Ayah, Kapan Aku Boleh Jihad Perang?

Peristiwa yang menimpa Prancis beberapa minggu terakhir, juga karena agama. Dunia dihebohkan dengan rilisnya kartun Nabi Muhammad saw. oleh Majalah Charlie Hebdo untuk edisi awal September 2020 yang akhirnya menumbalkan korban. Dan benar, hal ini terus menyulut dan memunculkan kekerasan yang berkelanjutan. 29 Oktober 2020, tiga orang meninggal di gereja Notre-Dame, Basilica, Kota Nice. Brahim Aioussaoi, 21 tahun warga Tunisia yang melakukan aksi terornya juga terkait masalah karikatur tadi dengan cara menyerang orang-orang yang tengah berkumpul di gereja dengan pisau.

Dalam deretan peristiwa yang terjadi, semuanya seperti lagu lama yang kembali diputar di waktu yang berbeda. Motifnya karena dalih membela agama. Term jihad sering digunakan untuk membungkus tindakan seperti hal tersebut agar nampak bernuansa islami.

Berani mati mengatasnamakan Islam, berteriak lantang menyebut Tuhan, menggemakan takbir sebagai bentuk kebaktian dari seorang hamba. Tidak peduli berapa orang yang harus meninggal akibat yang diperbuat. Yang terpenting, semua yang dilakukan jihad atas nama Tuhan demi menumpas kekafiran. Sekalipun ia akan menjadi korban, toh akan berbalas surga sebagai reward-nya.

Jangan Asal Jihad

Islam yang seharusnya Rahmatan lil ‘alamin ternodai oleh tindakan segelintir orang yang melakukan tindak kekerasan yang sebenarnya menyimpang dari ajaran-Nya dengan dalih jihad. Penting kiranya untuk dirumuskan ulang makna jihad yang lebih aktual dan kontekstual sesuai kebutuhan zaman kita.

Padahal, Al-Qur’an jelas-jelas membentangkan lebih luas ayat-ayat rahmah daripada ayat-ayat perang, lebih kaya ayat-ayat ampunan daripada ayat-ayat azab-Nya. Bahkan, Al-Qur’an dibuka dengan kedua asma welas asih-Nya “ar-Rahman- ar-Rahim”. Dalam asma al-Husna pun demikian memperkenal diri-Nya dengan asma Pengasih dan Penyayang bukan dengan asma Pengazab dan Penghukum.

Baca Juga  Islam Enteng-entengan (9): Cara Ziarah Kubur Menurut Rasulullah

Jika ditelusuri lebih jauh, kata jihad berasal dari “jahada” yang memilki arti berusaha atau sungguh-sungguh, yang menurunkan tiga kata kunci untuk mencapai manusia paripurna dalam bahasa Muhammad Iqbal sebagai insan kamil.

Pertama, “jihad“, perjuangan yang dilakukan dengan mengandalkan fisik. Kedua,ijtihad” segala bentuk upaya yang cenderung menggunakan cara kerja akal atau inteligensia. Ketiga,mujahadah”  lebih cenderung intuitif-spiritual bernuansa tasawuf.

Ketiganya harus seimbang dan terpaut satu sama lainnya untuk mencapai muslim yang ideal yang tidak hanya cenderung berjihad, tapi mengabaikan kinerja akal dan hati. Mendayagunakan akal secara optimal diiringi dengan usaha konkret yang maksimal, serta disokong dengan kontemplasi rohani yang serius, sehingga akan terwujud nantinya karakter manusia yang adi luhung sebagaimana diidealkan.

Dalam artikelnya Fariz Alniezar (2015) Membonsai Pemahaman Islam Aspiratif mengkategorisasikan tiga pola karakteristik umat Islam. Pertama, ada yang mujahadah saja sehingga kesehariannya berurusan dengan Tuhan dan dimensi ritual semata. Selanjutnya ada lagi yang kesehariannya mikir (ijtihad) aja mengandalkan potensi akalnya tanpa ada aksi nyata. Ada lagi yang terakhir serta yang paling berbahaya, yakni seorang muslim yang hanya mengandalkan kerja-kerja fisik saja. Kesehariannya adalah jihad, tanpa dibarengi dengan akal dan pemahaman yang matang-matang tentang agama.

Jika jihad asal berjihad tentu akan menghasilkan tindakan yang merugikan baik itu kepada agama, menyentuh ranah sosial kemanusiaan, hingga akhirnya semua merasa dirugikan. Harus ada upaya kontekstualisasi term jihad untuk kebutuhan kita saat ini.

Kemiskinan dan Kebodohan, Jihad yang Perlu Diperangi

Harus digali lebih dalam untuk ditarik pada zaman sekarang integrasi dan relevansi jihad yang justru bukan kepada perang lagi. Jika saja itu terjadi, maka akan muncul lagi korban yang berjatuhan di tengah keberagamaan dengan dalih membela Islam.

Lanjut Fariz, yang perlu diperangi secara kolektif adalah kemiskinan dan kebodohan. Inilah akar masalah yang seringkali terjadi di sekitar kita. Hal ini serupa dengan pandangan Moeslim Abdurrahman (2000) bahwa segala bentuk kekerasan serta konflik keberagamaan yang terjadi adalah karena dua hal, karena lemahnya pemahaman yang berarti kebodohan, dan arena kesenjangan ekonomi.

Baca Juga  Parade Kemiskinan dan Potensi Zakat di Indonesia

Musuh bersama yang harus kita perangi adalah kebodohan dan kemiskinan. Ketika kedua hal ini masih menjangkiti di berbagai seantero wilayah, maka akan rentan terjadi konflik karena kedangkalan pemahaman dan kesenjangan ekonomi yang mengelit leher.

Ibnu Taimiyah pun dalam kitabnya Tazkiyah an-Nafs menyatakan, asal mula yang menjerumuskan manusia kepada keburukan adalah kebodohan. Sebab, boleh jadi apa yang dianggapnya benar dan mendatangkan manfaat baginya tapi justru mendatangkan mudarat yang lebih besar lantaran kebodohannya. Bukan menuai maslahah malah memicu berbagai masalah.

Kefakiran pun berpotensi mengarah kepada hal-hal buruk dan rentan memicu kejahatan. Rasul pun pernah mengingatkan kaada al-faqru an yakuuna kufran, yakni kefakiran itu dekat dengan kekufuran. Ketika kemiskinan sedang menimpa, segala cara akan dilakukan agar terkabul apa yang dicitakannya.

Menjual diri akan dilakukan asal anak-anaknya senang bisa makan, bahkan apa pun lainnya akan dilakukan untuk kebutuhan ekonominya. Termasuk dalam pindah agama, orang akan rela meninggalkan akidah yang lama dianut menuju agama baru yang lebih menjamin kehidupan ekonominya. Jika hal itu terjadi siapa yang menjamin?

Hal ini yang perlu direnungi dan dirumuskan bersama. Terorisme dan tindakan lainnya yang berpotensi menyakiti yang lain bukanlah solusi dan bukan ajaran Islam. Tindakan membunuh bukan pahlawan Islam melainkan memunggungi nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan jauh dari teladan Rasul

Jihad yang terpenting sekarang adalah bagaimana cara mengentaskan bencana kebodohan dan kemiskinan untuk menjaga stabilitas keharmonian di tengah keberagamaan, menebar rahmah sebagaimana misi Islam sehingga mencapai cita luhur yang diimpikan.

Wallahu A’lam bi as-Shawab

Editor: Lely N

Avatar
5 posts

About author
Penggosip filsafat, menulis isu-isu sosial keagamaan dan perdamaian. Saat ini menempuh pendidikan program studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alamat sekarang: Puren No. 50 jln. Barada Gg Cengkih Condongcatur Depok Sleman DIY
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *