Abdullah Saeed adalah cendekiawan Muslim dengan latar belakang pendidikan bahasa dan sastra Arab serta studi Timur Tengah. Kombinasi pendidikan yang diikuti di Saudi Arabia dan karir akademik di Melbourne Australia menjadikannya kompeten untuk menilai dunia Barat dan Timur secara proporsional.
Saeed sangat konsern dengan dunia Islam kontemporer. Pada dirinya ada spirit bagaimana ajaran-ajaran Islam itu bisa juga shalih li kulli zaman wa makan (bisa berlaku di segala tempat dan waktu), tetapi dalam konteks kehidupan komunitas Muslim sebagai minoritas yang tinggal di negara-negara Barat.
Spirit semacam itu, ia sebut sebagai Islam Progressif. Subjeknya disebut Muslim progressif. Islam progressif adalah merupakan upaya untuk mengaktifkan kembali dimensi progressifitas Islam melalui fresh ijtihad yang dalam kurun waktu yang cukup lama telah mati suri ditindas oleh dominasi teks. (M. Amin Abdullah, 2013).
Dominasi teks ini oleh Mohammad Abid al-Jabiry dalam Bunyah al-aql al-araby (h. 560-4;). disebut sebagai dominasi corak epistemologi nalar Bayani dalam pemikiran Islam. Epistemologi Bayani mengedepankan otoritas bahasa (sulthah al-lafdz) atau bahasa (Arab), otoritas asal atau salaf (sulthah al-asl) dan otoritas keserba-bolehan (sulthah al-tajwiz), tanpa ada upaya keras melalui penelitian yang berkelanjutan untuk mencari hukum kausalitas keilmuan menjadi budaya dalam hidup kesehariannya.
Ragam Corak Pemikiran Islam
Metode berpikir yang ditawarkan Saeed disebutnya dengan istilah progressif-ijtihadi. Sebelum dipaparkan bagaimana kerangka dan pola pikir keagamaan Islam yang bercorak Progressif-Ijtihadi ini, ada baiknya dilihat posisi Muslim progressif dalam trend pemikiran Islam yang ada saat ini.
Menurut Saeed, dalam Islamic Thought: An Introduction (2006: 142-50) ada enam kelompok pemikiran Muslim era sekarang, yang corak pemikiran keagamaan atau pemikiran Kalam atau teologi berikut epistemologinya berbeda-beda:
(l) The Legalist-traditionalist, yaitu pemikiran keagamaan atau Kalam yang titik tekannya ada pada hukum-hukum yang ditafsirkan dan dikembangkan oleh para ulama periode pra Modern;
(2) The Theological Puritans, yang fokus pemikiran keagamaannya adalah pada dimensi etika dan doktrin Islam yang bercorak puritan;
(3) The Political Islamist, yang kecenderungan pemikirannya adalah pada aspek politik Islam dengan tujuan akhir mendirikan negara Islam;
(4)The Islamist Extremists, yang memiliki kecenderungan menggunakan kekerasan untuk melawan setiap individu dan kelompok yang dianggapnya sebagai lawan, baik Muslim ataupun non-Muslim;
(5) The Secular Muslims, yang beranggapan bahwa agama merupakan urusan pribadi (private matter); dan
(6) The Progressive Ijtihadists, yaitu para pemikir modern atas agama yang berupaya menafsir ulang ajaran agama agar dapat menjawab kebutuhan masyarakat modern. Pada kategori yang terakhir inilah posisi Muslim progressif berada.
Progressif-Ijtihadi
Karakteristik pemikiran keagamaan, Kalam atau teologi Muslim Progressif-Ijtihadis, dijelaskan oleh Saeed dalam bukunya Islamic Thought (2006: 150-1) antara lain adalah sebagai berikut :
(1) mereka mengadopsi pandangan bahwa beberapa bidang hukum Islam tradisional memerlukan perubahan dan reformasi substansial dalam rangka menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Muslim saat ini;
(2) mereka cenderung mendukung perlunya fresh ijtihad dan metodologi baru dalam ijtihad untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer;
(3) beberapa diantara mereka juga mengkombinasikan kesarjanaan Islam tradisional dengan pemikiran dan pendidikan Barat modern;
(4) mereka secara teguh berkeyakinan bahwa perubahan sosial, baik pada ranah intelektual, moral, hukum, ekonomi atau teknologi, harus direfleksikan dalam hukum Islam;
(5) mereka tidak mengikutkan dirinya pada dogmatism atau mazhab hukum dan teologi tertentu dalam pendekatan kajiannya; dan
(6) mereka meletakkan titik tekan pemikirannya pada keadilan sosial, keadilan gender, HAM, dan relasi yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim.
Sekilas tampak jelas bahwa corak epistemologi keilmuan pemikiran Islam kontemporer, dalam pandangan Saeed, adalah berbeda dari corak keilmuan dan pendidikan Islam tradisional. Bukan agamanya yang berbeda, tetapi metode pemahaman dan penafsiran serta pendekatannya yang berbeda dari yang pernah berlaku dalam sejarah Islam terdahulu.
Ijitihad yang Fresh
Penggunaan metode kesarjanaan tradisional masih tetap ada, dimana nass-nass al-Qur’an menjadi titik sentral berangkatnya, tetapi metode penafsiran dan pendekatannya telah didialogkan dan dikawinkan, dengan menggunakan epistemologi baru yang melibatkan masukan dari natural sciences, social sciences dan humanities kontemporer.
Penggunaaan istilah ‘pendidikan Barat modern’ adalah salah satu indikasi pintu masuk yang dapat mengantarkan para pecinta studi Islam kontemporer ke arah ke ijtihad progresif. Barat di sini bukan berarti wilayah teritorial apalagi agama, tetapi lebih pada wilayah pengalaman dan pengembangan keilmuan.
Dalam isu-isu dan persoalan-persoalan humanitas kontemporer terlihat nyata ketika Saeed menyebut keadilan sosial, lebih-lebih keadilan gender, HAM dan hubungan yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim. Persoalan humanities kontemporer yang mencuat ke ruang publik tidak akan dapat dipahami, dengan baik, jika epistemologi keilmuan Islam hanya menggunakan metode dan pendekatan ‘Ulum al-din lama.
Saeed menjelaskan pandangan dan telaah kritisnya terhadap ‘Ulum al-din dan Ilmu-ilmu Syari’ah (lama), yang terdiri dari hadist, usul al-fiqh dan tafsir jika hanya berhenti dan puas dengan menggunakan metode, cara kerja dan paradigma lama (Saeed, 145-149).
Kemudian, dalam hal tafsir, dia mengajukan metode alternatif untuk dapat memahami teks-teks kitab suci sesuai dengan perkembangan dan tuntutan tingkat pendidikan dan literasi umat manusia era sekarang ini. Tampak jelas bahwa Abdullah Saeed meneruskan dan mengembangkan lebih lanjut metode tafsir al-Qur’an, yang lebih bernuansa hermeneutis dari pendahulunya Fazlur Rahman.