Perspektif

Eufemisme Penguasa di Seputar Korona

4 Mins read

Ketika riuh soal ”mudik” dan ”pulang kampung” April lalu, ada yang bilang bahwa presiden sedang menggunakan strategi doublespeak atau bahasa yang ambigu. Penganut paham ini membaca persoalan yang lebih luas daripada sekadar ribut-ribut beda atau sama makna antara mudik dan pulang kampung.

Memaknai mudik dan pulang kampung lewat arti secara leksikal merupakan manifestasi dari pandangan linguistik tradisional. Yang demikian senantiasa menjadikan kamus sebagai rujukan utama. Pengamat bahasa yang satu bilang bahwa dua kata itu sama saja alias presiden sedang ”keseleo lidah”. Pakar lainnya menyangkal lantaran mudik dan pulang kampung memiliki nuansa makna sekaligus tradisi yang berbeda.

Tapi, doublespeak memandang ada pengaburan fakta dari penutur, dalam hal ini presiden. Terlepas dari beda atau sama makna kedua kata, pemerintah tampak tidak ingin disalahkan atas persoalan sebagian besar orang di kota yang mudik/pulang kampung ke desa/udik. Maka, ”Kalau itu bukan mudik, itu pulang kampung. Yang bekerja di Jabodetabek, di sini, tidak ada pekerjaan, mereka pulang,” kata Jokowi. ”Coba lihat di lapangan, di Jakarta mereka sewa ruang isi delapan orang. Di sini tidak bekerja, lebih bahaya mana? Di dalam ruangan dihuni sembilan orang, tapi pulang kampung sudah disiapkan isolasi oleh desa?” lanjut Jokowi.

Persoalannya, amat dimungkinkan orang yang dikatakan Jokowi pulang kampung (tidak kembali) itu sekaligus mudik. Artinya, mereka yang diklaim pulang kampung itu, yang tidak akan kembali ke kota karena sudah tidak ada pekerjaan, bisa saja kelak juga mengadu nasib lagi ke kawasan urban. Singkatnya, orang-orang itu bisa saja memang pulang kampung, bisa juga mudik. Maksud hati siapa yang tahu?

Dengan membedakan antara mudik dan pulang kampung, pemerintah setidaknya punya alasan untuk membantar jika dipersalahkan. Di sinilah doublespeak memainkan peran. Umumnya, doublespeak mewujud dalam eufemisme. Dan eufemisme sangat lumrah digunakan di panggung-panggung politik. Pulang kampung adalah sedikit penghalusan makna dari mudik.

***

Secara etimologis, menurut Gorys Keraf, kata eufemisme atau eufemismus diturunkan dari kata Yunani euphemizein yang berarti mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik. Dulu, ketika masih SMP/SMA, barangkali kita ”polos” saja belajar bahwa eufemisme sekadar ragam majas seperti halnya metafora, personifikasi, hiperbola, sinekdoke, metonimia, dan ironi.

Baca Juga  Ragam Pemaknaan Terhadap Kata 'Anjay'

Akan tetapi, dalam pandangan linguistik kritis (critical linguistic), eufemisme (juga metafora) tak cukup memadai jika hanya dimaknai secara leksikal, yakni berkaitan dengan leksem. Eufemisme merupakan ungkapan kebahasaan yang bertujuan untuk memperhalus sebuah keadaan sehingga apa yang ditangkap pendengar tidak sama dengan keadaan aslinya. Eufemisme jamak digunakan elite politik untuk memperhalus maksud sehingga publik, katakanlah, bisa menaruh simpati.

Dalam situasi pandemi korona ini, pemerintah awalnya juga sempat menutup-nutupi persebaran kasus. Pemprov Jatim, misalnya. Sang gubernur Maret lalu mengeluarkan bahasa-bahasa yang tampak halus di kulit luarnya, tapi berbahaya sekali isinya. ”Jadi, ada kekhawatiran dari kami. Saya tidak ingin ada pengasingan daerah. Saya tidak mau terjadi kekhawatiran, jadi saya minta masyarakat jangan panik,” kata Khofifah Indar Parawansa di Gedung Negara Grahadi kala itu (18/3/2020). ”Mari kita jaga bersama secara psikologis. Jadi, saya minta tolong teman-teman untuk tetap bisa menjaga suasana agar tidak panik,” tuturnya, sekali lagi.

Penggunaan frasa masyarakat jangan panik atau agar tidak panik, contohnya, adalah penghalusan, malah bisa dibilang pengaburan fakta, dari pemerintah yang tidak transparan. Sebab, saat itu tiba-tiba saja di Jawa Timur sudah ada delapan orang spesimen yang terkonfirmasi positif dan satu di antaranya meninggal. Gubernur pun seolah ”tidak siap” menghadapi fakta demikian dan enggan membuka data. Eufemisme dalam konteks ini juga dimaksudkan untuk menjaga nama baik provinsi (sekaligus gubernur). Mari kita jaga bersama secara psikologis adalah contoh lain dari penghalusan untuk tidak mengatakan ketakutan warga.

Ungkapan-ungkapan di atas hanya dapat dibongkar lewat linguistik kritis. Sebab, menurut David Crystal, linguistik kritis dapat mengungkap relasi kuasa tersembunyi dan proses-proses ideologi yang muncul dalam teks-teks lisan atau tulis. Linguistik kritis tidak hanya ingin menjawab ”apa” dan ”bagaimana”, tetapi juga ”mengapa” dan ”bagaimana” bahasa itu diproduksi dan direproduksi.

Baca Juga  Bersimpuh di Hadapan Kemanusiaan
***

Ekspresi eufemisme dalam wacana politik sebetulnya bukanlah barang baru. Di masa Orde Baru, praktik-praktik eufemisme cukup produktif digunakan. Anang Santoso dalam buku Studi Bahasa Kritis: Menguak Bahasa Membongkar Kuasa memuat diksi-diksi Soeharto yang mengandung eufemisme. Di antaranya, kenaikan harga (ekspresi sebenarnya) menjadi penyesuaian harga (ekspresi eufemisme), keluarga miskin menjadi keluarga prasejahtera, pinjaman/utang menjadi bantuan asing, penyelewengan menjadi penggunaan fasilitas negara, dan daerah tertinggal menjadi daerah belum berkembang. Bahkan, beberapa istilah warisan Soeharto di atas masih digunakan hingga pemerintahan kiwari. Sebut saja penyesuaian harga, keluarga prasejahtera, dan bantuan asing.

Segendang sepenarian, Daniel Dhakidae dalam buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru menjelaskan bahwa eufemisme bukanlah gejala linguistik, melainkan gejala kekuasaan. Sementara menurut dosen UI Tommy Christomy, eufemisme memang dibutuhkan dalam keseharian, termasuk dalam politik dan kekuasaan. Namun, eufemisme yang terus direproduksi dan ditayangkan juga punya konsekuensi buruk, yakni menjauhkan masyarakat dari realitas sebenarnya.

Kembali ke persoalan beragam sikap pemerintah di masa pandemi Covid-19 ini. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebetulnya juga bentuk penghalusan dari lockdown/kuntara (kunci sementara). Dalam beberapa praktik, PSBB memang berbeda dari kuntara. Salah satunya, PSBB masih longgar, sedangkan kuntara amat ketat. Akan tetapi, implementasi lockdown sebetulnya juga bermacam-macam. Lockdown di Tiongkok berbeda dengan di Italia.

Lockdown di Milan ini ternyata longgar sekali,” ujar seorang dokter dari Tiongkok ketika diperbantukan di Italia. ”Masih ada kendaraan umum yang jalan. Masih ada orang yang terlihat di lalu-lalang,” tambahnya. Nah, barangkali kuntara di Italia ini mirip dengan PSBB di Indonesia yang mulai diberlakukan di beberapa kota besar.

***

Masih banyak diksi atau ungkapan pemerintah yang diproduksi dalam situasi pandemi Covid-19 ini. Masyarakat berpenghasilan rendah juga niat ”baik” pemerintah untuk tidak mengatakan masyarakat miskin, misalnya. Ini serupa dengan keluarga prasejahtera. Pemerintah juga sempat mengatakan kini sedang terjadi pelambanan ekonomi alih-alih krisis ekonomi. Di situasi pandemi ini juga tak kalah ramai istilah kartu prakerja. Prakerja tak lain didayagunakan untuk menyubstitusi warga negara yang belum bekerja, tidak bekerja, atau penganggur.

Baca Juga  Lawan Korona, Tanggalkan Mazhab Politik!

Bahasa politik sungguh berbeda dengan bahasa-bahasa lain. Bahasa politik sering kali bias dan tidak lugas. Karena itu, kerap muncul anekdot bahwa politik membuat sesuatu yang mudah menjadi rumit. Nah, eufemisme-lah salah satu penyumbang bahasa politik menjadi rumit, bias, dan tidak lugas itu.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds