Falsafah

Transfigurasi Nilai Asketik Puasa

3 Mins read

Praktik spiritual ibadah puasa memiliki afinitas yang erat kaitannya dengan asketisme. Asketisme awalnya dipraktikkan dalam tradisi filsafat Stoa Yunani untuk menempa laku spiritual dengan pengasingan dan pengekangan diri dari kehidupan duniawi. Tubuh, pikiran, jiwa dan kehendak berada dalam sistem asketik untuk transformasi rohani sehingga diharapkan dapat mengatasi penderitaan hidup. Lalu bagaimana sebenarnya nilai asketik puasa?

Asketisme tidak sekadar konstruk intelektual semata, tetapi juga representasi dari kesadaran spiritual orang beriman. Memiliki sifat zuhud di masa pagebluk Covid-19 ini sangat penting dan dibutuhkan manusia modern. Moralitas kezuhudan dapat dijelaskan dengan penghayatan sepenuhnya ego terhadap kesadaran mistik.

Sayangnya, tidak setiap teolog dapat menerima kesadaran itu. Pilihan mistik yang diekspresikan dalam alam imajinasi para sufi dan karya mistikus Islam seringkali disalahpahami sebagai bidÂ’ah dan penyimpangan tauhid. Sehingga Seyyed Hossein Nasr, intelektual Iran yang tinggal di Amerika, dalam Traditional Islam in the Modern World (1987) menilai penyangkalan itu sebagai “serangan intelektual” (intellectual onslaught).

Pandangan eksklusif kaum fundamentalis mengubur realitas perkembangan intelektual dalam tradisi asketisme dengan pembunuhan para sufi dan filsuf seperti Al-Hallaj, Suhrawardi, dan lainnya. Visi rasional dalam tradisi intelektual yang melandasi asketisme sepanjang sejarah hingga hari ini tidak dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh aliran revivalisme Islam disebabkan kabut kebencian yang terlanjur tebal.

Nilai Asketik Puasa

Sikap oposisi buta atas praktik penghayatan keagamaan semacam itu bertentangan dengan kebebasan eksistensial. Asketisme adalah cara eksis dalam suluk religius. Kierkegaard, filsuf Denmark dan bapak eksistensialisme ini membentangkan tiga macam eksistensi. Pertama, estetik, yakni perlunya eksis melawan kebosanan dan keputusasaan.

Kedua, etik, lompatan eksistensial dalam pilihan bebas yakni berjarak dari khalayak untuk memahami moral universal lebih dalam. Ketiga, religius, cara hidup tertinggi yang mengoptimalkan iman. Kedekatan dengan Tuhan sebagai kesempurnaan tertinggi. Tuhan hanya dapat didekati secara personal. Kebenaran ilahiah adalah kebenaran personal. Setidaknya ia mewariskan cara pandang asketik di tengah kemodernan.

Baca Juga  Eksistensi Tuhan: Argumentasi Ontologis dan Kosmologis

Puasa Ramadan hakikatnya konfigurasi eksistensi religius semacam itu. Tepatnya, eksistensi yang mengandung seni transfigurasi dalam tradisi filsafat dan mistisisme Islam. Bahkan Nietszche, filsuf ateis yang melihat filsafat sebagai praktik spiritualisasi kreatif ini, dalam sebuah karyanya Also Sprach Zarathustra meyakini  bahwa asketisme mampu melampaui konflik dan penderitaan (agonistik).

Puasa di tengah wabah corona ini memang menempatkan eksistensi religius dalam konflik pilihan hidup bebas atau terasing. Tetapi eksistensi religius justru mengukuhkan sifat asketik dengan kedaulatan individu yang bebas itu untuk berkelindan dalam kearifan zuhud yang meneguhkan diri.  

Tak dipungkiri, menjalani ibadah puasa dalam masa lockdown atau PSBB seolah merupakan citraan tegas dari keterasingan. Eksistensi religius menambatkan citra soliternya dalam asketisme. Semua akhirnya harus menerima peniadaan perkumpulan ajeg tarekat atau salat tarawih berjamaah. Inilah nilai asketik puasa. Asketisme tidak menganggap isolasi sebagai alienasi, melainkan representasi nyata dari eksistensi.

Keterasingan justru dialami oleh masyarakat modern. Sebagian merasa serba kecukupan dan serba tahu tetapi dihantui kehampaan hidup dan perasaan was-was. Tidak setiap yang indah dalam kehidupan ini dapat mereka apresiasi dengan pelibatan rasa empati yang layak. Kemodernan tidak selamanya menjanjikan kesenangan.

Pameran karya Van Gogh di Polandia pada 1960-an yang digadang-gadang bakal ramai ternyata sepi pengunjung. Masih di benua modern yang sama, tepatnya di Italia, pujangga Dante Alighieri terpasung dalam bayangan cintanya atas Beatrice yang tertuang dalam La Vita Nouva dan Divina Komedia.

Keterasingan juga berarti kepahitan, kesendirian dan ujian hidup. Saat Descartes berusia 1 tahun, ibunya wafat. Ibunya tiada, saat Spinoza berumur 6 tahun. Pada umur 13 tahun, ibunya Kant dan Hegel wafat. Ayahnya Nietszche tiada saat dirinya umur 4 tahun. Sedangkan ayah Sartre meninggal saat ia masih berusia 2 tahun.

Baca Juga  Agama itu Fenomena Alami Manusia!

Di titik nadir, para filsuf memiliki bekal potensi kreatif untuk menyumbangkan gagasan briliannya bagi kemanusiaan yang terus dibaca orang hingga hari ini.

Derajat Penyaksian

Selaras dengan itu, alienasi dirasakan pelaku asketik sebagai pengalaman kesadaran mistik. Iqbal dalam Reconstruction of Religious Thought in Islam melihat penafsiran atas pengalaman kesadaran mistik sebagai lintasan ego. Ego itu perasaan kehidupan personal dan sistem pikiran. Pengalaman batin itu ego yang sedang beroperasi. Fungsi ego sebenarnya memberikan arah sebagaimana konsep ruh dalam Q.S. Al-Isra: 85. Keterasingan bukan kemalangan. Ego terbatas akan mendekati ego tak terbatas demi keselamatan dan konsekuensi logis dari akibat perbuatannya di dunia. Ego tak terbatas itulah ego tertinggi, yaitu Tuhan.

Orang yang berpuasa mengalami kesadaran mistik untuk dekat (taqarrub) bersama Tuhannya. Ia membatasi diri dari dunia luar semata-mata untuk menyucikan egonya dalam keheningan. Keterbatasan dan keterasingan bukan hambatan bagi ego untuk memproyeksikan dirinya selalu merasa diawasi (muraqabah) dan berusaha memperbaiki diri (muhasabah) di hadapan Tuhan.

Pada konteks itu, Ibnu ‘Arabi dalam Futuhat Makkiyah menilai puasa sebagai pelepasan sekaligus penyucian ego. Puasa adalah citra samdaniyyah Tuhan, pusat dari segala yang menggantungkan diri. Orang yang berpuasa diangkat dalam derajat penyaksian (musyahadah). Karena kesabarannya akan ditebus kontan oleh Tuhan.

Selain itu, ia berhak memperoleh dua kegembiraan. Kegembiraan saat berbuka sebagai representasi ruh hewani dan kegembiraan saat bertemu dengan Tuhannya sebagai representasi jiwa rasional.

Puasa adalah jembatan pertemuan intim dengan Tuhan. Dalam sistem asketik, puasa mengasingkan diri dari belenggu duniawi dan terbebas dari kehampaan makna hidup. Inilah gambaran nilai asketik puasa.

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (MPI PWM DIY). Dosen Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds