Perspektif

Sekolah Islam Moderat: Potret dan Strategi Guru PAI

4 Mins read

Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah mempunyai sejumlah fungsi, di antaranya: berfungsi menyampaikan ajaran Islam yang benar dan menangkal paham-paham keagamaan yang ekstrem dan radikal. Paham-paham keagamaan yang ekstrem dan radikal bukan hanya berbahaya bagi perkembangan doktrin-doktrin agama itu sendiri tapi juga bagi kehidupan beragama masyarakat.

Dalam konteks Indonesia yang majemuk dalam hal agama, paham keagamaan yang ekstrem dan sempalan jelas tidak kondusif. Paham demikian bukan hanya merusak kerukunan hidup antar umat beragama, melainkan bahkan dapat menyulut konflik antar agama. Hal ini disebabkan karena paham keagamaan ekstrem dicirikan oleh eksklusivitas dan klaim kebenaran yang bersifat intoleran terhadap agama-agama lain.

Fungsi lain dari Pendidikan Agama Islam di sekolah adalah memberikan pengayoman terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan di sekolah. Kegiatan keagamaan di sekolah merupakan kegiatan yang hampir rutin diselenggarakan seperti PHBI, rihlah dakwah, kajian keagamaan, rohis, dan sebagainya.

Kegiatan-kegiatan tersebut bukan saja sangat bermanfaat bagi siswa, tetapi juga masyarakat sekolah pada umumnya. Dari segi siswa, proses internalisasi nilai-nilai agama akan semakin intensif, sedangkan dari sisi sekolah, suasana religius akan mewarnai kehidupan sekolah.

Oleh karena itu, kegiatan semacam ini tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa bimbingan dan pengayoman, terutama dari guru Pendidikan Agama Islam. Dengan demikian, kegiatan yang dilaksanakan bukan saja akan berjalan lancar, tetapi juga tertutup dari kemungkinan munculnya kegiatan-kegiatan yang bertendensi ekstrem dan fundamentalis.

Nah, berikut ini kita potretkan beberapa gambaran masalah yang menceritakan kejadian-kejadian yang berkaitan dengan problematika keberagamaan dan juga pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah yang menyiratkan bahwa pemahaman agama yang mentolerir tindakan kekerasan atas nama agama kerap terjadi.

Potret 1

Beberapa bulan setelah kasus bom bunuh diri di 3 gereja di Surabaya, seorang guru PAI, setelah membaca sebuah media, berbicara tentang kasus tersebut di depan siswa-siswanya. Dia bercerita bahwa apa yang telah dilakukan oleh  Si Fulan dkk. adalah  bagian dari Jihad. Dia menambahkan bahwa Si Fulan cs, menurut agama, tidak berdosa telah melakukan tindakan tersebut karena para korban adalah orang kafir yang beragama B yang sedang menyekutukan Allah SWT.

Baca Juga  Potret Kemajuan Islam di Baghdad

Pembelajaran agama yang seperti ini, tentunya, sangat menyesatkan bagi siswa. Guru PAI, dalam kisah ini, telah menanamkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama B, dan telah melegalkan tindakan kekerasan terhadap orang lain (umat beragama lain).

Dalam hal ini, apakah guru PAI seharusnya bersikap demikian? Bukankah seharusnya ia menjelaskan bahwa tindakan Si Fulan cs tidak bisa dibenarkan baik secara hukum maupun menurut agama? Bukankah akan lebih bijak bila ia menjelaskan bahwa semua agama, apalagi Islam, tidak pernah memerintahkan kepada pemeluknya untuk melakukan kekerasan terhadap siapa saja, termasuk kepada pemeluk agama lain?

Potret 2

Seorang siswa SMA merasa bingung ketika mengikuti pelajaran Pendidkan Agama Islam. Dia merasa, selama ini hanya mempelajari dan menghafal “teks-teks” keagamaan dan tata cara melakukan kegiatan ritual keagamaan di sekolah. Dia merasa aneh, kenapa pak guru PAI tidak pernah membahas atau mendiskusikan hubungan agama dengan kenyataan kehidupan yang ada.

Pertanyaan-pertanyaan siswa seperti ini, sering kita temui, terutama sekali pada tingkat perguruan tinggi. Kajian agama yang lebih bersentuhan langsung pada persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat memang sangat dibutuhkan, seperti mempelajari bagaimana peran agama terhadap merebaknya hoax, perlindungan anak, pengentasan kemiskinan, pembearantasan korupsi, atau bagaimana hubungan agama dan negara.

Selama ini, kajian-kajian yang baru saja disebut hanya ada pada tingkat perguruan tinggi. Itupun hanya terbatas pada program-program studi tertentu seperti studi agama, sosiologi, antropologi, dan politik. Untuk mengatasi masalah ini, harus ada beberapa perubahan pada orientasi pendidikan agama kita, kurikulum, dan materi pelajaran yang digunakan.

Orientasi pendidikan yang tidak hanya mengacu pada pembentukan pemahaman keagamaan secara tesktual dan ritual, tapi juga mengacu pada pemahaman yang kontekstual dan sosial. Kurikulum yang tidak hanya bertujuan membangun kemampuan siswa terhadap mata pelajaran keagamaan, tapi juga bagaimana membangun sikap siswa yang agamis, religius, dan peduli sosial. Serta materi pelajaran yang tidak hanya mengacu pada teks-teks keagamaan (buku, kitab) yang bersumber pada satu aliran pemikiran atau mazhab tertentu, tapi juga berasal dari penulis, zaman, aliran, dan mazhab yang bervariasi.

Baca Juga  New Normal: Mengurai Skenario Tatanan Baru Pasca-Pandemi

Peran Guru PAI dan Sekolah

Beranjak dari beberapa gambaran kejadian seperti di atas maka penting kiranya bagi seorang guru PAI atau sekolah untuk menerapkan secara langsung beberapa aksi guna membangun pemahaman keberagamaan siswa yang inklusif dan moderat di sekolah.

Guru PAI merupakan faktor penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif-pluralis dan moderat di sekolah. Guru PAI memiliki posisi penting dalam pendidikan multikultural karena dia merupakan salah satu target dari strategi pendidikan ini. Apabila seorang guru PAI mempunyai paradigma pemahaman keberagamaan yang inklusif-pluralis dan moderat, maka dia juga akan mampu untuk mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan tersebut terhadap siswa di sekolah.

Paling tidak, ada dua peran guru PAI untuk mendukung hal tersebut yang meliputi; pertama, seorang guru PAI harus mampu untuk bersikap demokratis. Artinya dalam segala tingkah lakunya, baik sikap maupun perkataannya, tidak diskriminatif, berlaku adil termasuk kepada  siswa-siswa yang menganut agama yang berbeda dengannya.

Kedua, guru PAI seharusnya mempunyai kepedulian terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Contohnya ketika terjadi bom bunuh diri di 3 gereja di Surabaya (2018), maka seorang guru PAI yang berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut. Kemudian seorang guru PAI sebaiknya mampu menjelaskan bahwa kejadian tersebut seharusnya jangan sampai terjadi. Bukankah di dalam semua agama baik Islam, Kristen, Hindu Buddha, Yahudi, Khonghucu, dan kepercayaan lainnya mengajarkan bahwa segala macam bentuk kekerasan dalam memecahkan masalah adalah dilarang. Sebab kekerasan hanya akan memunculkan masalah-masalah baru.

Tugas Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sekolah
***

Selain guru PAI, peran sekolah juga sangat penting dalam mempromosikan lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran terhadap semua pemeluk agama. Untuk itu, sekolah seyogyanya memperhatikan langkah-langkah berikut; pertama, sekolah sebaiknya membuat dan menerapkan kebijakan atau peraturan lokal, yaitu regulasi atau peraturan sekolah yang diterapkan secara khusus di satu sekolah tertentu.

Baca Juga  ISO 21001:2018 dan Kualitas Pendidikan

Dalam peraturan sekolah tersebut, tentunya, salah satu poin penting yang tercantum adalah adanya larangan terhadap bentuk diskriminasi agama di sekolah tersebut. Dengan diterapkannya aturan ini, diharapkan semua unsur yang ada seperti guru, kepala sekolah, pegawai administrasi, dan siswa, dapat belajar untuk selalu menghargai orang lain yang berbeda agama di lingkungan mereka.

Kedua, untuk membangun rasa saling pengertian sejak dini antara siswa-siswi yang mempunyai keyakinan keagamaan yang berbeda, maka sekolah harus berperan aktif menggalakkan dialog keagamaan atau dialog antariman yang tentunya tetap berada dalam bimbingan guru-guru dalam sekolah tersebut. Dialog antariman semacam ini merupakan salah satu upaya yang efektif agar siswa dapat membiasakan diri melakukan dialog dengan penganut agama yang berbeda.

Ketiga, hal lain yang penting dalam agenda mempromosikan paham Islam yang moderat dan inklusif ini adalah perhatikan kurikulum dan buku-buku pelajaran yang dipakai, dan diterapkan di sekolah. Kurikulum pendidikan yang multikultural merupakan persyaratan utama yang harus dimiliki dalam menerapkan agenda strategis pendidikan keagamaan ini. Pada intinya, kurikulum pendidikan multikultural adalah kurikulum yang memuat nilai-nilai inklusivisme dan toleransi keberagamaan. Begitu pula buku-buku, terutama buku-buku keagamaan Islam yang dipakai di sekolah, sebaiknya adalah buku-buku yang dapat membangun wacana peserta didik tentang pemahaman Islam yang inklusif-pluralis dan moderat.

Akhirnya, agenda guru PAI di sekolah untuk mempromosikan paham Islam yang moderat dan inklusif sangatlah berat. Tapi hal tersebut akan menjadi ringan bila sang guru PAI menyadari bahwa mewujudkan kehidupan yang rahmat untuk semua (rahmatan lil alamin) memang tugas, tanggungjawab serta amanah bagi semua umat Islam, khususnya guru PAI. Selamat bekerja!

Editor: Yahya FR
Avatar
2 posts

About author
Wakil Ketua MPK PP Muhammadiyah & Dosen FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds