Perspektif

Puasa Itu Menyuburkan Ruhiyah

2 Mins read

Mankind is a spiritual being in a physical body”.

Kalau seandainya saya ditanya tentang defenisi manusia, maka jawaban saya kira-kira seperti di atas. Bahwa manusia itu adalah wujud spiritualitas dalam sebuah bentuk fisikal.

Intinya adalah bahwa nilai (value) sejati manusia itu ada pada posisi ruhiyahnya. Kemuliaan, kehormatannya ditentukan oleh nilai spiritualitasnya.

Kalau sekiranya manusia bangga karena fisiknya, maka sudah pasti gajah, kerbau atau sapi pantas lebih bangga darinya. Kalau kekuatan fisiknya boleh jadi seekor harimau akan lebih bangga karena memang lebih kuat.

Karenanya sekali lagi, nilai kemanusiaan (human value) manusia ada pada aspek ruhiyah kehidupannya.

Jika penciptaan jasad manusia terbuat dari tanah liat (thiin), maka eksistensi “ruh” manusia langsung dari tiupan ruh Ilahi.

Oleh karena ruh adalah tiupan ruh Ilahi, maka ruh inilah yang nanti pada akhirnya kembali ke asalnya, kembali menghadap Allah SWT. Sementara fisiknya akan kembali pula bersatu dengan asalnya di tanah.

Jika fisik berakhir dengan kebusukan dan kehancuran, maka ruh yang terjaga, mulia selamanya.

Hakekatnya sebagai pemberian Allah yang khusus kepada manusia, menjadikan ruh rahasia yang tiada tahu kecuali Allah SWT sendiri. “Dan katakan sesungguhnya ruh itu adalah urusan Allah” (Al-Quran).

Sedemikian mulianya ruh manusia, maka Islam sebagai agama kehidupan, elemennya mengandung aspek “spiritual nourishment” (makanan ruh). Dari ibadah-ibadah ritual hingga ke aspek-aspek muamalatnya, semuanya mengandung unsur ruhiyah.

Ketika akan makan atau tidur misalnya, doa yang dipanjatkan semuanya bermuara langit (Allah). Makan meminta “barakah”. Dan barakah itu ada di tangan Allah yang “Tabaaraka”.

Tidur juga atas nama-Nya Allah (bismika). Keduanya bukan sekedar aktivitas duniawi yang hampa ruhiyah. Tapi terikat dengan nilai-nilai samawi yang sarat dengan kandungan ruhiyah.

Baca Juga  Kapan Sebaiknya Mengakhiri Aktivitas Sahur?

Jangankan makan dan tidur, hubungan suami isteri pun tidak lepas dari nilai-nilai ruhiyah itu. Sehingga disebutkan bahwa hubungan yang tidak dimulai dengan doa perlindungan dari setan, anak yang tercipta dari hubungan itu akan ikut terpengaruh setan.

Bahkan keluar masuk WC sekali pun semuanya memiliki nilai-nilai ruhiyah karena bersentuhan langsung dengan nilai-nilai samawi. Meminta perlindungan dari setan “Allahumma inni auzdu bika minal khubutsi wal khabaaits” itu memiliki makna ruhiyah yang dalam.

Apalagi aspek ritual agama ini. Dari shalat, puasa, haji, dan ragam bentuk ibadah ritual, semuanya secara mendasar dimaksudkan untuk menumbuh suburkan nilai-nilai ruhiyah manusia. Karena pada semua amalan itu “dzikrullah” yang menjadi esensi dasarnya.

Shalat yang kosong dari dzikir (mengingat Allah) dikategorikan oleh Al-Quran sebagai shalat kemunafikan. Bahkan terancam dengan neraka “wael”.

Puasa secara khusus penuh dengan nilai-nilai spiritualitas (ruhiyah). Makan sahur itu bukan sekedar makan pagi. Tapi sebuah amalan ibadah yang padanya dijanjikan “barakah”.

“Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu ada barakah” (hadits).

Barakah itu adalah nilai tambah karena bersentuhan langsung dengan Allah (Tabaraka). Sehingga dengan sendirinya merupakan “penguatan ruh” yang memang langsung dari Allah (ruhina).

Singkatnya semua amalan yang terjadi di Bulan Ramadan, shalat-shalat sunnah, baca Al-Quran, Tarawih dan qiyaam, hingga kepada shadaqah dan bahkan tidur sekali pun bernilai spiritualitas.

Puasa diakhiri dengan berbuka puasa (Iftar). Sebuah amalan yang bukan sekedar makan malam seperti biasanya. Tapi semua amalan yang sarat dengan nilai ruhiyah.

Karenanya doa berbuka dikaitkan langsung dengan Ilahi: “untuk Engkau Aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu juga aku berbuka puasa. Maka terimalah dariku. Sungguh Engkau Maha mendengar lagi Maha melihat”.

Baca Juga  Cocokologi Virus Corona dan Kitab Iqra’; Bagaimana Sikap Umat Islam?

Karenanya bulan Ramadan ini harus menjadi momentum yang baik dalam membangun kehidupan ruhiyah yang solid. Kerapuhan nilai-nilai spiritualitas menjadikan manusia terombang-ambing dalam pergerakan gelombang dunia yang tiada akhir.

Kehidupan materialistis, konsumeris, dan hedonistis yang terbangun di atas paham kapitalisme menjadikan manusia semakin rakus dan kehilangan nuraninya.

Akibatnya dalam dunia yang kerap kali diakui sebagai dunia modern yang seharusnya lebih beradab (civilized), justru kerap berkarakter biadab. Bahkan lebih biadab dari hewan.

“Mereka bagaikan hewan. Bahkan lebih sesat dari hewan” (Al-Quran).

Semoga puasa kita menumbuh suburkan hati dan ruh kita sehingga dorongan dunia yang dahsyat ini mampu terimbangi. Keseimbangan dalam hidup materi (jasad) dan spiritualitas (ruh) inilah yang menjadikan Islam sebagai agama yang unik.

Agama yang membangun kebaikan pada dua aspek kehidupan. Hasanah fid-dunya wa hasanah fil-akhirah. Amin!

Editor: Arif

Avatar
48 posts

About author
Direktur Jamaica Muslim Center NY/ Presiden Nusantara Foundation
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds