Perspektif

Ramadan Segera Berlalu: Api atau Abu yang Ditinggalkan?

3 Mins read

Tak terasa, Ramadan yang senantiasa ditunggu kedatangannya oleh seluruh umat Islam, sebentar lagi akan berlalu. Bulan yang sejatinya penuh dengan keberkahan, bulan di mana Al-Qur’an diturunkan (QS Al-Baqarah: 185), terdapat malam lailatul qodar yang digambarkan malam yang lebih baik dari seribu bulan (QS Al-Qadr: 1-3) dan dilipatgandakannya setiap amalan dan ibadah yang kita lakukan.

Bulan Ramadan yang mampu me-refresh kesadaran umat Islam secara kolektif atas penghambaan kepada Sang Khalik. Sehingga kita dapat melakukan setiap ritual peribadatan dengan terasa ringan serta senang hati. Salat bisa kita jalankan dengan rajin, tidak hanya fardu tapi salat sunah tak kalah banyaknya. Mampu berpuasa selama sebulan penuh, bukan hanya apa yang diharamkan tapi yang dihalalkan pun kita mampu menahan. Al-Qur’an  tak luput dari sentuhan bahkan khatam berkali-kali. Serta sebagian harta yang biasanya kita timbun, tak segan kita sisihkan untuk membayar zakat dan infaq.

Kualitas keseriusan itu tak lepas dari kelebihan Ramadan yang memang dijanjikan oleh Allah itu sendiri, yang berbeda dibanding bulan-bulan lainnya. Namun, apakah kita mampu mewarisi apinya atau sekedar abunya?

Tentu untuk mejawab pertanyaan di atas diperlukan pemahaman dan penjelasan (interpretative understanding) tentang setiap ritual keagamaan secara kontekstual yang basis epistemologinya merujuk pada aspek sosiologis agar ritual keagamaan memiliki makna kemanusiaan yang hidup dalam keseharian. Karena sejatinya, komitmen kepada kemanusiaan merupakan komitmen kepada ketuhanan.

Terlebih lagi, jika kita dapat mengabdikan diri hanya kepada Allah, maka akan sampailah pada maqam tertinggi sebagai manusia yakni muttaqin (orang yang bertaqwa). Takwa menurut Farid Esack, seorang cendekiawan muslim organik asal Afrika Selatan, merupakan istilah paling komprehensif dalam menjelaskan kesatuan taggungjawab manusia kepada tuhan dan sesamanya.

Baca Juga  Bisakah Ramadhan Menyelamatkan Indonesia?
***

Takwa sendiri terulang sebanyak 242 dalam Al-Qur’an dengan berbagai derivasinya. Agar kalamullah yang tak terjamah (bila harfin wala shoutin) ini membumi dan dapat dirasakan oleh kemanusiaan menuju kemerdekaan. Serta mampu menjadi mukjizat yang hidup melintasi zaman. Diperlukan keberpihakan kepada sesama sebagai daya upaya bagi pemulyaan kemanusiaan universal.

Kita mulai dari mengevalusi ibadah salat sebagai ibadah yang dihisab pertama, tentu salat tidak kita jadikan sebatas gerak badan yang tak mampu menggetarkan kerohaniaan. Sebatas membesarkan keagungan Allah tapi lupa menyapa sekalian alam seperti penutup salat “assalamu’alaikum”. Karena inilah sejatinya kelalaian, berhenti dipermulaan salat “allahuakbar” seperti dalam firmannya “Maka, celakah orang yang salat, yaitu yang lalai dalam salatnya, yang yang berbuat riya’,dan enggan memberi pertolongan.” (QS Al-Ma;un: 4-7).

Selanjutnya puasa yang mengharuskan kita untuk tidak makan, minum, dan bersenggama dalam waktu yang ditentukan. Namun, apakah kita akan masuk dalam golongan orang berpuasa yang hanya merasakan lapar dan dahaga, tidak mendapatkan dari puasanya? Tentu tidak menjadi harapan kita semua, maka puasa mestinya tidak berhenti pada pendefinisian laku spiritualitas yang bersifat kontekstual, di mana akan berakibat kontra-produktif. Sebagai konsekuensi akan muncul melankolisme agama di ruang infiradi yang tidak juga meredam syahwat kerakusan kapitalisme seperti Qarun dan Firaun.

Nilai tersebut tercapai bilamana dalam melakukan ibadah puasa, dihayati secara mendalam tidak hanya berhenti pada tataran empati melainkan melangkah pada tataran aksi kepada kaum lemah dan tertindas. Kemudian perihal tilawah Al-Qur’an, yang kebanyakan dari kita menjadikan bulan Ramadan sebagai momentum banyak-banyakan khatam.

Tentu hal tersebut tidak salah, namun bagi Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulum ad-Din menyatakan tilawah Al-Qu’an dengan sebenar-benar tilawah, yaitu menyatukan lisan, akal, dan hati. Bagian lisan mengucapkan huruf dengan benar dan tartil; bagian akal menafsirkan makna-maknanya; dan bagian hati mengambil nasihat, pengaruh, takut akan ancaman, dan melaksanakan perintahnya. Jika ketiga variabel tersebut dapat dijalankan bukan tanpa alasan Al-Qur’an mampu menjadi solusi kehidupan.

Baca Juga  Menghafal Al Qur’an Tanpa Arti, Bukanlah Mempelajarinya!
***

Selain ritual keagamaan di atas, kita juga mesti memaksimalkan dan melestarikan segenap instrumen dalam rangkaian Ramadan seperti zakat, infaq, dan sedekah, guna mencapai tujuan pemuliaan kemanusiaan. Persoalannya adalah bagiamana kita mengelola tradisi ritual yang berdimensi sosial sehingga benar-benar mempunyai fungsi langsung dan fungsi nyata bagi usaha pemberantasan kemiskinan dan penderitaan akibat miskin dan tidak berpendidikan.

Mari kita jadikan bulan Ramdhan sebagai mementum manusia kembali mereview bagaimana sikap muslim dalam perjalanan pencarian esensi serta eksistensi sebagai abdillah dan khalifah yang sudah diberikan oleh Allah.  Karena sejatinya, Allah telah mengingatkan kita betapa meruginya manusia yang tidak memanfaatkan waktu untuk beriman dan beramal shaleh serta saling menasihati kepada kebaikan dan kebenaran serta kesabaran (QS Al-‘Asr: 1-3). Di sinilah umat Islam dituntut buah apinya bukan abunya dari mengekpresikan hak-hak keagamannya.

Editor: Yahya FR
Avatar
3 posts

About author
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, berbisnis buku di @cintaiotakmubook
Articles
Related posts
Perspektif

Tunisia dan Indonesia: Jauh Secara Jarak tapi Dekat Secara Kebudayaan

2 Mins read
“Tunisia dan Indonesia Jauh secara Jarak tetapi dekat secara Kebudayaan”, tetapi sebaliknya “Tunisia dan Eropa itu jaraknya dekat, tapi jauh secara Kebudayaan”…
Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

4 Mins read
Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes…
Perspektif

Buat Akademisi, Stop Nyinyir Terhadap Artis!

3 Mins read
Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *