Feature

Sungkeman Tanpa Beban, Memaafkan Orang Tua di Hari Raya

4 Mins read

Sekitar dua hari yang lalu, Mbak Selai Srikaya cerita tentang pengalaman sungkeman pertamanya di keluarga suami. Sebagai seseorang yang juga tumbuh di Sumatera, I can so relate dengan segala kekagokan yang diceritakannya. Jika ada hal yang masih sulit kuterima dari kultur Jawa, itu adalah sungkeman. Bagiku, sungkeman adalah horor tersendiri di hari raya.

Keenggananku melakukan sungkem murni karena tidak terbiasa. Dalam budaya kami, rasa hormat dan permintaan maaf pada orang yang lebih tua tidak diekspresikan dengan sikap tubuh yang menunduk-nunduk. Ngobrol akrab, tertawa, dan makan bersama sudah cukup menjadi penanda bahwa hubungan antar orang baik-baik saja. Bagiku, hari raya adalah hari bergembira tanpa penebusan rasa bersalah.

Namun, hal berbeda kutemukan dalam keluarga pasangan. Sungkeman adalah hal yang wajib dilakukan setelah salat Ied bersama. Seolah hari raya bukanlah hari raya tanpa sungkeman. Pada saat itu, berderet permohonan maaf disampaikan.

Yang menjadi pikiranku sejak lama, adakah dari orang-orang yang sungkeman itu sejatinya tidak ingin sungkem? Adakah dari anak-anak muda yang menunduk-nunduk meminta maaf itu sejatinya masih menyimpan bara pada orang tuanya? Adakah sungkem itu hanya menjadi formalitas tanpa benar-benar saling memaafkan?

Relasi orang tua dan anak selalu menjadi isu yang menarik diperbincangkan. Tak sekadar diperbincangkan, bahkan kita semua memiliki “inner world” dalam diri masing-masing tentang bagaimana hubungan kita dan orang tua. Lika-liku relasi dengan orang tua adalah dunia yang nyaris semua kita memilikinya.

Bertahun-tahun lalu, wacana tentang hubungan antara orang tua (ortu) dan anak didominasi oleh perspektif orang tua. Narasi yang banyak digaungkan adalah bagaimana anak dapat berbakti, menghormati, dan bertanggung jawab untuk membahagiakan mereka. Kritik dan perbaikan sikap/perilaku lebih banyak ditujukan kepada anak daripada ke ortu.

***

Namun, wacana di atas belakang hari mendapat tandingannya. Munculnya kesadaran bahwa hubungan ortu dan anak menjadi faktor protektif sekaligus faktor risiko kesehatan mental membuat tema ini mengalami pergeseran narasi. Jika sebelumnya kritik dan perbaikan sikap/perilaku lebih banyak ditujukan pada anak, maka belakangan ini kritik dan perbaikan sikap/perilaku lebih banyak ditujukan kepada ortu.

Baca Juga  Nggak Masalah, Muhammadiyah Sudah Dihina Sejak Lahir

Isu-isu tentang bagaimana anak menjadi sosok yang hormat dan berbakti kepada ortu kemudian dipandang sebagai konsekuensi dari pola pengasuhan ortu itu sendiri kepada anaknya.

Dalam pembahasan relasi ortu dan anak akhir-akhir ini, boleh dikata orang tua menjadi pihak yang banyak digugat. Di media sosial, isu-isu tentang “toxic relationship” termasuk di dalamnya keluarga atau ortu toxic, menjadi isu yang ramai mendapat tanggapan. Sepertinya ada banyak orang yang merasa terwakili dengan cerita pedihnya luka hati akibat sikap dan perilaku buruk orang tua.

Sikap dan perilaku buruk yang diceritakan mulai dari ortu tua yang tak memberi keleluasaan anak dalam berekspresi, orang tua yang merendahkan dan tak mempercayai anak, hingga yang paling ekstrem segala bentuk kekerasan atau penelantaran yang dilakukan oleh ortu kepada anaknya. Semua itu menimbulkan luka pada diri anak yang sangat mungkin dibawanya hingga dewasa dan diturunkan pada keturunan selanjutnya.

Peningkatan kesadaran kesehatan mental secara tak langsung meningkatkan standar kita tentang pengasuhan anak. Tak jarang, kita yang baru menjadi orang tua ini merasa khawatir dan penuh rasa bersalah dalam mengasuh anak. Bener nggak sih yang kulakukan? Tepat nggak sih aku berlaku demikian? Gimana sih cara marah pada anak yang tidak menimbulkan luka? Yang terakhir, serius pernah aku pertanyakan.

***

Uniknya, meningkatnya standar pengasuhan tak sekadar menimbulkan perasaan mudah cemas dalam mengasuh anak. Yang paling ekstrem, standar ini membuat sebagian orang memutuskan untuk tidak memiliki anak. Adalah hal yang tak terbayangkan apabila diri ini secara tak sadar melakukan kesalahan yang dulu dilakukan orang tua. Tak siap rasanya apabila diri kitalah kemudian yang bersikap tidak baik dan merusak anak.

Baca Juga  Abbas As-Sisi: Berdakwah di Mesir dengan Menginjak Kaki Orang di Bis

Pertanyaannya, adakah orang tua yang benar-benar bebas dari berlaku salah pada anaknya? Adakah orang tua yang sempurna?

Jawaban paling memuaskan baru saja kudapatkan dari membaca buku Psikologi Keluarga yang dikarang oleh Save M. Dagun (1990). Buku ini memberiku perspektif baru dalam memaknai bagaimana semestinya relasi orang tua dan anak beserta luka-luka batin yang dengan sengaja atau tidak sengaja timbul selama proses pengasuhan.

Dalam buku itu, Dagun menceritakan bahwa tokoh-tokoh awal dalam khazanah psikologi cenderung mengabaikan peran ayah dalam pengasuhan. Hal itu terlihat dari bagaimana ilmuwan terkemuka seperti Freud dan Bowlby menempatkan ibu sebagai tokoh sentral pengasuhan dalam teori-teori yang mereka kembangkan. Dan, secara umum memang demikianlah pandangan masyarakat pada masa itu: peran ayah bersifat sekunder dalam pengasuhan. Absennya ayah dalam pengasuhan adalah hal yang normal.

Belakangan, pendapat di atas terpatahkan. Semakin lama, semakin banyak bukti yang menunjukkan pentingnya peran ayah dalam pengasuhan. Banyak temuan yang menunjukkan ayah berperan dalam perkembangan intelektual, sosial, dan kepribadian anak. Seiring dengan berkembangnya temuan-temuan pengasuhan dalam ilmu psikologi, tuntutan agar ayah terlibat dalam pengasuhan pun meningkat. Ayah yang tak terlibat dalam pengasuhan digugat.

Apa yang bisa kita pelajari dari penjabaran di atas?

Apa yang dianggap normal hari ini, bisa menjadi salah dimasa depan. Apa yang kita anggap baik saat ini, bisa jadi kita koreksi kemudian.

***

Pun demikian dengan pengasuhan. Bapak-bapak yang merasa telah mati-matian mencari nafkah dan memberikan segalanya bagi keluarga, bisa jadi suatu saat dikritik anaknya sebagai sosok ayah yang tak pernah hadir secara emosi. Ibu-ibu yang merasa telah mengajari anak dengan mengomeli dan menunjukkan kesalahan-kesalahannya, mungkin suatu saat juga digugat anaknya sebagai akar dari permasalahan rendah diri.

Baca Juga  Belajar Merdeka dari Buya Syafii

Orang tua dan anak tumbuh dalam ruang dan waktu subjektif yang berbeda. Pada akhirnya, anak memiliki kriteria-kriterianya sendiri tentang benar-salah, kriteria yang sangat mungkin berbeda dari apa yang diyakini oleh orang tuanya. Tak selalu kesalahan orang tua dilakukan dengan sengaja, lebih sering orang tua menjadi salah karena anak memiliki kriteria baru yang lebih baik.

Sampai di sini, aku bersiap dari sekarang jika suatu saat pengasuhan yang kuanggap paling benar sekarang dikritik dan digugat Bilqis karena wawasan dan ilmu pengetahuannya yang berkembang.

Rasanya, kekesalan dan protes anak pada orang tua adalah sunatullah belaka. Ia bagian dari konsekuensi perkembangan pengetahuan yang memunculkan nilai-nilai baru.

Di luar kesalahan penelantaran dan kekerasan yang memang tidak dapat diterima, layakkah kita sebagai anak selalu menyesali kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang tua?

Hellooo, kita ini orang dewasa yang bertanggung jawab atas diri kita sendiri. Kita adalah orang merdeka yang bisa menentukan hidup sendiri. Terus belajar, terus perbaiki diri, dan berhenti merasa menjadi korban.

Bahwa orang tua tetap menaruh cinta pada kita, itulah yang tak boleh kita abaikan.

Satu hari lagi hari raya Idul Fitri. Secara umum, momen ini dijadikan ajang untuk bermaaf-maafan. Dengan sungkeman atau tidak sungkeman, semoga kita semua menjadi orang-orang yang lega hati memaafkan orang tua. Memaafkan sikap dan perilaku mereka yang masuk kategori kesalahan berdasarkan timbangan pengetahuan kita.

Selamat menyambut Idul Fitri ya, Gaes.

Editor: Yahya FR
Avatar
7 posts

About author
Penulis, Psikolog Muda.
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds