Feature

Iman, Toleransi dan Kebangsaan: Belajar dari Kasman Singodimedjo

3 Mins read

Sebuah pertanyaan teologis pernah bersarang dalam fikiran saya: Apakah keimanan yang kuat harus selalu mewujudkan diri dalam tindak intoleran. Sebaliknya, apakah sikap toleran merupakan ekspresi dari keimanan yang lemah? Muasal pertanyaan ini adalah realitas. Belakangan ini begitu banyak tindakan-tindakan yang dalam standar orang beriman tak pantas dilakukan. Namun, karena diatasnamakan iman, lalu seolah-olah itulah satu-satunya tafsir yang sah terhadap keimanan. Sebaliknya, ketika sekelompok Muslim muncul dengan wacana atau kampanye tentang toleransi, tak jarang stigma negatif dilabelkan. Bahwa seolah mereka yang mengampanyekan toleransi adalah kelompok yang tidak memiliki keteguhan sikap dalam beragama. Atau singkatnya, beriman lemah.

Tentu, secara normatif, pertanyaan ini mudah dijawab. Bahwa keimanan seseorang akan tercermin dalam laku kehidupan yang ia jalani. Maknanya, jika toleransi adalah kebaikan, maka ketika semakin kuat keimanan seseorang, semakin baiklah ia mewujudkan laku tolerannya. Namun, rupanya tak mudah menjawab persoalan ini pada ranah praktis. Ada dua faktor sebagai jawabannya. Pada level praktis, sering dijumpai tingkah intoleran atas nama iman yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu. Sementara, pada tingkat lainnya terdapat persepsi yang tak tunggal atas toleransi. Di luar kenyataan bahwa secara self-fulfilling prophecy, toleransi adalah kebaikan, toleransi juga diperdebatkan. Maka sejauh manakah toleransi itu difahami akan menentukan posisi toleransi, apakah itu dipandang sebagai kebaikan atau sebaliknya.

Artikel sederhana ini tentu tak hendak menjawab soalan-soalan teologis yang rumit seperti ini. Namun sebuah perspektif untuk merumuskan jawaban atas pertanyaan teologis ini, setidaknya bisa saya temukan dalam serpihan kisah keteladanan Mr. Kasman Singodimedjo, tokoh Muhammadiyah yang beberapa waktu lalu dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional setelah kurang lebih enam tahun diajukan dan dipertimbangkan melalui sejumlah perdebatan.

Baca Juga  Tarawih di Masjid Amru Ibn Ash dan Toleransi Beragama

Masa ketika Pak Kasman menerima anugerah Pahlawan Nasional menepati dua peristiwa penting, dan oleh karena nilai penting kedua peristiwa itulah, maka meneladani Kasman menjadi semakin relevan. Gelar Pahlawan Nasional Pak Kasman diberikan dalam rangka menyambut Hari Pahlawan. Nilai penting pemberian gelar itu semakin bertambah oleh karena pada saat yang sama, kepahlawanan Kasman disambut bahagia oleh aktivis Muhammadiyah di seluruh penjuru Indonesia di tengah perayaan Milad Muhammadiyah yang ke-106. Ini wajar belaka, karena Pak Kasman adalah seorang aktivis Muhammadiyah yang cukup lama terlibat dalam berbagai posisi kepengurusan Muhammadiyah.

Sebagai seorang tokoh, Kasman tumbuh dalam budaya aktivisme yang kokoh. Semasa muda ia terlibat dalam Jong Islamiten Bond (Ikatan Pemuda Muslim) setelah sebelumnya bergabung dengan Jong Java (Pemuda Jawa). Pada masa-masa berikutnya, Kasman aktif di berbagai posisi dalam organisasi Muhammadiyah, dan dalam politik ia adalah salah satu pilar penting dalam Partai Masyumi, sebuah partai yang pernah menjadi satu-satunya wadah politik umat Islam pada masa Orde Lama.

Deskripsi sederhana ini hanya ingin menegaskan bahwa Pak Kasman adalah seorang tokoh dengan kualitas keislaman yang tidak biasa. Berbagai posisi dalam organisasi berlatar-belakang Islam itu menunjukkan bahwa Pak Kasman sangat peduli dengan agamanya. Namun, sikap kokoh dalam beragama ini rupanya sama sekali tak menghalanginya untuk memelihara jiwa kebangsaan, mengedepankan toleransi dan menjaga keutuhan bangsa dalam kerangka Indonesia yang plural. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyebut Pak Kasman sebagai tokoh Muslim Nasionalis.

Nasionalisme Kasman ditunjukkan dengan sikapnya yang demikian toleran terhadap perbedaan. Kasman adalah tokoh yang berhasil meredakan ketegangan perdebatan antara kelompok Muslim dan non-Muslim dalam perumusan dasar negara. Ada tiga tokoh non-Muslim dalam keanggotaan PPKI, yakni Johannes Latuharhary dari Ambon, Sam Ratulangi tokoh Minahasa dan I.G. Ketoet Poedja dari Bali. Ketiganya berkeberatan dengan pencantuman tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sebagai bagian dari Pembukaan UUD 1945. Sementara wakil umat Islam, Ki Bagoes Hadikusumo yang juga tokoh Muhammadiyah bersikeras menolak penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta itu. Tokoh Islam lain telah berusaha membujuk Ki Bagoes Hadikusumo, namun gagal.

Baca Juga  Bahaya Fanatisme: Islam Bukan Agama yang Kaku

Pak Kasman kemudian membujuk Ki Bagoes, memberikan rasionalisasi bahwa tanpa harus menyebutkan tujuh kata itu, sesungguhnya sila pertama adalah ekspresi ketundukan kepada Allah SWT. Kasman meyakini, tidak ada yang berubah secara substansial dalam penggantian tujuh kata itu dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sementara pada saat yang sama, rumusan baru itu justru mampu merekatkan kembali kelompok non-Muslim yang bisa saja melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, jika mereka merasa bahwa rumusan dalam pembukaan UUD itu secara eksklusif mengakomodasi umat Islam.

Inilah teladan Mr Kasman Singodimedjo. Maka, dalam situasi kebangsaan yang rentan dengan perpecahan akibat perang identitas dan perebutan kepentingan sessat seperti sekarang ini, teladan kebangsaan ini perlu dihadirkan. Bagi Muhammadiyah, melahirkan tokoh sebesar Pak Kasman Singodimedjo adalah sebuah kontribusi penting bagi bangsa ini. Namun, pada saat yang sama, Muhammadiyah harus memelihara kontribusinya dengan terus-menerus menggelorakan semangat kebangsaan yang berbasis pada nilai-nilai keislaman yang kokoh; dan pada saat yang sama memelihara toleransi kontekstual dari zaman ke zaman. Terlebih pada peringatan Milad Muhammadiyah tahun 2018 ini, Muhammadiyah bertekad mempersembahkan “Ta’awun untuk Negeri.” Tak berlebihan rasanya, jika dikatakan pada zamannya Kasman Singodimedjo telah mewujudkan ta’awun untuk negeri ini.

Dari sinilah serpihan jawaban teologis di awal tulisan tadi saya temukan. Teladan kebangsaan Pak Kasman Singodimedjo adalah ekspresi dari iman yang suci. Dengan semangat ta’awun untuk bangsanya, Kasman mengekspresikan iman tauhidi-nya yang mendalam dalam wujud toleransi sejati tanpa curiga, tanpa prasangka. Dalam konteksnya hari ini, mari berusaha membawa teladan Pak Kasman ini dalam situasi sosial dan zaman yang berbeda. Keimanan memang ada dalam diri. Namun, ia memancarkan tindakan.

Baca Juga  Tiga Problem Kehidupan Umat Beragama, Banyak Fatwa Penghakiman
Avatar
37 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Feature

Cerita Mudik Lebaran 2024 (1): Kembali ke Titik Nadir

6 Mins read
Jogja, Rabu 03 April 2024. Pukul 14.00 sebuah mobil memulai perjalanan menuju tempat yang jauh, Kerinci-Sumatera. Sang sopir dilanda rindu kampung halaman. Meski…
Feature

Tahtib: Seni Bela Diri Warisan Mesir Kuno

2 Mins read
Mesir adalah salah satu negara yang menyimpan banyak sekali warisan budaya, baik berupa adat istiadat yang dilaksanakan secara turun temurun ataupun warisan…
Feature

Air Kata Joko Pinurbo: Sebuah Obituari

4 Mins read
JOKO PINURBO bersedia tampil di acara “Wisata Sastra” di Jogja beberapa tahun lalu, dengan syarat: satu-dua nama penyair/cerpenis — yang ia duga…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *