Pada tanggal 1 Juni, kita memperingati Hari Lahir Pancasila. Peringatan Hari Lahir Pancasila didasarkan dari perumusan Pancasila yang dibacakan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya pada sidang Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945. BPUPKI sendiri dibentuk untuk menyelediki dan menyusun berbagai persiapan kemerdekaan Indonesia. Salah satu yang disiapkan oleh BPUPKI adalah dasar negara yang saat ini kita kenal dengan Pancasila.
Rumusan Dasar Negara yang dibacakan oleh Soekarno saat itu adalah Pancasila yang masih “prematur” yang kemudian disempurnakan pada Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada 22 Juni 1945 dan penetapan Undang-undang Dasar yang juga finalisasi Pancasila pada tanggal 18 Agustus 1945. Sebagaimana yang tertulis dalam Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 24 Tahun 2016 poin e, yaitu : “Bahwa rumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan oleh Ir Soekarno, rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 hingga rumusan final tanggal 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara.”
Saya membuka tulisan ini dengan menerangkan sedikit sejarah. Agar kita sebagai generasi muda bangsa ini tidak lupa pada sejarah bangsa sendiri. Sebagaimana pesan dari founding father kita dalam pidato terakhirnya di Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966, “…jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Atau yang sering kita semboyankan dengan singkatan JASMERAH.
***
Hemat saya sebagai warga negara Indonesia yang beragama Islam, Pancasila sudah cocok dijadikan sebagai Dasar Negara. Walaupun menurut saya akan lebih baik jika menggunakan “syariat Islam,” karena seadil-adilnya hukum adalah hukum Allah. Tetapi tentu hal ini tidak bisa serta merta diterapkan di negara kita. Karena di dalam negara kita tidak hanya ada agama Islam, walaupun mayoritas penduduknya beragama Islam.
Kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” menurut saya sudah cukup menggambarkan bahwa nilai-nilai ajaran agama Islam itu ada dan menjadi point utama Dasar Negara kita.
Pertanyaannya, apakah Pancasila itu sudah benar-benar diterapkan oleh kita semua? Lebih khususnya kepada para penyelenggara negara. Kalau kita mau jujur, sebenarnya nilai-nilai Pancasila itu perlahan mulai hilang di negara ini. Tentu ini adalah pernyataan yang membuat kita pesimis. Namun, dengan kejujuranlah kita dapat saling terbuka untuk sama-sama menjaga dan merawat Pancasila sebagai ideologi negara.
Oleh sebab ketidakjujuran itulah masih banyak kejahatan di Indonesia, para koruptor yang jelas merugikan negara diberi hukuman ringan. Sedangkan seorang nenek yang mencuri karena lapar dihukum dengan hukuman yang berat. Sengat miris jika Pancasila kita hanya lahir dan hadir sebagai ucapan dan acara seremonial belaka.
***
Jika kita telah sepakat Pancasila sebagai Dasar Negara, berarti Pancasila dijadikan sebagai pedoman bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Artinya semua nilai yang terkandung harus dijalankan secara satu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan. Sehingga kehidupan dan kerukunan hidup bernegara kita dapat tumbuh subur dalam struktur kehidupan yang sehat dan adil.
Dengan demikian, kualitas peradaban bangsa kita dapat berkembang secara terhormat di antara bangsa-bangsa yang ada. Semangat Pancasila yang kita banggakan itu harus menjadi faktor yang terus memotivasi kita agar menghadirkan kemaslahatan bagi segenap rakyat Indonesia. Tentu nilai-nilai yang ada harus berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Artinya, seluruh perbedaan yang ada di antara kita sesama warga negara tidak perlu diseragamkan, apalagi Pancasila dibentur-benturkan dengan agama. Perbedaan yang ada harus kita syukuri sebagai satu kekayaan tersendiri. Keragaman budaya dan perbedaan agama, harus kita sepakati kembali untuk tetap diikat dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda Tapi Satu).
Jika sudah begitu, semua orang memiliki kedudukan yang sama sebagai warga negara. Setiap warga negara adalah rakyat. Rakyat harus berdaulat dan sejahtera di negeri sendiri. Sila keadilan sosial itu harus benar-benar diilhami oleh seluruh pemimpin dan wakil rakyat yang ada. Keadilan dan kesejahteraan rakyat harus “diusahakan” secara totalitas oleh pemimpinnya dengan segenap usaha. Seluruh kekayaan negara harus digunakan untuk kepentingan Rakyat dan negara, bukan untuk kepentingan pribadi.
***
Jika Pancasila mau kita sebut sebagai ideologi yang final, maka kita harus bersama-sama berusaha mewujudkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Jika masih ada perpecahan, maka di mana nilai Persatuan Indonesia itu?
Jika masih ada kesenjangan sosial dan hukum, maka Pancasila kita tidak akan final dan tentu akan menjadi “dosa jama’i” atau dosa bersama kita sebagai penerus cita-cita besar para pendiri bangsa dan pahlawan yang telah gugur berjuang untuk Indonesia.
Kita harus terus mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara. Jangan sampai Pancasila hanya menjadi wacana adu domba.
Editor: Arif