Salah satu Tokoh Islam Indonesia dan pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Ahmad Hasyim Muzadi sebelumnya menjalani pendidikan di Pondok Modern Darussalam kemudian menjadi pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam di Malang, Jawa Timur.
Kiprah organisasinya mulai dikenal ketika pada tahun 1992, ia terpilih menjadi Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur. Penulis buku “Membangun NU Pasca Gus Dur” tersebut, tercatat pernah menjadi anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur tahun 1986. Hasyim Muzadi wafat pada usia 72 tahun di Malang, 16 Maret 2017 silam. Sosoknya yang karismatik dan teduh dalam menegakkan hukum Allah atau syariat di negara kesatuan ini, dapat menjadi inspirasi bagi putra-putra penerus bangsa selanjutnya.
Memaknai Syariat
Syariat lebih mudahnya diartikan sebagai jalan, aturan, dan hukum yang telah diturunkan Allah SWT dalam rangka mengatur serta mencapai kemaslahatan manusia sebagai hamba. Sebenarnya, syariat telah ada sejak manusia pertama kali diciptakan. Sebagaimana Allah telah memberi kebebasan kepada Adam dan istrinya untuk menikmati segala yang ada di surga serta menjauhi larangan, yaitu mendekati pohon terlarang (QS. Al-Baqarah : 35). Hingga keduanya diturunkan ke bumi dengan diberikannya petunjuk (QS. Al-Baqarah : 38).
Namun, yang disebut sebagai syariat Islam adalah yang diwahyukan pada masa ke-rasulan Muhammad SAW. Baik periode Makkah yang lebih menyoal tauhid dan akidah, maupun periode setelah hijrah yang menyokong pendekatan muamalah (urusan duniawi) di Kota Nabawi tersebut.
Jika mendengar atau disebutkan kata “syariat”, terdapat berbagai macam framing yang muncul di benak lapisan masyarakat. Terlebih, dewasa ini jika merujuk pada istilah syariat, maka tidak akan lepas dari unsur politis. Ada yang menganggap syariat sebagai nilai komperhensif agama, sehingga segala lini kehidupan baik itu antar umat Islam, umat beragama, dan bernegara, perlu digunakannya hukum Allah.
Adapun masyarakat yang meyakini hukum Allah atau syariat itu merupakan nilai praksis yang harus diimplementasikan dalam kehidupan tanpa menyoal sistem apapun. Bahkan, ada yang hanya mendengar istilah syariat saja, sudah tutup telinga. Realita demikian bukanlah buah hasil dari fragmentasi kepentingan politik saja seperti akhir-akhir ini. Hal seperti itu disebabkan dinamisnya perubahan sudut pandang terhadap hukum Allah dari zaman ke zaman.
Pandangan Hasyim Muzadi Tentang Syariat
Pada tanggal 10 Agustus 2002 beberapa tokoh Islam Indonesia berkumpul di Hotel Indonesia, di antaranya: KH. Hasyim Muzadi (Ketua PBNU), Syafi’i Ma’arif (Ketua PP Muhamadiyyah), Masdar Farid Mas’udi (Pengurus PBNU), Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), dan beberapa orang dari Yayasan Paramadina milik Nurcholis Madjid. Mereka membuat pernyataan dengan pers bahwa mereka menolak ysariat Islam secara legal. Menurut mereka, jika syariat Islam dilaksanakan, akan menimbulkan bahaya dan menimbulkan kemunafikan.
Kemudian, Hasyim Muzadi sebagai Ketua Umum PBNU waktu itu diwawancarai oleh salah satu majalah, GATRA. Bertempat di gedung PBNU Jakarta pada 19 April 2006. Berikut adalah petikan wawancara:
GATRA: “Sikap NU pada penerapan Syariat Islam?”
Hasyim Muzadi: “Syariat Islam sekarang diterima dengan apriori, pro, dan kontra. Satu sisi, ada tuntutan syariat harus dilakukan secara tekstual. Di pihak lain, ada orang mendengar kata syariat saja sudah ngeri. Istilah Arabnya ada ifrath (berlebihan mengamalkan agama) dan tafrith (meremehkan, longgar, dan cuek dalam beragama). Menurut NU, masalahnya bukan pro dan kontra syariat. Tapi bagaimana metodologi pengembangan syariat dalam NKRI. Syariat tidak boleh dihadapkan dengan negara. NU sudah punya polanya. Bahwa tathbiq al-syari’at (aplikasi syariat) secara tekstual dilakukan dalam civil society, tidak dalam nation-state. Aplikasi sosial itu untuk jamaah NU, untuk jamaah Islam sendiri. Dia harus taat beribadah, taat zakat, dan sebagainya.” “Sehingga Firman Allah (QS. Al-Ma’idah : 44) wa mal lam yahkum bima anzalallahu fa ula ika humul-kafirun. Ungkapan “man” (barangsiapa) di sini maksudnya orang, bukan institusi.”
GATRA: “Pandangan NU pada kampanye khilafah?”
Hasyim Muzadi: “Khilafah dalam arti apa? Kalau dalam arti Khulafaur Rosyidin yang pernah ada setelah Rasulullah itu sudah tidak relevan lagi sekarang. Tapi kalau khilafah dimaksudkan sebagai pemerintah yang demokratis, mungkin masih kita pertahankan. Menurut pandangan NU, ketika rasul wafat, ada dua hal yang tidak diputuskan rasul. Pertama, siapa penggantinya. kedua, dengan proses apa pengganti diangkat. Sehingga rasul yang wafat hari Senin, baru Rabu sore dimakamkan, karena menunggu keputusan musyawarah siapa penggantinya. Artinya, khilafah itu bukan perintah rasul. Kalau bukan perintah, maka khilafah itu masalah ijtihadiyah (hasil pemikiran), bukan syar’i (ketetapan Tuhan atau nabi). Penerapannya sesuai kondisi negara, kondisi bangsa, ruang, waktu, dan pemikiran. Sehingga tidak logis memaksakan khilafah dalam arti makna khilafah zaman Khulafaur Rasyidin. Nah, begini-begini ini yang membuat resah berbagai kelompok yang tidak mengerti duduk masalahnya. Bagaimana pengamalan Islam yang relevan untuk konteks kekinian? Umat Islam sebaiknya langsung menjadikan Islam sebagai agama yang produktif. Jangan lagi bertikai pada aspek simbolik, tidak khilafah, syariat, atau tidak syariat. Ya sudah, agama Islam kita laksanakan secara aplikatif. Melahirkan persaudaraan, keadilan, dan kemakmuran, sehingga syariat jangan hanya dipikirkan secara simbolik. Kita mengurus petani supaya makmur, itu syariat. Kita menginginkan Indonesia aman, itu syariat. Indonesia harus berkeadilan, itu syariat. Maqashid at-tasyri’, nilai esensi syariat yang harus segera wujud. Jangan digeser ke permasalahan simbolik yang mengakibatkan perpecahan, sehingga Islam tidak produktif.”
***
Dari ungkapan tersebut, dapat dibedakan antara hukum Allah (syariat) dan syariatisasi. Inti murni dari syariat adalah kemaslahatan umat, baik dunia maupun akhirat. Bukan harus menjadi formal-formalan saja. Mengubah cara pandang syariat dari nation-state menuju civil society, menjadi pembela hukum Allah (syariat) tidak dengan syariatisasi.