Suatu kali saya pernah melakukan konseling seorang anak didik pemasyarakatan (andikpas), atau mungkin familiar jika disebut Narapidana yang masih berusia anak-anak namun terkena hukuman. Sebut saja Aldo, usianya baru 14 tahun namun sudah berulang kali harus berurusan dengan kepolisian. Hingga akhirnya harus menjalani pidana penjara untuk ketiga kalinya. Terakhir dirinya melakukan penjambretan bersama temannya di salah satu Kota di Papua Barat.
Aldo berkisah dengan begitu mantab tentang kehidupan sehari-harinya di salah satu kota Papua Barat Raut mukanya menunjukan rasa bangga atas kisah masa lalunya. Dia bercerita bagaimana awal mulanya mengenal dunia gelap. Dengan gaya parlente dia bercerita.
“Kaka, awalnya itu saya kabur dari rumah, karena dimarahi sa pu orangtua gara-gara saya curi uang, lalu saya tinggal di kontrakan teman,” tutur Aldo membuka kisahnya.
Setelah kabur dari rumah, Aldo memiliki keluarga baru yang mau menerimanya. Sayangnya mereka bukanlah orang yang tepat. Kontrakan itu berisi para preman mulai dari kelas teri sampai kelas kakap, mungkin diatas nya lagi, lumba-lumba. Setiap hari yang mereka lakukan tidak jauh dari memalak, mencuri dan mabuk.
Pun juga dengan Aldo yang mulai belajar berbuat kejahatan. Setiap kali dirinya keluar dari rumah selalu membuat masalah dengan orang-orang yang ditemuinya. Dari sekedar iseng jahil sampai aksi pemalakan selalu Aldo lakukan.
“Kamu tidak takut dengan apa yang kamu lakukan?” tanyaku penasaran.
“Kaka, kalau ada yang bikin masalah dengan sa, tinggal nanti lapor ke bos. Nanti bos yang akan kasih mereka pelajaran,” ujar Aldo.
Pantes. Saya menghela napas panjang sebelum kembali melanjutkan pertanyaan. Semenjak kabur dari rumah Aldo tidak pernah pulang lagi. Dia masih menyimpan rasa marah dan dendam dengan ayahnya. Ayahnya sering memarahi dan memukul, dan itulah yang membuatnya tidak nyaman di rumah. Kini dia memiliki teman-teman yang rela melindunginya, baik di saat benar dan salah. Itu masalahnnya, batinku.
Kita Divonis Jadi Pelaku
Tidak menutup mata, apa yang terjadi pada Aldo juga bisa terjadi pada kita semua. Lebih tepatnya tanpa disadari kita adalah pelaku, hingga muncul Aldo yang lain di sekitar kita. Lalu bagaimana bisa kita sebagai pelaku?
Coba kita renungkan, apa yang kita lakukan saat mengetahui orang lain berbuat salah? Pasti tidak jauh dari menghujat, mencela, menjauhi dan berpandangan negatif kepadanya.
Contohnya lagi misal di kampung saya. Ada seorang laki-laki dari luar kampung yang beberapa hari menginap di rumah seorang janda. Di kampung kami yang sangat kuat unggah-ungguh tentu masyarakat mulai terusik. Melalui musyawarah, laki-laki itu pun diusir secara halus dengan alasan menjaga nama baik kampung.
Cukupkah berhenti sampai disitu? Tidak.
Bagi orang-orang kampung, kejadian seperti itu adalah headline news yang akan akan jadi obrolan renyah dalam acara arisan , rewang-an, kerjabakti dan di sela-sela pengajian. Janda tersebut semakin dikucilkan dari lingkungan sosialnya.
Pernahkan kita berpikir lebih jauh missal, kenapa ya si A bisa berbuat demikian? Apa betul Si A benar-benar salah, atau jangan-jangan juga korban dari struktur sosial yang tak terlihat. Jika masyarakat kita mempunyai kemampuan mengurai permasalahan yang baik maka mampu menemukan solusi yang tepat.
Seseorang yang berbuat salah memang pantas mendapatkan hukuman. Namun hukuman yang tidak tepat akan semakin menambah masalah. Hukuman sosial terkadang lebih kejam dari hukuman apapun karena menimbulkan efek domino. Saya paham betul bagaimana sakitnya dikucilkan dari lingkungan sekitarnya.
Efek Domino yang Ditimbulkan
Seseorang yang tercerabut dari komunitas terdekatnya akan berusaha mencari komunitas lain. Komunitas yang bersedia menerimanya tanpa syarat. Kemudian mulai meleburkan diri dengan nilai-nilai komunitas tersebut. Syukur kalau yang ditemui adalah komunitas yang baik. Mungkin orang tersebut bisa hijrah ke tempat yang membuat dirinya lebih baik.
Jika tidak? Seperti Aldo misalnya, secara tidak langsung keluarganya telah menggiring Aldo untuk masuk ke komunitas yang berisi para preman. Secara tidak langsung, keluarga Aldo telah membuatnya berubah menjadi seorang preman.
Aldo memang bersalah karena telah mencuri, adalah hal yang wajar jika kemudian orangtuanya marah. Namun, Aldo masih anak-anak, kesalahan yang dia buat adalah tanggungjawab orangtuanya. Jika orang yang seharusnya bertanggungjawab malah ikut menyalahakan maka sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan bagi Aldo.
Saya rasa ada yang harus dibenahi dalam memandang orang yang berbuat salah. Kadang hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukan. Ibarat ingin membunuh seekor semut menggunakan rudal. Ya, yang nggak perlu dihancurkan akan ikut hancur lebur.
Andaikan orangtua Aldo bersedia bertanggungjawab, mencari Aldo dan memintanya kembali kerumah. Mungkin masih ada harapan untuk Aldo untuk memperbaiki kesalahannya. Aldo tidak menjadi residivis pada usia yang masih belia. Bulan lalu saya dapat kabar bahwa Aldo telah dibebaskan dari Lapas. Saya pun berharap agar dia pulang di tempat yang tepat.
Buah Hikmah yang Terpetik
Kita sebagai orang terdekat atau hanya sekedar mengenal seorang yang menurut norma yang berlaku perbuatanya itu salah. Cobalah untuk bertindak dan berbuat yang bijak untuk sekedar memberi nasihat atau membuat efek jera. Jangan sampai orang yang kita nasihati malah salah paham dengan maksud baik yang kita tujukan padanya supaya ia lebih baik lagi. Pelajaran terbaik untuk merubah seseorang hanyalah dengan hikmah (kebijaksanaan). Beri perhatian lebih ke dia dan tunjukan bahwa kita sangat menyayanginya dan mengharapakan dia bisa lebih baik lagi ke depannya.
Editor : Rizki Feby Wulandari