Judul di atas terinspirasi dari salah satu tulisan Cak Nur, yakni Orientasi Prestasi Bukan Prestise. Sebuah ungkapan yang menunjukkan bahwa keunggulan suatu peradaban adalah dengan memaksimalkan potensi-potensi kemanusiaan serta melakukan kerja-kerja cerdas dan kerja kerja intelektual. Begitu pula dengan hijrah, mestinya berbentuk hijrah prestasi dan bukan hijrah prestise.
Hijrah Prestasi
Agama Islam adalah agama yang sangat menekankan pengamalan. Dalam surah Al-Ma’un Tuhan mengecam orang yang salat tetapi lupa akan salatnya. Buah dari segala ibadah vertikal adalah yang menghasilkan sosial kemanusiaan. Dengan bahasa yang lain, prestasi ibadah itu adalah yang kualitasnya baik. Hal ini seperti yang digambarkan dalam surah al-Mulk, “Dialah yang menjadikan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu mana yang paling baik amalnya”.
Ayat memberikan kita konotasi bahwa amal yang terbaik adalah yang berkualitas, ahsanu amala. Bukan aktsaru amala, banyak amal tetapi nilai kualitasnya bermasalah itu akan merugikan kita. Bisa jadi merupakan amal-amal yang berpenyakit, beribadah tapi bermasalah dengan orang lain.
Nabi pernah menggambarkan tentang orang orang yang muflis, orang muflis adalah orang yang banyak amalnya tapi amalnya bermasalah. Di akhirat kelak mereka datang membawa amalnya, tapi banyak yang memprotes karena dalam kehidupan sosialnya, dia banyak menyakiti sesamanya. Sehingga, amal-amalnya ditransfer kepada orang yang pernah menyakitinya.
Setelah habis tabungan amalnya, rupanya orang yang pernah disakitinya masih banyak. Sehingga amal kejelekan orang yang disakitinya ditimpakan kepadanya, itulah orang yang muflis atau bangkrut yang pernah diprediksi oleh Nabi. Di sinilah pentingnya agar nilai amal ritual kita terkoneksi dengan amal-amal sosial.
Kualitas amal yang kita lakukan sangat tergantung dengan komitmen keberagamaan kita. Tuhan sudah memberikan solusi dalam surah Al-Ashr, bahwa solusi yang ditawarkan oleh Tuhan, dalam kehidupan ini supaya manusia tidak terjerumus dalam memaknai kehidupan adalah bagaimana manusia itu konsisten dengan keimanan. Komitmen pribadi haruslah punya landasan yang kuat.
Nabi sangatlah menekankan waktu periode Makkah yang merupakan awal dari dakwah Nabi, sangat menekankan aspek keimanan terhadap para sahabatnya yang terdekat. Dari momen ini kita bisa belajar tentang hijrah prestasi.
Bukan Hijrah Prestise
Keberimanan para sahabat Nabi pada periode Makkah adalah keberimanan yang penuh tantangan. Mereka betul-betul dirongrong, diintimidasi, diboikot. Tetapi Nabi dan para sahabat mampu bertahan di bawah panji tauhid yang mereka imani. Mampu mempertahankan iman dibawah tekanan kaum kafir Quraisy yang menyembah thaghut.
Nabi berhasil mencetak para sahabatnya dengan orientasi ketauhidan yang sangat kuat. Sekalipun para sahabat ini jumlahnya tidak terlalu banyak, namun para sahabat ini merupakan generasi awal yang sangat menentukan perjuangan dakwah nabi pada periode berikutnya. Namun demikian demi menemukan momentum untuk mengembangkan Islam, nabi dan para sahabatnya membuat strategi dakwah dengan menggunakan jalur hijrah. Tentu hal ini merupakan suatu keputusan yang tidak terlepas dari kendali wahyu.
Hijrah ini menjadi jurus yang sangat jitu dalam pengembangan perjuangan nabi untuk membangun kekuatan di tempat yang baru. Oleh sebab itu Khalifah Umar bin Khattab menetapkan awal dari kalender Islam dimulai dari peristiwa hijrah. Karena peristiwa ini adalah peristiwa supranatural yang setingkat dengan mukjizat. Dampak dari hijrah adalah kemenangan-kemenangan yang diraih oleh nabi dan para sahabatnya.
Itulah sebabnya ini sangat selaras dengan jargon yang sering muncul dalam masyarakat bahwa salah satu inti dari konsep hijrah adalah semangat mengandalkan penghargaan karena prestasi kerja. Bukan karena pertimbangan pertimbangan kenisbatan atau prestise seperti keturunan, etnis, dan lain lain. Perbedaan antara orientasi prestasi dan orientasi prestise itu merupakan salah satu titik perbedaan antara paham Islam dan paham jahiliyah.
Iman dan Amal Saleh
Ada ungkapan dari Ibn Taymiyah yang dikutip Cak Nur dalam salah satu bukunya, “Al-i’tibaar fi al-jahiliyah bi al-ansab, wa al-i’tibar fi al-islam bi al-a’mal” (Pertimbangan dalam jahiliyah berdasarkan keturunan, dan pertimbangan dalam Islam berdasarkan amal perbuatan). Itu adalah suatu warisan yang sangat berharga untuk kita sebagai umat muslim.
Keberhasilan Nabi setelah hijrah membangun masyarakat Yatsrib yang kelak diubah menjadi Madinah tidak terlepas dari strategi Nabi menanamkan pilar-pilar keimanan dan keilmuan terhadap para sahabat. Kedua pilar ini haruslah menjadi starting point dalam membangun suatu daerah. Dalam bahasa Buya Syafi’i Maarif ada dua peradaban yang tahan banting sejarah, yaitu peradaban fikr yang merupakan simbol dari ilmu dan peradaban dzikir yang merupakan simbol dari iman.
Hal kedua yang harus menjadi argumen prestasi adalah bagaimana komitmen keimanan yang pribadi itu bisa diimplementasikan dalam bentuk aksi-aksi sosial yang berlandaskan pilar keimanan. Atau dalam bahasa Qurannya adalah amal saleh, antara komitmen keimanan dan komitmen amal saleh tidak bisa dipisahkan. Dua kata tersebut, iman dan amal saleh, selalu disebutkan berurutan dalam al-Quran.
Amal saleh ini bisa menjadi modal dalam melakukan permohonan kepada Tuhan ketika kita ditimpah suatu kesulitan. Doa dengan menyebut amal saleh yang pernah kita lakukan akan menjadi solusi dalam kesulitan, atau biasa kita sebut dengan tawassul bil a’mal.
Hal ini pernah diceritakan oleh Nabi ketika ada 3 orang yang terperangkap dalam gua, karena pintu gua tertutup oleh batu yang besar. Batu ini tidak bisa tergeser dengan menggunakan tenaga mereka, akhirnya mereka bertiga menggunakan cara yang supranatural yaitu lewat kekuatan doa. Masing-masing dari tiga orang ini berdoa dengan menyebut amal-amal saleh terbaik yang pernah mereka lakukan. Akhirnya, batu yang besar itu bergeser, dan ketiganya bisa keluar dan selamat.
Prestasi selanjutnya bagaimana kita menggunakan mekanisme diri kita sebagai subyek dari kebenaran. Kita mencoba memviralkan kabaikan-kebaikan dalam diri kita, kita mencoba untuk selalu punya manfaat terhadap sesama. Minimal wasiat-wasiat kebenaran itu bisa kita viralkan dalam keluarga kita dan lingkungan kita.
Lalu akhirnya ditutup dengan prestasi kesabaran. Kesabaran ini sangat penting sebagai media pengontrol dalam diri manusia supaya kualitas amal itu tidak terkontaminasi dengan hawa nafsu.
Itulah prestasi prestasi yang harus kita tonjolkan atau kedepankan dalam. Mudah-mudahan kualitas amal kita sekarang dan di masa depan selalu lebih baik dari hari kemarin.
Editor: Nabhan