Curiosity kills the cat, but entering the humans territory kills the elephant.
Tetiba saja kalimat di atas melintas di benak saya saat membaca sepotong berita tentang sebuah peristiwa yang terjadi di India baru-baru ini, tepatnya di distrik Malappuram, Kerala Utara. Seekor gajah yang sedang hamil tewas setelah memakan nanas yang diisi petasan.
Petasan itu meledak di mulut sang gajah, mengoyak rahang dan lidahnya. Gajah malang itu pun lari ke Sungai Velliyar. Ketika Mohan Krishna, petugas Perhutani India yang menangani peristiwa tersebut, berusaha membujuknya keluar dari sungai, gajah itu bertahan lalu akhirnya mati dalam keadaan berdiri di sungai. Dan yang lebih mirisnya, oleh penduduk Sri Lanka dan India, ternyata cara itu lazim digunakan untuk mengusir hewan liar yang masuk ke desa.
Kemanusiaan Manusia
Jujur saja, meskipun bukan pecinta binatang, saya prihatin. Keprihatinan itu berubah menjadi malu manakala melihat sebuah karikatur yang memperlihatkan dua ekor gajah (anak dan ibunya) tengah berada di surga gajah. Di karikatur itu digambarkan sang ibu gajah berkata, “Relax, there is no humans here”, disertai sebuah caption singkat, “Sorry, Kid. Humanity fails you”.
Karikatur itu terasa seperti satu tendangan keras yang telak menghunjam ulu hati kemanusiaan, sekaligus membuat kita harus mempertanyakan kembali, masih pantaskah kita menyandang peran sebagai khalifah di muka bumi jika masih menggunakan cara-cara keji macam demikian?
Sepintas, kita pasti akan berpikir untuk menyasar si pelaku, menghujaninya dengan makian dan sebagainya, lalu membuat petisi agar si pelaku dihukum yang seberat-beratnya (enakan begitu sih). Sayangnya, masalah ini tidaklah sesederhana menghakimi maling ayam.
Manusia vs Binatang
Persengketaan antara manusia versus binatang liar sudah terjadi sejak jaman purba. Contoh terbaru di belahan dunia lain, di Namibia, warganya telah membunuh sepuluh ekor gajah selama dua bulan terakhir. Mereka marah karena ladangnya diinjak-injak oleh gajah.
Di Indonesia peristiwa semacam ini juga sering terjadi. Binatangnya bukan cuma gajah; ada babi hutan, orang utan, beruang madu, ular, terkadang harimau. Namun alasannya selalu sama: hewan liar yang kelaparan karena di hutan tidak ada makanan, menjelajah ke pemukiman manusia di sekitar habitatnya. Hewan-hewan itu kemudian merusak ladang dan hasil panen atau memangsa hewan ternak.
Warga yang marah lantas berusaha mengusir hewan-hewan liar yang datang. Masalahnya, itu bukan perkara mudah. Yang datang itu gajah lho, bukan kucing yang cukup dihus-hus doang langsung kabur. Salah-salah langkah malah kepala kita bisa gepeng diinjak gajah.
Nah, karena ketidakmampuan penduduk dalam menjinakkan binatang liar, tak jarang hewan pun mengamuk. Penduduk yang panik akhirnya main keras, dan kebanyakan berakhir dengan hewan terbunuh.
Terkait kejadian di India tersebut, banyak pihak mengecam keras. Mulai dari masyarakat perkotaannya, olahragawan, politisi, sampai kalangan selebriti pun turut bersuara. Melalui Menteri Lingkungan dan Kehutanan India, Prakash Javadekar, pemerintah India telah mengambil sikap tegas, akan memburu dan mengadili para tersangka.
Tadinya saya hendak memuji tindakan tegas dari pemerintah India tersebut. Namun setelah saya teliti, ada sebuah data di lapangan yang dirilis oleh pemerintah setempat, dalam periode 2014-2019, sebanyak 510 gajah terbunuh. Di sudut lain, dalam rentang waktu yang sama, 2361 orang tewas oleh serangan gajah.
Di Indonesia, insiden semacam ini juga kerap terjadi. Contoh terbarunya bisa kita lihat di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Pada Maret lalu, seorang anggota TNI gugur setelah diserang gajah. Saat itu almarhum tengah membantu para penduduk untuk mengusir gajah yang masuk ke pemukiman. Dari sini bisa kita simpulkan, selain merugikan secara materil, amukan gajah sangatlah berbahaya.
Siapa yang Salah?
Fakta-fakta di atas ditambah kurangnya pengetahuan dalam menangani hewan liarlah yang diduga mendorong pelaku menghalalkan segala cara. Oke, korban jatuh dari kedua pihak. Jadi, sebenarnya siapakah yang salah?
Tidak ada yang seratus persen bersalah. Keduanya merupakan korban dari peradaban. Kebutuhan akan lahan dan tempat tinggal, memaksa manusia memasuki habitat binatang. Akibatnya persinggungan antara keduanya akan terus terjadi.
Meskipun secara hukum tindakan para pelaku tidak bisa dibenarkan, cobalah menyelami apa yang para penduduk di daerah pinggiran itu hadapi. Resapi bagaimana remuknya hati mereka saat mendapati saat sebentar ladangnya hancur diinjak-injak gajah. Tengok betapa bingungnya mereka ketika hendak menanam lagi, tapi kehabisan modal. Perlu diingat bahwa mereka cuma rakyat kecil yang berusaha bertahan hidup, bukan perusahaan besar yang mapan secara finansial.
Oke, kalau memang kita ngotot mau terus-terusan menghujat para pelaku dengan dalil “menyelamatkan binatang”, supaya adil, bagaimana kalau kita sekalian membela dan melindungi hama wereng, keong mas, dan tikus-tikus yang menyerang sawah petani? Kita ramai-ramai melarang penggunaan pestisida dan metode barbar pembantaian tikus. Toh wereng, keong mas, dan tikus binatang juga, kan?
Editor : Rizki FW