Perspektif

Nalar Poligami yang Ternoda

3 Mins read

Tulisan ini merupakan argumentasi tanggapan terhadap esai Mbak Lusi Hanasari (21/05/2020) dengan judul Poligami: Syariat Islam yang Ternoda? Selain itu, esai ini sebagai wujud respon atas beredarnya e-pamflet kelas poligami yang akan diadakan di Bekasi tanggal 28 Juni 2020. 

Memang poligami merupakan pilihan dan hak mereka yang berpoligami, akan tetapi campaign publik semacam kelas poligami ini tentu menjadi urusan publik. Poligami memang bukanlah topik baru.

Sudah banyak tulisan yang membahas poligami sejak lama hingga esai ini pun hadir sebagai penyeimbang kampanye poligami yang masih ditemui di media sosial. Terakhir, adanya tulisan ini menjadi catatan nyata bahwa topik poligami masih renyah dinikmati sembari ngopi di malam hari.

Sebagaimana penulis sampaikan di pengantar, berikut respon tersurat terhadap esai Mbak Lusi dan respon tersirat terhadap e-pamflet kelas poligami yang penulis paparkan dalam beberapa poin.

Nalar Poligami dalam QS An Nisa:3

Pertama, Mbak Lusi mengutip QS. An Nisa ayat 3 namun belum menjelaskan bagaimana latar belakang turunnya ayat tersebut. Alih-alih setelah mengutip, beliau langsung mengatakan bahwa dari ayat tersebut, poligami boleh dilakukan asal dengan syarat berlaku adil. Agar sebuah ayat dipahami lebih mendalam, diperlukan nalar berpikir yang menyeluruh dan melihat secara kontekstual.

Adanya persyaratan adil (yang tentu sulit dicapai) di ayat tersebut bagi penulis lebih memperlihatkan kode bahwa Allah ingin menyampaikan “gak usah poligami, berat”. Sungguh betapa indahnya diksi Allah yang kadang masih keliru kita persepsikan. Sebelum ayat tersebut turun, poligami adalah kebiasaan buruk masyarakat Arab bahkan juga di berbagai belahan dunia yang sangat patriarki.

Saking patriarkinya, tidak ada batasan jumlah istri bagi seorang laki-laki. Pembatasan jumlah istri dan adanya syarat adil dalam ayat ini menjadi sejarah bagaimana Islam melalui firman-Nya perlahan ingin menghilangkan budaya patriarki pada saat itu. Jadi kalau ada laki-laki yang ingin memiliki istri berjumlah 2 sampai 4, akan lebih tepat jika mereka hidup di masa lampau pada zaman ayat ini turun.

Baca Juga  Tapak Tilas Perjalanan Surat Kabar Harian Republika

Menyedihkan, kampanye poligami begitu massif dan terstruktur padahal poligami sendiri bukanlah tradisi islam.

Meneladani Rasulullah

Kedua, Mbak Lusi mengatakan, apabila poligami adalah hal yang tercela tentu saja  baginda Nabi Muhammad Saw tidak akan melakukannya dan bila itu salah, maka Allah Swt akan menegur melalui firman-firman-Nya. Masih berkaitan dengan ayat tadi, sebelum QS An Nisa:3 turun, poligami adalah tindakan yang sangat tercela. Oleh karena itu Tuhan menegur orang-orang di masa itu melalui firman-Nya, sehingga terciptalah semacam new normal yang mana ada syarat untuk menerapkan poligami.

Rasulullah sendiri lebih lama melakukan monogami daripada poligami. Adapun tujuan mulia Rasulullah di dalam praktik poligami tersebut mengarah sebagai tanggung jawab beliau meringankan penderitaan janda dan anak yatim disebabkan para suami dan ayahnya gugur di medan perang. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad tidak semuanya harus dilakukan.

Rasulullah merupakan teladan. Dari poligami yang dilakukan Rasulullah kita dapat belajar tentang bagaimana beliau menghadapi istri sesuai umurnya. Saat menghadapi yang lebih muda bagaimana dan yang lebih tua bagaimana.

Selain itu jika ingin meneladani beliau, teladani akhlak beliau yang peduli pada penderitaan janda dan anak yatim, di mana zaman sekarang masih tetap bisa dilakukan tanpa harus dengan poligami. Bukankah menghapus poligami di era kini merupakan usaha menghapus kesenjangan dan ketidakadilan?

Sebagaimana kata mas Rohmatul Izad (Alumni Magister Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM, Dosen Filsafat di IAIN Ponorogo) jika ayat al-Qur’an bisa turun lebih banyak dan lebih panjang durasi waktunya, sangat mungkin akan ada ayat-ayat yang turun untuk menghapus pembolehan tindakan poligami.

Pengandaian semacam ini diperlukan sebab logika teks yang terlanjur terbangun saat ini sudah sangat ketinggalan, tutur beliau di dalam esainya berjudul “Moralitas Poligami”.

Baca Juga  Melawan Penafsiran-Penafsiran Agama yang Bias Gender

Noda di Wajah Poligami

Ketiga, tepat di paragraf terakhir mbak Lusi bertanya, Mengapa presepsi mereka sangat buruk dan sangat membenci poligami? Noda apakah yang melekat pada poligami sehingga sulit sekali untuk dibersihkan? Jika melihat sejarah, penulis memandang bahwa praktik poligami sejak awal memanglah sesuatu yang buruk.

Tuhan menegur dan memperingatkan orang-orang yang berpoligami pada saat itu melalui firman-Nya dengan pembatasan jumlah istri dan syarat adil. Padahal keadilan bukanlah perkara enteng dan tidak ada deskripsi tentang bagaimana poligami mencapai taraf yang benar-benar adil.

Penulis tidak bermaksud menistakan ketetapan Tuhan, melainkan mengajak untuk merenungi ayat Tuhan yang indah ini dan merefleksi kembali apakah poligami masih relevan di zaman yang semakin berkemajuan. Islam tidak menganjurkan poligami. Islam menganjurkan meneladani akhlak Rasulullah, akhlak yang baik terhadap sesama, salah satunya berempati.

Secara fitrah, menyatunya dua insan sehidup semati dan tak terbagi ini lebih memberikan kenyamanan, ketenangan, dan kebahagiaan bagi perempuan juga menciptakan keharmonisan keluarga. Jangan sampai romantisme doktrin agama menjadi jebakan sehingga yang tampaknya baik itu justru melukai sisi kemanusiaan dan keadilan.

Analogi Poligami dan Kedokteran

Keempat, masih di paragraf terakhir mbak Lusi menuliskan Marilah pahami sejenak dan berpikir jernih hendaklah semua orang dilarang poligami karena praktiknya yang menyengsarakan? Akankah menghukum semua dokter karena salah satu diantara mereka melakukan malpraktik? Penulis melihat adanya analogi yang invalid.

Bagaimana konsep berpikir analogi dari praktik poligami disamakan dengan praktik kedokteran? Praktik kedokteran memiliki cabang keilmuan khusus untuk mempelajari seluk beluk medis sehingga bisa meminimalisir malpraktik. Praktik kedokteran adalah tugas kemanusiaan yang sangat penting dilanggengkan.

Sedangkan praktik poligami? Masih dalam esainya Mas Rohmatul Izad berpesan, jangan pernah berniat mengangkat derajat perempuan dengan berpoligami jika hasrat seks jauh lebih terselubung yang menikam sikap religiusitas palsu di balik doktrin agama. Jelas saja praktik poligami berbeda dengan praktik kedokteran. Tindakan medis mengurangi rasa sakit, sementara poligami bukankah justru menimbulkan sakit tapi tak berdarah pada perempuan?

Baca Juga  Poligami Bukan Solusi Mencegah HIV/AIDS!

Cinta Adam dan Hawa

Terakhir, Tuhan bisa saja menciptakan banyak perempuan untuk Nabi Adam. Kenyataannya hanya satu pendamping setia yang menemani beliau, ibunda Hawa. Sejak awal penciptaan manusia, Tuhan mendidik manusia untuk monogami.  Kiranya nalar poligami masih ternoda. Please be mindful, akhi wa ukhti.

Wallahualam bisshawab….

Editor : Rizki Feby

1 posts

About author
Mahasiswa Magister Pendidikan Dasar UNY
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds