Kita ketahui bahwa banyak pendapat yang mengatakan bahwa filsafat membawa kita ke jurang kekafiran. Untuk itu, kita tidak boleh melibatkan filsafat dalam praksis maupun teoretis dalam kehidupan kita, terutama dalam masalah keagamaan. Lantas, benarkah hal tersebut?
Sebelum membenarkan pendapat-pendapat tersebut, maka kita perlu tahu bahwa tidak serta merta filsafat itu mengafirkan seseorang, terutama dalam hal metafisika, yakni konsep ketuhanan. Jika kita mendengar cerita salah satu nabi yang termaktub dalam Al-Qur’an, yakni Nabi Ibrahim as. yang kita kenal sebagai Bapak Tauhid, maka patutlah kita mempertanyakan kembali apa dan bagaimana sebenarnya cara berfilsafat itu?
Cara Nabi Ibrahim Berfilsafat
Ketika mendengar nama Nabi Ibrahim, kita pasti akan mengingat kisah Nabi Ibrahim dalam proses pencarian Tuhan. Dalam kisah tersebut, Nabi Ibrahim membangun epistemologi tauhidnya melalui sebuah proses dialektika. Al-Qur’an menjelaskan proses tersebut dalam Surah Al-An’am ayat 75-80, yang artinya :
“Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin (75) Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, ”Inilah Tuhanku”. Maka, ketika bintang itu terbenam dia berkata, ”Aku tidak suka kepada yang terbenam.” (76) Lalu, ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, ”Inilah Tuhanku.” Tetapi, ketika bulan itu terbenam dia berkata, ”Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (77) Kemudian ketika dia melihat matahari terbit dia berkata, ”Inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi, ketika matahari terbenam, dia berkata, ”Wahai kaumku! Sungguh aku berlepas diri apa yang kamu persekutukan.” (78) Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. (79) Dan kaumnya membantahnya. Dia (Ibrahim) berkata, ”Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut kepada (malapetaka dari) apa yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran? (80)
Cara Nabi Ibrahim berfilsafat yang dipotret oleh Al-Qur’an, mengantarkan beliau pada kesimpulan mengenai tauhid sebagai identitas. Dan dengan bangunan epistemologi tersebut, Nabi Ibrahim melakukan kritik pada praksis sosial serta menjadi pedoman bagi umat setelahnya.
Definisi Filsafat
Dalam istilah modern, proses pencarian ini diistilahkan dengan kata filsafat. Jika kita melihat arti filsafat secara radikal (mendasar), maka kita akan mendapati bahwa filsafat artinya cinta kebijaksanaan.
Filsafat terdiri dari dua suku kata, yaitu Philo atau Philos yang artinya cinta dan Sophia atau Sophos yang berarti kebijaksanaan. Secara istilah, filsafat diartikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mengantarkan seseorang akan kecintaannya terhadap kebijaksanaan.
Beberapa ahli filsafat juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kebijaksanaan sebenarnya adalah kebenaran yang absolut, yang dalam ajaran agama biasanya disangkutpautkan dengan kebenaran akan Tuhan atau keberadaan Tuhan. Oleh karena itu, beberapa tokoh berpendapat bahwa filsafat dan agama pada hakikatnya sama-sama mencari kebenaran yang absolut.
Jalan Kritik Epistemologi yang Dilakukan Nabi Ibrahim
Dari penjelasan ayat-ayat tersebut, dapat kita ketahui bahwa landasan tauhid diperoleh Nabi Ibrahim as tidak secara doktriner, melainkan filosofis dan melalui cara berpikir yang jujur. Untuk menjabarkan dari segi kefilsafatannya, maka ada dua jalan kritik epistemologi yang dilakukan Nabi Ibrahim as.
Pertama, kritik atas cara berpikir masyarakat yang memandang Tuhan pada basis material. Nabi Ibrahim as. melakukan penelusuran pada cara berpikir tersebut dengan melihat keadaan alam. Pada waktu itu, simbolisasi Tuhan melalui apa yang ada di alam menjadi cara berpikir common sense pada umat beliau.
Beliau menelusuri bulan, bintang, dan matahari. Kemudian, beliau mencoba mengidentifikasikannya sebagai Tuhan. Akan tetapi, semuanya terbit dan tenggelam, tidak mencerminkan sifat-sifat ketuhanan yang seharusnya menjadi pengayom. Pada titik inilah, beliau bertemu dengan tauhid yang immaterial, tidak bersekutu pada apapun yang tampak, dan kemudian pasrah padanya.
Kedua, Nabi Ibrahim mendekonstruksi cara berpikir mengenai Tuhan, beliau melakukan kritik atas praksis keberagaman kaumnya yang memberhalakan simbol sebagai Tuhan. “Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?“, kata Nabi Ibrahim. Secara revolusioner, praksisnya dapat kita lihat dalam sirah Nabi Ibrahim, yaitu pada saat Nabi Ibrahim memenggal patung-patung berhala dan menisbatkan kapaknya pada patung terbesar. Ketika itu, Nabi Ibrahim “membunuh” Tuhan-Tuhan material.
Revolusi Nabi Ibrahim
Nabi Ibrahim telah melakukan revolusi ruh atas materi. “Agama” yang menjadi selubung ideologis dari kekuasaan harus dibongkar. Ini yang menjadi dasar Nabi Ibrahim melakukan kritik. Kritik Nabi Ibrahim tersebut tentu bukan kritik yang nihilistik, mendekonstruksi semua tanpa menghasilkan apa-apa. Kritik Ibrahim disandarkan pada kebenaran Tauhid.
“Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan) nya” (Al-Anbiya: 51). Artinya, tauhid menjadi landasan sentral dari seluruh aktivitas keberagamaan dalam Islam.
Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa nabi Ibrahim mengajukan pertanyaan filosofis tentang Tuhan untuk mengetahui siapa Tuhan dan di mana Tuhan yang sebenarnya. Ini menunjukkan kepada kita bahwa akal yang telah diberikan Allah kepada manusia dapat digunakan untuk berpikir dan merenung tentang apa yang terjadi di alam semesta ini.
Tanpa kita sadari, filsafat merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari, tinggal bagaimana kita mengajukan pertanyaan tersebut. Apakah secara filosofis atau hanya sekadar praktis saja, tanpa ada pemikiran lebih lanjut. Menjawab pertanyaan dengan biasa saja atau menggunakan metode holistik, untuk mendapatkan penjelasan secara menyeluruh. Karena sejatinya, filsafat merupakan usaha untuk menjawab pertanyaan yang bersifat menyeluruh tentang Tuhan, alam, dan manusia untuk sampai kepada hal-hal yang sangat mendasar.
Apakah Agama Memerintahkan Kita untuk Berfilsafat?
Dalam cerita tersebut juga dapat kita ketahui bahwa sebenarnya Nabi Ibrahim mengajarkan kefilsafatan pada kita. Selain itu, agama Islam juga memerintahkan kita untuk selalu berpikir, sebagaimana hal tersebut termaktub dalam Al-Qur’an yang menyebutkan kata aql (akal), yakni sebanyak 49 kali. Hal tersebut menunjukkan bahwa Allah selalu memerintahkan kepada kita untuk mempergunakan akal dengan baik.
Namun, bagaimanakah konsep liar yang menjadikan seseorang itu murtad dari Islam jika mempelajari filsafat?
Di sini, penulis berpendapat bahwa orang-orang tersebut menjadikan filsafat sebagai ideologi, bukan metodologi. Jika kita menilik kembali cara berfilsafat para nabi dan filsuf muslim zaman dahulu, mereka mempergunakan filsafat sebagai metodologi dalam memperkokoh akidah dan agama Islam.
Dari penjelasan tersebut, dapat kita ketahui bahwa Nabi Ibrahim as. menggunakan filsafat sebagai metodologi dalam memperoleh kebenaran, yakni ajaran ketauhidan. Karena, pada saat itu banyak sekali praktik serta cara berpikir umat Nabi Ibrahim as. yang menjadikan sesuatu hal yang materialis sebagai Tuhan, sehingga perlu adanya cara (metodologi) untuk membongkar keyakinan tersebut.
Wallahu a’lam bisshawab.
Editor: Lely N