Bagi sebagian orang yang mempelajari bahasa Arab, mereka mengalami sedikit kebingungan ketika bertemu dengan kata “ilmu”. Bagaimana tidak, dalam bahasa Arab sendiri kata al-‘ilm diartikan sebagai pengetahuan. Sementara “ilmu” dalam bahasa Indonesia biasanya merupakan terjemahan dari science.
Yang perlu menjadi catatan adalah ilmu dalam arti science hanya sebagian dari al-‘ilmu dalam bahasa Arab. Oleh sebab itu, kata science seharusnya diterjemahkan dengan sains saja. Hal tersebut bertujuan agar orang yang memahami bahasa Arab tidak mengalami kebingungan ketika membedakan antara kata ilmu (sains) dengan kata al-‘ilmu yang berarti knowledge (pengetahuan).
Berbicara mengenai pengetahuan, tentu tak terlepas dari epistemologi yang merupakan salah satu cabang dari filsafat ilmu. Epistemologi sendiri berasal dari bahasa Yunani epistēmē, “pengetahuan”, pemahaman”, dan logos (ilmu). Jadi epistemologi merupakan cabang filsafat ilmu yang membahas tentang ciri dan ranah pengetahuan, dan dikenal juga sebagai “filsafat pengetahuan” atau “teori pengetahuan”.
Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan membahas secara mendalam mengenai tiga masalah pokok, yaitu sumber ilmu pengetahuan (origin), metode ilmu pengetahuan (method), dan kebenaran ilmu pengetahuan (validity). Dalam kebenaran ilmiah perspektif Barat dikenal tiga macam teori kebenaran pengetahuan, yaitu teori korespondensi, teori koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatik.
Disamping tiga macam teori kebenaran ilmu pengetahuan diatas, terdapat juga kebenaran wahyu. Kebenaran Wahyu adalah kebenaran yang datangnya dari Allah, dan karena itu bersifat mutlak. Wahyu diturunkan oleh Allah Swt kepada rasul-rasul-Nya untuk menjadi sumber ilmu pengetahuan dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.
Bagi seorang Muslim bukan saja diharuskan mengambil pengetahuan yang bersumber dari wahyu, tetapi juga dipeintahkan supaya mengikuti ajaran yang terkandung di dalamnya. Kebenaran wahyu sejalan dengan kebenaran logis (berdasarkan rasio), dan kebenaran empiris (berdasarkan pengelaman). Apabila kebenaran logis dan empiris bersifat relatif, maka kebenaran wahyu bersifat mutlak atau absolut.
Hirarki “Tahu” Dalam Islam
Menurut Abd al-Jabbar (seorang teolog Muktazilah), ilmu pengetahuan Islam memiliki hirarki (tingkatan); Jahl, taklid, zann, dan ‘ilmu (ma’rifah). Secara sederhana jahl adalah pengetahuan yang tidak diverifikasi (jahiliyah). Taklid yaitu pengetahuan yang menimbulkan kesadaran bahwa dirinya tidak tahu, maka dia memilih untuk mengikuti pendapat orang lain.
Sementara itu zann berarti perasangka, dan ‘ilmu (ma’rifah) berarti ‘ala ma huwa bihi (korespodensi: adanya kesesuaian antara peryataan kenyataan) yang bersifat obyektif dan Sukun al-Nafs (Tenangnya Jiwa) kriteria subyektif. Jadi, jika seorang muslim sudah memiliki bukti yang obyektif dan jiwa yang tenang, maka ia sudah berada pada level ma’rifah.
Adapun sumber pengetahuan dalam Islam adalah ‘aql (akal), mudrakat (empiris), dan khabar (kabar) otoritatif, baik dari seseorang yang dapat dipercayai seperti Nabi ataupun dari nash (teks; kitab suci atau dari karya dari orang yang dapat dipercaya seperti para ulama fiqih).
Tiga Model Ilmu Pengetahuan Islam
Secara garis besar, ada 3 model pengetahuan dalam Islam; ‘Ilmu Bayani_Bayani, ‘Ilmu Hudhuri_Irfani, dan ‘Ilmu Hushuli_Burhani. Pertama, ‘Ilmu Bayani, berarti ilmu yang membahas tentang teks. Dalam teks alquran terdapat ayat qauniyah dan ayat kauliyah. Untuk memahami ayat qauniyah, bisa dengan irfani atau burhani, sedangkan ayat kauliyah membuthkan ilmu bayani.
Sumber bayani ada dua, yaitu nash/teks/wahyu dan al-khabar dan Ijma’. Metode yang digunakan oleh ilmu bayani ada lima, yakni ijtihadiyah, istinbatiyah, istintajiyah, istidlaliyah, dan qiyas. Sementara itu, salah satu fungsi dan peran akal bayani adalah sebagai pengekang atau pengatur hawa nafsu.
Kedua, ‘Ilmu Hudhuri_Irfani, yaitu ilmu yang berasal dari dalam diri seseorang berupa intuisi ataupun pengalaman langsung yang biasa disebut pengetahuan secara langsung (know how). Biasanya irfani bersumber pada experience (cinta, rasa, indera dan sejenisnya), al-Ru’yah al-Mubasyirah (hati yang siap untuk menerima pengetahuan dari Allah), dan direct experience sama dengan ‘ilmu hudhuri.
Untuk mendapatkan ‘ilmu hudhuri, ada metode atau caranya yaitu melalui al-dzauqiyah, al-riyadhah, al-mujahadah, al-kasyfiyyah, al-israqiyyah, al-laduniyyah, dan pengahayatan batin. Salah satu fungsi dan peran akal irfani adalah partisipatif.
Ketiga, ‘Ilmu Hushuli_Burhani, yaitu model pengetahuan yang memakai akal atau analisis. Sehingga mendeskripsikan apa yang diketahui (know that). Sumber burhani sendiri yakni realita atau al-waqi’ (alam, sosial, human). Sedangkan metode (proses dan prosedur) burhani ada empat, yaitu:
- Abstraksi (diskursif). Abstraksi adalah berpikir rasional atau cara berpikir konseptual (naik dari fakta menuju konsep). Misalnya menguap, yang diabstraksikan sebagai tanda orang yang sedang mengantuk. Seharusnya mahasiswa sudah sampai pada tahap ini.
- Bahtsiyyah yaitu analisis atau cara berpikir rasional
- Tahliliyah (analisis)
- Naqdiyyah (al-Muhkamah al-‘aqliyah) (kritis)
Ada beberapa fungsi dan peran akal burhani, yaitu Heuristik (membuat konsep baru), Analitik (membuat argumen), Kritis (mengkritisi), Idraku al-Sabab al-Musabbab (kausalitas sebab akibat). Tipe argumen demonstratif, yaitu berpikir rasional empiris (Exploratif {mempelajari objek secara utuh}), verifikatif {membuktikan benar salahnya objek}, dan Explanatif {menjelaskan apa adanya}).
Dari penjelasan diatas, maka pada dasarnya epistemologi atau ilmu pengetahuan Barat dan Islam memiliki kesamaan, hanya saja ada tambahan dalam epistemologi Islam karena berbicara tentang agama. Sebab di Barat sendiri kebanyakan asumsi-asumsinya adalah positivistik. Ia hanya percaya realitas yang sifatnya empiris dan analisis yang sifatnya rasional.
Sedangkan dalam Islam sendiri, kebenaran wahyu al-Quran dan Sunnah merupakan sumber dari segala ilmu. Maka lahirlah tiga model pengetahuan dalam Islam yaitu ilmu bayani, irfani, dan burhani.
editor: Yusuf R Y