Oleh: Muhamad Rofiq*
Salah satu topik penting yang dibahas dalam kajian antropologi ingatan (anthropology of memory) adalah persoalan hubungan antara remembering and forgetting (mengingat dan melupakan). Pertanyaan terkait yang sering didiskusikan adalah, “apa yang membuat sebuah bangsa atau komunitas mengingat masa lalunya”, dan “apa pula yang menyebabkan mereka melupakannya”? Ada beragam teori yang mengemuka terkait pertanyaan ini. Salah satunya adalah apa yang diungkapkan oleh Benedict Anderson dalam Imagined Communities dan Barbara A. Misztal dalam Theories of Social Remembering.
Menurut Benedict dan Barbara, ingatan manusia akan masa lalunya dibentuk oleh kepentingan hari ini. Apa yang ia ingat adalah apa yang ia butuhkan. Dengan kata lain, manusia selalu selektif dalam mengingat sejarahnya. Manusia melanggengkan apa yang ia anggap sebagai model (masa keemasan), dan ia akan mengubur apa yang ia sebut pahit dari sejarahnya. Ingatan sebuah bangsa atau umat juga bersifat ideologis; dibentuk oleh sekelompok orang yang memiliki kuasa terhadap pembentukan narasi untuk mengikat kebersamaan.
Sekelompok orang ini bisa politisi, ilmuwan, tokoh agama, jurnalis, atau siapa saja. Tapi mereka semua adalah pejuang nasionalisme. Para elit ini berpandangan bahwa jika suatu bangsa ingin enteng dalam bergerak melangkahkan kakinya ke depan, maka peristiwa kelam dari masa lalunya harus ia lupakan. Jika masih tersisa, maka ia akan menjadi beban sejarah yang terus menghantui ingatan kolektif. Mengingat segalanya hanya akan menjadi ancaman bagi kohesi komunitas tersebut.
Antropologi Memori
Sejauh pengamatan saya, dalam kajian antropologi memori belum ada satu pun yang menjawab pertanyaan yang saya tulis di atas dengan mengkaitkannya pada faktor kolonialisme. Adalah Khaled Abou el-Fadel dalam bukunya Reasoning with God, Reclaiming Shariah in the Modern Age yang menyumbangkan gagasan mengenai bagaimana faktor tersebut bekerja dalam merusak ingatan umat Islam sehingga membuat mereka menderita penyakit amnesia.
Khaled berargumen bahwa amnesia yang terjadi pada umat Islam sesungguhnya sangat akut. Ada dua gejala yang bisa diamati. Gejala pertama adalah fenomena di mana sebagian sarjana muslim tidak lagi membaca warisan intelektual (turas) Islam. Mereka menganggap tradisi masa lalu adalah beban, warisan outdated dan tidak lagi relevan. Mereka justru membangun epistemological block (penghalang epistemologis) bagi muslim untuk melihat tradisinya.
Gejala kedua, sekelompok orang yang masih membaca tradisi Islam, tapi tidak dengan kacamata tradisi Islam itu sendiri, melainkan dari gambaran yang direkonstruksi oleh sarjana Barat. Dengan kata lain, metodologi dan epistemologi yang dioperasikan oleh kelompok kedua ini adalah murni produk imaginasi Barat. Seorang sarjana seperti Abid al-Jabiri berkilah, bahwa ini adalah metode kontemporerisasi turas (tahlilul madli bi manzhur al-hadir), agar tradisi tetap relevan hari ini. Bagi Khaled, metode ini justru menjadi problem bagi muslim untuk memahami jangkar budayanya di masa lalu.
Untuk menjelaskan gagasannya tentang amnesia epistemologis umat Islam akibat kolonialisasi, Khaled menyebut banyak contoh. Tulisan ini hanya akan menjelaskan satu tema yang tampaknya menjadi perhatian paling serius dari Khaled dalam beberapa karya tulisnya, yaitu persoalan kodifikasi hukum Islam.
Proyek Kodifikasi
Memasuki era modern, banyak negara-negara muslim yang mencanangkan proyek kodifikasi atau penyusunan hukum ke dalam kitab undang-undang. Secara historis, proyek ini pertama kali dimulai di kekhalifahan Turki Usmani di tahun 1860-an melalui program Majallah al-Ahkam al-Adliyyah atau proyek kodifikasi mazhab Hanafi yang menjadi mazhab resmi kekhalifahan.
Program kodifikasi ini, menurut Khaled, sebenarnya fenomena yang sama sekali baru dan tidak ada presedennya dalam sejarah hukum Islam. Selama dua belas abad sejak period Nabi, para ulama selalu menolak kodifikasi hukum. Namun sejak Turki Usmani mengalami perjumpaan dengan sistem hukum Eropa, para ahli hukum di Turki merasa perlu untuk mengikuti model Eropa. Proyek ini kemudian diteruskan oleh wilayah-wilayah muslim lainnya pada periode selanjutnya setelah mereka mengalami transformasi menjadi negara bangsa (nation-state) pasca runtuhnya Kekhalifahan Turki Usmani.
Banyak sarjana yang melihat proyek modernisasi sistem hukum (dalam kasus Turki disebut tanzimat) ini sebagai langkah positif, yaitu sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa hukum Islam dapat sejalan dengan tuntutan modern, yaitu dengan perkembangan sistem hukum di Eropa. Tapi bagi Khaled langkah kodifikasi ini merupakan blunder yang memiliki dampak serius terhadap syariat Islam dalam dua hal: pertama, epistemologi; kedua, institusi.
Secara epistemologi, kodifikasi hukum telah merubah watak hukum Islam dari sifat asalnya yang lebih mirip common law (hukum umum) menjadi civil law (hukum sipil). Kodifikasi juga telah mengubah sifat fleksibilitas hukum Islam menjadi lebih predictable (mudah diprediksi), uniform (seragam), dan deterministic (tegas).
Singkatnya kodifikasi telah menyeragamkan praktek penerapan hukum. Padahal sifat dasar hukum Islam adalah plural.
Penyeragaman Hukum
Di abad ke-19 saat proyek kodifikasi dimulai, setidaknya kita mengenal empat mazhab hukum, yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. Pada periode sebelumnya, jumlah mazhab hukum jauh lebih banyak. Tidak jarang dalam suatu propinsi, empat mazhab hukum tersebut dipraktekkan secara bersamaan, termasuk di institusi pengadilan. Para penduduk pun memiliki kebebasan untuk mengikuti mazhab hukum manapun yang mereka inginkan.
Ini bertolak belakang dengan civil code yang menjadi ciri khas negara modern. Civil code hanya mengenal satu produk hukum. Dengan kata lain, civil code bersifat absolutis. Civil code tidak memberikan kebebasan bagi subjek hukum untuk memilih referensi hukum. Sebagai penduduk sementara di Amerika misalnya, saya tidak bisa memilih untuk mengikuti sistem hukum yang dicanangkan oleh Thomas Jefferson dan menolak sistem hukum ala George Washington karena pluralitas hukum itu sendiri tidak ada.
Berbeda dengan sistem hukum Islam pra modern, orang bisa memilih menjadi Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, atau mazhab lainnya. Institusi pengadilan akan memperlakukan subjek hukum sesuai dengan mazhab yang ia ikuti. Dalam konsep negara modern, bertentangan dengan sistem hukum resmi negara bisa mendapatkan konsekwensi serius, diantaranya dianggap membangkang dan pendisiplinan.
Konsekwensi paling signifikan adalah warga negara tidak bisa mendapatkan hak-hak kewarganegaraannya jika ia bertentengan dengan sistem hukum negara. Khaled mengutip Jacques Rousseau, seorang filosof Perancis yang mengarsiteki lahirnya konsep negara bangsa dan hidup di zaman pencerahan Eropa. Rousseau menyatakan bahwa individu atau unit apapun dalam masyarakat yang tidak sejalan dengan kehendak negara (hukum sipil) maka ia disebut heretic dan outcast.
Selain bersifat plural, sifat dasar lain hukum Islam lainnya adalah kemampuan untuk mengakomodir kebutuhan lokal. Sifat ini dimanifestasikan dalam konsep al-urf/custom (adat) dalam teori hukum Islam (Usul Fikih). Semua mazhab fikih klasik menggunakan konsep ini dalam determinasi hukum.
Khaled menyebut bahwa Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi adalah ahli hukum yang paling sukses dan sistematis mengintegrasikan konsep urf sebagai sumber hukum dalam sistem hukum Islam dalam bukunya Nasyr al-‘Urf fi Bina’ Ba‘d al-Ahkam ‘ala al-‘Urf. Mengenai akomodasi terhadap sistem adat, tidak jarang dalam kitab-kitab fikih klasik, khususnya dalam bab yang membahas tentang al-mukhasamat wal munazaat (persengkataan dan perselisihan), sering ditemukan para hakim justru lebih mendorong litigants (pihak yang berperkara) untuk merujuk kepada sesepuh di komunitas masing-masing (dulu disebut al-mukhtar, ‘umda, atau Syaikh al-Hara).
Resolusi konflik melalui arbitrase komunal, kata Khaled, tidak saja berimplikasi pada fleksibilitas hukum, tapi juga menciptakan dan mendorong lahirnya harmoni sosial.
Runtuhnya Institusi Keulamaan
Implikasi lain dari kodifikasi hukum adalah runtuhnya peran dan wibawa institusi keulamaan. Kodifikasi hukum di satu sisi memperkuat posisi negara, tapi di sisi lain memperlemah peran tokoh masyarakat (ulama), dan menciptakan ketergantungan masyarakat pada negara.
Dengan kodifikasi, kekuasan menjadi tersentralisasi pada negara. Khaled bahkan mengatakan kuasa negara seperti kuasa Tuhan. Padahal dalam konsepsi hukum Islam pre-modernity, otoritas tertinggi atau sovereignty (kedaulatan) ada di tangan Tuhan yang diterjemahkan oleh institusi ulama atau ahli hukum. Merekalah yang memainkan peran merumuskan norma di tengah masyarakat dengan menggunakan perangkat interpretasi Usul Fikih.
Dalam paradigma tata kelola pemerintah pra modern (paradigm of Islamic governance pre modernity), para ahli hukum (fukaha) membatasi ruang gerak negara hanya sebagai otoritas pelaksana hukum Tuhan yang lahir dari interpretasi institusi keulamaan.
Dengan demikian, peran eksekutif dan administratif yang dimainkan oleh sultan, khalifah, amir atau siapapun pemimpin di zaman pra modern jauh lebih minimalis dibandingkan dengan peran negara atau penguasa di zaman modern. Ketika kodifikasi dilakukan, maka secara otomatis, para ahli hukum (fukaha) tidak lagi independen, tetapi menjadi terkooptasi oleh negara. Selain itu hal yang tidak disadari oleh pendukung kodifikasi adalah mereka sebenarnya gagal memahami watak dasar sistem negara bangsa yang mudah sekali untuk dikorupsi (the modern state is inherently corrupted by power).
Mengobati Amnesia Epistemologis
Kembali kepada persoalan amnesia. Khaled menyatakan bahwa proyek kodifikasi ini adalah satu contoh nyata bagaimana umat Islam telah lupa akan tradisinya sendiri. Para ahli hukum Islam lupa bagaimana epistemologi hukum Islam bekerja dan bagaimana peranan yang dimainkan oleh institusi fukaha dalam sistem tersebut. Para ahli hukum yang bertanggungjawab terhadap proyek kodifikasi hukum di manapun di dunia Islam umumnya adalah sarjana yang lebih banyak dididik oleh sistem pendidikan modern Eropa daripada sistem pendidikan tradisional.
Walhasil, mereka memahami syariah di bawah pengaruh bayang-bayang konsep negara dan hukum modern yang mereka pelajari dari pengalaman Eropa. Tidak jarang pula ada watak apologetik dan reaksioner di balik proyek kodifikasi ini. Mereka mencanangkan program ini dengan tujuan untuk menjawab tuduhan beberapa orientalis di awal abad dua puluh yang melabeli hukum Syariah sebagai hukum yang bersifat despotik, arbitrer, tidak mudah diprediksi, dan tidak sistematis.
Karena tindakan reaksioner itulah, mereka tidak segan-segan mentranplantasi sistem hukum negara yang tadinya menjajah mereka. Mereka tidak menyadari bahwa ada perbedaan yang sangat mendasar antara sistem negara bangsa dan hukum sipil yang merupakan produk khas Eropa, dan lingkungan atau sistem di mana hukum Islam semestinya diterapkan. Kata Khaled, sungguh ini ironi paling besar dalam masyarakat muslim kontemporer.
Penyakit amnesia yang diderita umat Islam ini sudah berlangsung lama, bahkan sampai hari ini. Untuk memulihkan kembali ingatan kolektif umat Islam, dibutuhkan suatu kerja intelektual yang serius yang juga memakan waktu tidak sebentar. Kata Khaled, merestori ingatan bersama dan memulihkan ingatan yang terbuang selama lebih dari satu setengah abad terakhir akibat kolonialisme inilah yang semestinya menjadi prioritas kerja intelektual para sarjana muslim, bukan yang lain.
Proyek lain, baik yang diagendakan oleh kelompok revivalis seperti Islamisasi pengetahuan, maupun yang diagendakan oleh kelompok liberal sekuler dengan membawa filsafat postmodernisme seperti proyek dekonstruksi tradisi, tidak banyak membawa manfaat dan menyelesaikan problem krisis syariah (Arab: futur al-syariah, Inggris: the fatigue of shariah) yang dialami umat Islam saat ini. Tugas mengobati amnesia epistemologis adalah kerja berat, tapi bukan sesuatu yang sama sekali mustahil.
*Penulis adalah alumnus PCIM Mesir dan saat ini menjadi anggota PCIM USA