Kita senantiasa berusaha untuk menggapai apa yang kita bisa sebut dengan kehidupan ideal. Banyak orang memiliki perspektifnya terkait kehidupan yang ideal. Ada yang mengartikannya dengan kehidupan sebagaimana kehidupan negara maju. Namun sebagaimana umum diketahui juga, umumnya negara maju juga memiliki angka rentan depresi yang tinggi, hingga bahkan bunuh diri. Apakah paradigma logis dan materialistis dapat menjawab persoalan kehidupan kita?
Paradoks Negara Maju
Suatu hari seorang teman saya membagi video mengenai seorang warga Korea Selatan yang memilih agama sebagai jalan hidup. Pada awal video, dia menceritakan bahwa negaranya merupakan salah satu negara maju dengan tingkat produk domestik bruto (PDB) tertinggi ke-12 di dunia. Selain itu, negeri ginseng itu pun merupakan produsen banyak merek teknologi terkenal yang banyak digunakan masyarakat dunia. Sebut saja Samsung untuk merk smartphone, yang menjadi pesaing iPhone, hingga Hyundai dari jenis otomotif.
Selain cerita kesuksesan, masih di video itu, dia menceritakan bahwa di sisi lain, angka bunuh diri di negaranya cukup tinggi. Menurutnya secara tidak langsung semua orang terobsesi untuk berjuang menjadi yang ‘terbaik’, karena standar kompetisi negaranya yang tinggi. Namun pada saat yang sama, mereka menjadi rapuh karena tidak banyak yang bisa menerima realitas hidup. Sehingga tidak sedikit yang rentan depresi bahkan memilh opsi bunuh diri sebagai jalan terakhir.
Tidak hanya Korea Selatan, negara maju yang juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi adalah Jepang. Salah satu penyebabnya yang diperkirakan adalah depresi terhadap tuntutan hidup yang cukup tinggi. Bagi pelaku bunuh diri yang berusia lanjut, ada anggapan bahwa dengan melakukan bunuh diri maka dana asuransi akan cair kepada keluarga yang ditinggalkan. Dan hal ini dianggap dapat membantu keluarga yang ditinggalkan.
Kejadian di atas merupakan sebuah paradoks. Di satu sisi Korea Selatan dan Jepang merupakan negara maju dengan mayoritas warganya memiliki pendidikan yang baik. Tetapi di sisi lain mereka memiliki tingkat rentan depresinya cukup tinggi, bahkan pada tingkat yang parah bunuh diri menjadi pilihan. Lalu apa yang salah dengan hal itu?
Paradigma Logis dan Materialistis
Saya mencoba melihat fenomena ini dari sisi manusianya itu sendiri. Pendidikan kita saat ini didominasi oleh bagaimana untuk senantiasa berpikir rasional. Paradigma ini bekerja ketika sebuah kebenaran dapat dibuktikan oleh akal logis. Selama pembuktian tadi masuk dalam struktur logis maka dapat diterima dan berlaku sebaliknya.
Hal yang paling sering dijadikan contoh adalah pernyataan silogisme semua manusia akan mati. Budi adalah manusia. Kesimpulannya adalah Budi akan mati. Dari olah akal logis inilah kemudian berkembang menjadi sistem operasional berpikir matematis.
Kemampuan dalam berpikir matematis ini juga lah yang membuat manusia dapat mengukur jarak bumi ke matahari, misalnya. Ya, pengukuran jarak ini bukan diukur dengan meteran tapi melalui persamaan matematis. Dari sini juga gedung-gedung pencakar langit dihitung dalam akal manusia kemudian mengejawantah dalam bentuk bangunan yang nyata.
Satu hal lagi yang perlu dicatat adalah bahwa berpikir logis pun tidak bisa dilepaskan oleh cara pandangan hal-hal berbau materi (fisik–benda). Sesuatu dianggap sebagai sebuah kebenaran ketika hal itu dapat diuji secara materi. Pembuktian api misalnya dapat diterima ketika panas dan efek membakarnya terlihat dan terbukti secara fisik.
Karena hanya menganggap kebenaran adalah sesuatu yang logis dan materialistis, maka paradigma ini menolak hal-hal yang berbau mistis (immaterial). Sebut saja misalnya cerita tentang kuntilanak penunggu pohon asem, macan penguasa gunung dan cerita magis lainnya tidak bisa diterima.
Penerimaan hal-hal yang logis dan materialistis ini berdampak pada anggapan kita mengenai kesuksesan. Seseorang dianggap sukses ketika mereka cukup atau berlimpah harta. Akibatnya, orang yang sukses secara materialistis ini dianggap otomatis bahagia. Tidak sedikit kita melihat tayangan televisi yang menggambarkan proses from zero to hero. Dari yang tadinya bukan siapa-siapa menjadi sukses terkenal berlimpah materi. Dan tayangan-tayangan dengan tema seperti ini cukup digemari di masyarakat kita.
Penyebab Depresi
Kembali mengenai depresi tadi, saya melihat bahwa kesuksesan di negara maju tidak juga menjawab hal ini. Paradigma yang terus berkembang adalah bahwa saya harus bekerja keras karena dengan bekerja keras maka saya akan sukses (berlimpah materi). Dan dengan sukses ini saya menjadi bahagia. Padahal ini adalah buah dari paradigma yang secara tidak sadar ditanamkan sejak kita sekolah. Semua dimaknai hanya ketika bisa dibuktikan dengan harta yang berbentuk fisik.
Sudut pandang ini bermasalah ketika berhadapan dengan realitas. Kenyataannya, tidak serta merta orang yang bekerja keras sukses, apalagi berlimpah materi. Ada banyak kasus orang-orang yang secara materialistis cukup bahkan berkelimpahan tetap tidak mendapat kebahagiaan. Contohnya adalah cerita di video tadi. Sebagaimana beberapa artis Korea Selatan kita bisa lihat secara materialistis berlimpah, tapi mengalami kondisi rentan depresi yang parah.
Selain itu, tidak sedikit kita lihat orang-orang yang justru bekerja keras (fisik dan pikiran) dari pagi hingga malam justru hartanya pas-pasan. Ada banyak contoh mengenai ini, tetangga saya misalnya, yang berangkat dan pulang kerja tidak pernah melihat matahari tapi memiliki harta yang biasa saja. Rumah masih dalam bentuk cicilan KPR dan kendaraan pun masih berupa motor biasa.
Ketika paradigma ini dianggap sebagai sebuah kepastian dan bertemu dengan realitas yang bertentangan, maka akan menimbulkan penolakan. Hal ini terjadi ketika seseorang menganggap dirinya gagal dan tidak berguna padahal sudah bekerja keras. Ekspresi penolakan ini bermacam-macam. Ada yang stress, rentan depresi atau bahkan yang paling ekstrim, ya bunuh diri itu tadi.
Dari sini kita melihat bahwa paradigma logis dan materialistis tidak melulu bisa menjawab realitas karena kenyataan lebih kompleks dari sekadar pikiran logis. Banyak faktor yang menentukan ketika pikiran diwujudkan dalam kenyataan. Yang perlu dicatat adalah bahwa berpikir logis dan materialistis ini masuk dalam wilayah akal. Namun kebahagiaan, kesedihan, hingga makna hidup masuk dalam wilayah hati (jiwa). Dua hal yang tentunya membutuhkan solusi yang berbeda.
Wallahu a’lam.
Editor: Shidqi Mukhtasor/Nabhan