Manusia diciptakan dari setetes mani yang dibuahkan ke dalam rahim” [Al-Qur’an 75:37]. Manusia sebelum menjadi mudghah ( segumpal daging), mengalami tahapan proses pembentukan yang cukup lama. Setiap 40 hari pertama sperma mengalami proses pertemuan dengan ovum, 40 hari kedua zygot (hasil pertemuan sprema dengan ovum) sudah menempel dalam dinding rahim, dan 40 hari terakhir di usia 4 bulan mengalami perubahan, yaitu fisiknya sudah terbentuk.
Di usia 4 bulan inilah ketika fisiknya sudah disempurnakan, maka seketika itu Allah meniupkan roh ke dalam jasadnya sehingga manusia dapat mendengar, melihat, mengatahui, meraba, dan merasakan. Sebagaimana Allah Swt berfirman:
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur” (QS. As-Sajdah ayat:9).
Dalam tafsir Prof Quraish Shihab, Allah menyempurnakannya dan meletakkan di dalamnya salah satu rahasia yang hanya diketahui oleh-Nya, serta menjadikan pendengaran, penglihatan dan akal bagi kalian agar kalian dapat mendengar, melihat dan berpikir. Tetapi walaupun demikian, sedikit sekali rasa syukur kalian”
Dalam hadist juga dijelaskan, dari Abdullah bin Mas’ud RA, “Sesungguhnya tiap kalian dikumpulkan ciptaannya dalam rahim ibunya, selama 40 hari berupa nutfah (air mani yang kental), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu juga, lalu menjadi mudghah (segumpal daging) selama itu, kemudian diutus kepadanya malaikat untuk meniupkannya roh, dan dia diperintahkan mencatat empat kata yang telah ditentukan: rezekinya, ajalnya, amalnya, kesulitan atau kebahagiannya. ( Imam Muslim dalam Shahihnya No. 2643)
Manusia dalam Keadaan Fitrah
Dilihat dari [Alquran 17:85], dijelaskan bahwa yang mengatur dan menentukan roh ialah Allah, otomatis roh berasal dari Allah dan apa-apa yang yang bersumber dari Allah fitrahnya pasti baik, bersih dan suci. Karena itu ketika manusia berusia 4 bulan dalam kandungan disempurnakanlah bentuknya.
Allah perintahkan malaikat untuk meniupkan roh ke dalam jasadnya sehingga manusia membawa sifat-sifat potensi kebaikan dan kemuliaan, kumpulan sifat tersebut yang dibawa oleh manusia disebut dengan ketaqwaan.
Tetapi sifat-sifat ketaqwaan atau roh itu dikotori oleh tangan-tangan manusia itu sendiri, dicemari dari hal-hal yang tidak baik; syubhat dan haram. Yang maksudnya, terbentuknya jasad atau fisik manusia bukan semata-mata keseluruhan dari Allah, tapi ada usaha dan proses yang dilakukan manusia itu sendiri, baik dari aspek biologisnya maupun dari yang lainya. Misalnya, agar kandungan berkembang dengan baik maka manusia memberikan asupan-asupan yang baik dan bergizi.
Masalahmya ketika kandungan itu diberi dengan asupan; makan dan minum yang bersumber dari yang haram dan syubhat, sehingga janin dalam kandungan yang berproses selama 4 bulan mengalami perubahan yang di mana janin tersebut hanya dibekali oleh Allah dengan sifat-sifat ketaqwaan berubah menjadi mugdah (segumpal daiging) yang dipenuhi unsur-unsur keburukan.
Agar lebih detail, penulis mengilustarsikan dengan sebuah cawan yang berisikan air bersih, cawan dan air tersebut diibaratkan roh yang suci. Ketika cawan dicampurkan dengan teh, maka akan berubah warna menjadi coklat, ketika dicampurkan dengan kopi maka menjadi hitam. Itulah sebaliknya,
Ketika roh dicampurkan dengan sesuatu yang tidak baik maka sifat-sifat ketaqwaannya terpenuhi dengan unsur-unsur yang tidak baik pula. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah, “Setiap anak Adam tercipta dari tanah, sedangkan tanah ada yang coklat, hitam, bersih dan bahkan ada yang berlumpur”
Ar-Ruh yang sudah tercemari dengan hal yang buruk dan menyatu dengan fisik atau jasad, maka turunlah ayat “Wa nafsiw wa mā sawwāhā” Dan nafs yang sudah kami sempurnakan penciptaanya.
Dua Dimensi
Maksud sempurna dari ayat ini, yaitu ketika ruh sudah menyatu dengan jasad tersebut menjadi dua kerakteristik yang berlawanan, yaitu ketaqwaan dan kefasikan. Sebagaimana dalam Alquran dijelaskan “Fa al-hamahā fujụrahā wa taqwāhā” Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan yang fujur (kefasikan) dan jalan ketakwaan.
Jelas dari sini, bahwa manusia lahir dengan terjewantahkan dalam dua dimensi, yaitu dimensi Rabbbani yang mendorong dan mengajak manusia untuk melakukan hal yang baik, sedangkan dimensi Ardhi yang selalu mendorong, memaksa, dan mempengaruhi manusia agar melakukan hal yang buruk.
Asbab dari sini pula manusia disebutkan mahluk yang paling mulia, karena dalam jasadnya terdapat kebaikan lawan dari keburukan dan keburukan lawan dari kebaikan. Seandainya manusia bisa dan mampu mengalahkan sifat-sifat fujur (kefasikan) dengan merivitalisasikan sifat taqwa,
Maka ia beruntung dan lebih mulia dari malaikat. Sebaliknya ketika manusia mengikuti dan menghadirkan sifat kefasikan dalam kehidupannya maka ia sangat merugi, ia lebih hina dan lebih buruk dari pada syaitan dan hewan.
Perbedaan Nafs dengan Roh
Mengenai eksistensi jiwa atau roh ulama berbeda pendapat. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa roh dengan nafs berbeda, sedangkan Ibnu Qoyyim al-Jauziah mengatakan bahwa jiwa merupakan bagian dari roh. Sebenarnya pemikiran kedua ulama ini pada hakikat dan tujuannya sama, yang membedakannya hanya teori pendefinisianya.
Mereka mendefinisikan dengan berpatokan satu ayat, yaitu “Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur; maka Dia tahan nyawa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan nyawa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir” (QS. Az-Zumar39:42)
Roh dan Nafs MMenurut al-Ghazali
Al-Ghazali menafsirkan ayat ini, yaitu manusia memiliki kehidupan roh dan jiwa. Ketika mereka tertidur, maka yang keluar dari badannya bukanlah rohnya, melainkan jiwanya. Jiwanya keluar dan naik ke atas. Rohnya tetap ada dalam kehidupannya yaitu dalam jasadnya.
Oleh karena itu ketika dia bermimpi, jiwanya kembali ke jasadnya lalu masuk dalam kehidupannya dan memberitahukan kepada roh tersebut, bahwa ia bermimpi begini dan begitu. Begituh juga dengan kematian, jika Allah hendak mematikannya, maka Dia-Allah memegang jiwanya yang keluar itu.
Roh dan Nafs Menurut al-Jauziyah
Lain halnya dengan pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziah, menurutnya ketika manusia tertidur yang keluar dari badannya hanyalah rohnya. Oleh karena itu Allah menahan roh orang yang tertidur dan mengembalikan kedalam jasadnya dengan waktu yang ditentukan, dan juga Dia-Allah menahan ruh orang yang sudah meninggal dan tidak mengembalikannya kecuali setelah datangnya hari kiamat.
Pendapat beliau ini didasarkan dalam kitab ash-Shahihain dari hadist Abdullah bin Abu Qatadah al-Anshary, dia berkata “ Pada suatu malam Rasulullah saw dan sahabatnya melakukan perjalanan. Sahabatnya berkata kepada Rasulullah,
“wahai Rasulullah bagaimana jikalau engkau istrahat dan tidak menjaga kami?” Beliau menjawab, “Aku khawatir kalian tertidur. Maka siapa yang membangunkan kita?
Bilal berkata, “Aku wahai Rasulullah.” Maka Bilal pun menjaga Rasulullah bersama sahabatnya sampai mereka tertidur. Akan tetapi, tak lama kemudian Bilal merasa kantuk berat, dia pun menyandarkan badan ke pelananya dan akhirnya dia tertidur. Ketika Rasulullah bangun, dan matahari sudah terbit, Rasulullah bertanya,
“Wahai Bilal, mana yang pernah engkau bilang kepada kami?” Bilal pun menjawabnya, “Demi yang mengutusmu ya Rasulullah dengan kebenaran, aku tidak pernah mengalami kantuk seperti yang kualami kali ini.
” Rasulullah Saw brsabda, “Sesungguhnya Allah menahan ruh-ruh kalian kapan pun menurut kehendak-Nya dan mengembalikan kapan pun yang dikehendakinya.”
Ruh dan Nafs Sama
Dari kaca mata penulis, kedua pendapat ini pada hakikatnya sama. Secara fundamental jiwa itu bagian dari ruh dan jiwa terbntuk disebabkan adanya ruh. Ruh berasal dari Allah yang pada esensinya suci dan bersih, sedangkan jasad berasal dari manusia karena manusia menyimpan sifat-sifat keburukan.
Ketika yang suci (ruh) menyatu dengan yang kotor (jasad), maka berubahalah sifatnya dan namanya menjadi An-Nafs atau jiwa. Allah menamakannya dengan jiwa karena didalamnya terdapat atau tergabung segala unsur keburukan dan kebaikan. Sebagaimana dalam [Alquran 91: 7-8] yang dijelaskan diatas.
Begituh pula dengan kematian, jikalau manusia meninggal yang dicabut oleh Allah ialah jiwanya, karena ruh cuman membawa potensi kebaikan yaitu ketaqwaan, ketika sifat taqwa ini masuk kedalam jasad, inilah yang dikembangkan menjadi amalan; dia sholat, puasa, zakat, sedekah, dan lain sebagainya.
karena itulah mengapa ketika ia kembali kepada Allah bukan cuman ruhnya melainkan jiwanya juga, sebab kalau ruhnya saja yang pulang sama sekali tidak membawa apa-apa. Yang pulang itulah yang kembali kepada Allah itulah yang dinamakan An-Nafs yang didalamnya terdapat amal kebaikan dan amal keburukan dan yang menentukan dia berhak di Syurga atau di Neraka, sebagaimana dalam Alquran, “Kullu nafsin żā`iqatul maụt.”(QS. Ali-Imran:185)
Qolbu Pusat Interaksi Nafs
Hati (qolbu) hanya memiliki satu makna, tapi seiring berkembangnya zaman dan banyak ulama yang mengemukakannya akhirnya menjadi luas interpretasinya. Sebagian mengatakan bahwa hati adalah tempatnya jiwa, seperti dua hal yang sama padahal sangat berbeda.
Hati secara umum diartikan sebagai sekumpulan perasaan, kesadaran, dan naluri yang terpendam dalam diri manusia, yang berwujud perasaan cinta, benci, senang, sedih, bahagia, gelisah, kyusu’, takut, dan lain sebagainya. Semua sifat ini berkumpul disatu tempat yaitu didalam jiwa. Sebab inilah kehidupan manusia selalu bergejolak, karena jiwanya selalu terbolak-balik, tidak tentram, kadang baik dan kadang buruk.
Dalam bahasa Arab segala sesuatu yang tidak pernah tentram, selalu bergejolak atau terbolak-balik itu dinamakan qolbu (hati). karena itulah mengapa para ulama mendefinisikan jiwa itu ialah tempatnya sedangkan hati adalah sifatnya.
Dari sinilah Nabi pernah berpesan dan menyampaikan bahwa, “Jikalau keadaan hati kita bisa didominasi dengan sifat-sifat yang baik, maka sifat baik ini yang cenderung mengarahkan kita akan kebaikan dalam hidup.
Sebaliknya, jikalau dalam hati bergolakannya lebih didominasi oleh sifat nafsunya, yang jeleknya yang muncul, maka hal inilah yang mendorong kita untuk melakukan keburukan dalam hidup.”
Dapat digaris bawahi bahwa jiwa adalah tempat terkumpulnya unsur fujur dan taqwa, sedangkan hati ialah sifat pergolakkannya. Jika manusia dapat menundukan jiwa fujurnya, maka hatinya dipenuhi dengan sifat-sifat kebaikan dan hidupnya pasti tentram.
Dan jika manusia tidak mampu menghidupkan jiwa taqwanya dengan menekankan jiwa fujurnya, maka hatinya dipenuhi dengan sifat keburukan otomatis hidupnya penuh dengan kegelisahan.
wallahualam
Editor: Wulan
Katika penulis mengatakan bahwa ruh dan nafs itu sama, maka ada statement selanjutnya dari penulis sbb : “Begituh pula dengan kematian, jikalau manusia meninggal yang dicabut oleh Allah ialah jiwanya,…”
Padahal menurut saya berdasarkan ayat “Kullun Nafsun Zaaiwotul mauut’….setiap Nafs akan menemui kematian (dicabut ajalnya)
Artinya di dalam “Nafs” ada “Sesuatu” yang dicabut oleh Allah SWT, sangat mungkin itu sesuatu itu adalah “Ruh”…maka jelas ada 2 substansi yang berbeda.
Yang kedua penggunaan kata “Jiwa'” dalam kalimat “dicabut oleh Allah ialah jiwanya,…” Menunjukan itu adalah “sesuatu” yang berbeda dari “Nafs” itu sendiri…dan sangat mungkin itu maknanya adalah “Ruh”. Jadi sekali lagi Nafs dan Ruh adalah 2 substansi yang berbeda.
Wallahu’alam bishoab.
Mohon maaf sblmnya. Terimakasih.
Kullun Nasfun Zaaiqotul mauut’ (ada salah ketik Q dengan W) pada komen di atas.
roh dan jiwa 1 adanya….roh ada pada jiwa, roh zat, jiwa sifat, boleh nyata sifatnyanya pada pebuatan, namanya jasad….tks