Memperbincangkan Buya Syafii seperti tak ada habisnya. Selalu ada sisi-sisi menarik darinya. Mulai dari pemikiran, kontribusi, hingga kepribadiannya. Buya Syafii, hemat saya, ibarat intan, semakin digosok semakin berkilau. Kira-kira begitulah perumpamaan yang cocok untuk menggambarkan sosok guru bangsa yang bernama Ahmad Syafii Maarif ini.
Buya lahir di Sumpur Kudus, 31 Mei 1935. Pada 31 Mei 2020 lalu, Buya merayakan miladnya yang ke-85. Mencecah usia 85 tahun, bukan merupakan angka yang muda lagi baginya. Meskipun demikian, Buya masih tetap tampak energik, sebagaimana yang saya saksikan saat Buya memberikan sambutan dalam acara launching buku karya Erik Tauvani via aplikasi Zoom Meeting, Ahad 31 Mei 2020 lalu.
Milad Buya ke-85: Persembahan Erik Tauvani
Berbeda dari momen-momen milad Buya sebelumnya, pada milad Buya yang ke-85 tahun ini menjadi milad yang spesial bagi Ustadz Erik. Sebab, pada milad Buya yang ke-85 ini, Ustadz Erik dapat mempersembahkan sebuah karya penting berupa buku yang merekam jejak-jejak Buya yang luput dari perhatian banyak orang, termasuk media.
Buku tersebut ditulis oleh Ustadz Erik dan diberi judul Mozaik Keteladanan Buya Syafii Maarif: Kesaksian Hidup bersama Guru Bangsa. Bertepatan dengan hari milad Buya yang ke-85, buku ini di-launching. Saya hadir menyaksikan acara launching buku Ustadz Erik tersebut via aplikasi Zoom Meeting. Buya juga turut hadir dalam acara tersebut, dan diminta oleh moderator untuk menyampaikan sambutannya.
Buku yang terdiri dari xx+156 halaman dengan ukuran 14 x 21 cm ini sangat enak dan ringan sekali dibaca. Tanpa terasa, tak membutuhkan waktu lama untuk melahap halaman demi halaman buku tersebut.
Buya pun dalam sambutannya yang termuat dalam buku ini memberikan pujian kepada Ustadz Erik. Buya menuturkan: “Bakat menulisnya semakin menggeliat saja dari waktu ke waktu. Lancar dan enak dibaca.” Tahniah, Ustadz Erik.
Keteladanan Buya Syafii
Ada banyak hal yang dapat kita teladani dari sosok Buya lewat karya calon doktor dari Tulungagung ini. Di antaranya dapat saya kemukakan sebagai berikut:
Pertama, tentang persahabatan. Dalam buku ini, kita dapat menyaksikan potret persahabatan Buya Syafii dengan beraneka ragam orang. Sahabat, bagi Buya Syafii, tidak hanya sekadar say hallo saja. Tapi lebih dari itu. Sebagai seorang sahabat, kita dituntut untuk saling menyayangi, mengasihi, saling memberi perhatian, saling melengkapi, dan saling mendoakan.
Hal itu dapat kita baca dalam buku ini bagaimana kisah persabatan Buya Syafii dengan tokoh-tokoh besar, seperti Pak Amin Rais, Buya Yunahar, hingga Biksu Pannyavaro. Semuanya dipotret secara ciamik oleh Ustadz Erik, si calon doktor dari Tulungagung ini.
Dalam buku ini, kita dicontohkan Buya bagaimana cara bersahabat itu. Setiap kita boleh berbeda, tapi jangan sampai perbedaan itu menjadi penghalang untuk menjalin persahabatan. Buya sering mengatakan: “Berbeda dalam persaudaraan dan persaudaraan dalam perbedaan.”
Kedua, tentang kesederhanaan. Dalam buku ini, banyak kisah tentang kesederhanaan Buya. Kesederhanaan Buya dapat kita lihat dari cara berpakaian dan juga gaya hidupnya. Buya tak sungkan untuk menggunakan sepeda motor, bahkan mengendarai sepeda ontel saat ke apotek untuk membeli obat, dan masih banyak lagi.
Soal makan pun demikian, tokoh besar seperti Buya juga tak sungkan menikmati makan, meskipun hanya di angkringan pinggir jalan. Kita yang mendengar saja mengelus dada tanda haru dan kagum, apalagi yang menyaksikan langsung, seperti Ustadz Erik ini.
***
Ketiga, tentang kemandirian. Diceritakan Ustadz Erik dalam bukunya, bahwa Buya Syafii merupakan sosok yang tidak senang merepotkan orang lain. Di rumahnya, Buya sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri, misalnya mencuci pakaian, menyapu halaman rumah, dan lainnya.
Terkait dengan pekerjaan rumah itu, Ustadz Erik pernah nyeletuk: “Kenapa Buya mencuci pakaian sendiri, kan bisa saja mempekerjakan orang untuk membantu pekerjaan rumah tangga, mengingat usia Buya sekaligus kesibukannya yang bukan main?” Apa jawab Buya? Dengan tegas, lugas, dan di luar dugaan, Buya menjawab: “Badan itu jangan dimanjakan!” Tidak hanya itu, bahkan saat sakit pun Buya masih enggan merepotkan orang lain.
Keempat, tentang kedisiplinan. Ustadz Erik menuturkan bahwa Buya adalah sosok yang disiplin, konsekuen, dan konsisten. Buya sangat disiplin dalam hal waktu, terutama dalam menjaga waktu-waktu salat. Dalam keadaan apa pun, Buya selalu berusaha salat tepat waktu. Tak kira di mana pun tempatnya dan apa pun kesibukannya, jika sudah masuk waktu salat, maka Buya bergegas untuk menunaikannya. Salat nomor satu bagi Buya.
Tentang disiplin salat ini, Ustadz Erik menulis: “Buya, di banyak kebersamaanku dengannya, kerap kali memberi contoh tentang salat tepat pada waktunya. Saat dalam perjalanan, rapat, dan acara-acara seminar, prinsip ketepatan waktu salat ia genggam erat-erat”.
Ustadz Erik bercerita bahwa saat melakukan perjalanan ke Solo menggunakan KA Prambanan Ekspres (Prameks), saat azan zuhur terdengar sayup-sayup, sambil duduk, Buya menunaikan salat. Begitu selesai salat, pelan-pelan Buya berbisik supaya orang tidak melalaikan salat. Pada hakikatnya, orang yang salat adalah mereka yang semestinya mendapatkan kemenangan, sebagaimana yang tersirat di dalam lafal azan.
Stigma Negatif tentang Buya
Buya seringkali mendapatkan stigma negatif dari sekelompok kecil orang. Bahkan dalam hal pemahaman dan pemikiran, Buya juga sering dicap “liberal”. Saya sarankan untuk orang-orang yang demikian itu supaya membaca buku apik yang ditulis Ustadz Erik ini.
Banyak hal yang Anda tidak tahu secara detail tentang Buya. Buya yang ada di dalam pikiran Anda itu adalah Buya yang sering Anda salahpahami. Anda minim informasi dan tidak mau ber-tabayyun. Jadilah Anda seperti orang yang kerasukan setan, memfitnah, dan menghujat Buya secara membabi buta.
Buya yang Anda katakan “liberal” itu, adalah sosok yang sangat mencintai Tuhannya. Cintanya kepada Tuhan dibuktikan lewat disiplin salatnya. Anda juga harus tahu bahwa hati Buya itu sudah terpaut erat dengan masjid. Kalau Anda mau tahu, Masjid Nogotirto itulah saksi bisu, betapa Buya sangat dekat dan perhatian dengan masjid. Silakan tanya!
Saya kira cukup. Kalau diteruskan tidak akan selesai. Seperti yang saya katakan di awal tulisan ini, Buya adalah intan, semakin digosok semakin berkilau. Dan satu hal lagi kekaguman saya pada sosok Buya ini, yaitu lapang dada. Buya tidak pernah ambil pusing dengan berbagai macam hal yang orang katakan tentangnya. Hanya satu saja yang dijawab Buya: “Ah, sudahlah, biarkan saja”.
Itulah sedikit di antara keteladanan-keteladanan Buya yang dapat saya ulas dalam tulisan singkat ini. Mudah-mudahan dapat menjadi teladan bagi kita dalam melakoni hidup sehari-hari.
Untuk lebih jauh mengenal sosok Buya Syafii, silakan beli bukunya di Graha Suara Muhammadiyah dan baca sampai tuntas karya penting yang ditulis oleh calon doktor dari Tulungagung ini, biar tidak salah paham. Selamat membaca!
Editor: Lely N