Feature

Terorisme dan Sikap Denial Umat Islam

3 Mins read

Oleh: Dzaky Adam Thamrin*

Tragedi pengeboman gereja yang menimpa Srilanka baru-baru ini diklaim oleh pemerintah setempat, bahwa pelaku berasal dari Jamaah Tauhid Nasional (JTN). (Dikutip dari CNN Indonesia) Respon dari kalangan Muslim sendiri, salah satunya dari sekjen MUI, Anwar Abbas, mengecam dan mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh teroris jangan dikaitkan dengan agama. Dengan alasan, agar tidak melebar kemana-mana. (Dilansir dari Antara)

Banyak dari kalangan mayoritas Muslim di dunia merespon dengan pengecaman terhadap kejadian dimana pelaku teror beragama Islam. Umumnya pihak muslim yang moderat juga menyebutkan jika pelaku tersebut bukan Islam dan bukan bagian dari mereka. Karena Islam adalah agama yang damai bukan membawa kehancuran. Fenomena paradoks ini tidak banyak berubah sejak tahun 2000-an, seperti halnya dejavu.

Berawal dari tragedi penabrakan pesawat ke gedung World Trade Center (WTC) tahun 2001. Setelahnya rentetan kecerobohan pihak Muslim radikal kian bermunculan dengan aksi-aksi terornya. Atas nama Islam, teroris Muslim kian merebak, walaupun Osama bin Laden dikatakan telah tewas beberapa tahun lalu. Tetapi kegiatan teror yang dilakukan atas nama Islam menjadi berkembang, dari ISIS hingga JTN ini.

Akibatnya, seluruh Muslim dari berbagai macam golongan yang tidak bersalah seringkali disalahkan oleh dunia Barat. Stereotip yang tidak mengenakkan oleh pihak Barat menjadi suatu rintangan bagi dunia Muslim. Akibatnya mayoritas Muslim yang moderat berlomba-lomba untuk mengecam, agar dunia tahu bahwa mereka bukan bagian dari itu.

Selain pengecaman, banyak pihak Muslim menyatakan bahwa teroris tersebut bukanlah Islam. Dengan dalih bahwa Islam agama yang damai, membuat pihak Muslim moderat bersikap eksklusif terhadap kelompok Muslim radikal. Seperti halnya yang disampaikan oleh Malala, seorang tokoh wanita Afganistan, saat ia berpidato di PBB tahun 2013 silam bahwa teroris menyalahgunakan nama Islam. Dan tindakan tersebut bukanlah tindakan Islam menurutnya.

Baca Juga  Taif, Kota yang Pernah Menolak Dakwah Rasulullah, Kini Tempat Wisata Religi

Faktanya, walaupun banyak teori konspirasi mengatakan bahwasannya terorisme dilakukan karena adanya kebutuhan ekonomi. Namun, etos yang dibangun dalam kelompok teroris Muslim adalah ajaran Islam, yang mana sangat mempengaruhi sikap militan terutama strata terbawah dari kelompok tersebut. Misalkan, pelaku bom bunuh diri, perakit bom, sukarelawan jihadis, dan pelaku-pelaku lainnya.

Merebaknya sikap apologi “mereka bukan kami” dari kalangan Muslim moderat terhadap kelompok Muslim radikal, memiliki dampak negatif dari sisi introspeksi diri peradaban Islam dan perjalanan sejarah Islam itu sendiri yang cenderung lamban. Pasalnya, lelucon-lelucon dari kalangan non-Muslim terhadap kalimat “Islam adalah agama damai” berlawanan dengan realita banyaknya masalah dalam dunia Islam itu sendiri hingga merugikan dunia di luar Islam.

Dari sinilah suatu tanda bahwa Muslim Moderat cenderung memiliki sisi yang naif. Karena dunia Islam dipandang tidak hanya  kalangan Muslim moderat maupun Muslim yang radikal saja, melainkan keseluruhan.

Seperti yang dikatakan peribahasa, “rusak susu karena setitik nila”, menjadi gambaran Muslim pada era ini. Milyaran Muslim moderat yang memilih hidup damai telah dirusak citranya oleh Muslim radikal yang jumlahnya hanya ribuan. Namun, alangkah tidak bijaknya jika Muslim yang moderat tersebut menyebutkan bahwa teroris Muslim bukan bagian dari mereka.

Padahal atas dasar ukhuwah Islamiyah seringkali digaungkan oleh solidaritas Muslim moderat dalam hal kenyataan positif, seperti halnya mengakui Palestina merdeka, terbentuknya OKI (organisasi negara-negara Islam) dan lainnya. Tetapi tidak mengakui kenyataan negatif seperti terorisme yang dilakukan sekelompok Islam merupakan penyangkalanm dari sikap ukhuwah Islamiyah itu sendiri.

Apabila seluruh umat Islam menerima kenyataan tersebut, setidaknya peradaban Islam yang sedang berjalan, dapat belajar dari kesalahan-kesalahan yang ada secara lebih mendalam. Bukan menafikan dengan menyatakan hal tersebut tidak ada kaitannya dengan mereka. Selain itu, antisipasi terhadap radikalisme dalam dunia Islam akan menjadi lebih peka.

Baca Juga  Ciuman Kematian dan Gigitan Anjing

Jika umat Muslim belajar dari perkembangan peradaban agama kristiani yang lebih memilih menerima kesalahan-kesalahan yang ada. Seperti halnya Paus Yohanes Paulus memberikan permintaan maaf secara terbuka terhadap ilmuwan, Yahudi, kaum Muslim yang terbunuh akibat gereja Katolik pada dekade 1990-an. Tujuan pemintaan maaf sebagai simbol bahwa umat Katolik juga memiliki kesalahan dan berupaya untuk bertobat menuju masa depan yang lebih baik. Tidak heran jika agama Katolik kini lebih terbuka dan fleksibel dalam menghadapi kritik terhadap agama mereka.

Sayang sekali, jika umat Islam masih menganggap dirinya suci, baik yang moderat maupun yang radikal. Kritik yang diarahkan kepada Islam, seringkali dianggap penistaan oleh umat Muslim sendiri. Padahal agama tersebut hidup karena tindakan umatnya.

Seandainya umat Muslim terutama pihak moderat lebih menerima keadaan yang benar-benar nyata dalam perkembangan peradabannya. Maka kegiatan teror dan kecaman tidak lagi menjadi dejavu yang terus terulang pada era kini.

*Mahasantri Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds