Ekonomi Islam, dengan segala perkembangannya hingga saat ini, nampaknya kita harus memutar waktu pada beberapa puluh tahun silam. Sekitar tahun 1960 para akademisi islam di dunia yang memiliki fokus pada ekonomi yang di antaranya adalah M.A.Mannan, Umer Chapra, Kursyid Ahmad, M.N. Shiddiqy dan para akademis lainnya mengkaji tentang ekonomi dan Islam. Di mana dari hasil pengkajiannya tersebut menumbuhkan tunas berdirinya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah.
Di Indonesia sendiri, tahun 1990-1992 merupakan musim semi Islam. Jika mengutip pendapat Dawam Rahardjo dalam bukunya yang berjudul “Arsitektur Ekonomi Islam” tahun-tahun tersebut merupakan masa nostalgia antara Islam dan pemerintah orde baru saat itu. Bagaimana tidak, pada masa itu terbentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan berdirinya bank yang berlandaskan nilai syariah pertama di Indonesia.
Kita mengenalnya dengan Bank Muamalat, dua hal tersebut menjadi momentum di mana nilai-nilai keislaman menjadi naik. Baik itu sosial, politik, budaya dan dunia akademik. Bahkan hingga saat ini berbagai perguruan tinggi telah memiliki program studi khusus Ekonomi Islam.
Gaya Hidup Islami
Merebaknya Islamic life style atau tren gaya hidup islami dewasa ini, memberikan dampak yang besar dalam berbagai sektor. Seperti sektor keuangan dan perbankan, fashion, dan pariwisata yang di mana termasuk di dalamnya kuliner, transportasi, dan penginapan. Tak bisa dipungkiri hal-hal tersebut memiliki hubungan langsung dengan ekonomi.
Di Indonesia misalnya, sektor pariwisata merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara. Dari berbagai macam sektor yang disematkan nama “Islam” dibelakangnya. Muncullah berbagai macam kontroversi dan pendapat tentangnya, baik dalam dunia akademis maupun masyarakat awam.
Dari judul di atas nampaknya kita tidak bisa secara gegabah untuk memutuskan pilihan, terlebih di dalam dunia akademis. Setiap akademisi dalam menghadapi masalah atau isu haruslah memposisikan dirinya layaknya gelas yang kosong. Bukan berarti tidak memiliki modal untuk menganalisa hal tersebut. Namun seorang akademisi haruslah mengesampingkan dahulu persepsi subjektif agar dapat menganalisa sesuatu yang bersifat objektif, logis dan sesuai data empiris.
Berbagai stigma bermunculan, mulai dari perkataan awam hingga kritik tajam akademisi, mulai dari tataran praksis hingga tataran teoritis. Sehingga jalan yang harus ditempuh seorang akademisi yang bertanggung jawab yaitu mengulas kembali teori Ekonomi Islam. Setelah itu dihubungkan dengan realita saat ini termasuk pada tataran praktis.
Islam dan Ilmu
Menyematkan nama Islam pada disiplin ilmu dapat berpotensi terhadap pendikotomian ilmu dan ketidak-konsistensian umat Islam dalam memasukan nilai-nilai Islam pada setiap ilmu. Sebagai contoh disiplin ilmu yang disematkan nama Islam dibelakangnya cenderung ilmu sosial dan humaniora saja. Seperti Ekonomi Islam, Hukum Islam, Politik Islam dan sebagainya. Namun jarang sekali bahkan belum ada nama Islam disematkan pada disiplin ilmu sains, teknologi dan eksakta.
Beberapa di antaranya berpendapat bahwa sebab ilmu-ilmu sosial-lah yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan manusia (muamalah). Sementara ilmu-ilmu eksakta lebih bersifat bebas nilai. Pendapat seperti ini merupakan cacat berlogika (logical fallacy). Sebab tindakan seperti inilah yang menimbulkan pendikotomian satu di antara dua hal.
Pertama, seolah hanya ilmu sosial saja yang dapat diatur oleh nilai Islam, dan yang kedua, Islam berlepas diri dari ilmu-ilmu yang bebas nilai. Bukankah di dalam QS Al-Baqarah (208) kita diperintahkan untuk berislam secara kaffah. Seegala sendi kehidupan di dunia ini tidak mungkin Islam melepaskan diri darinya. Kitapun juga tidak boleh melepaskannya dari Islam.
Islam adalah agama perdamaian, namun tidak terhitung jumlah alat pemusnah manusia yang tercipta dari ilmu-ilmu eksakta tersebut. Awalnya untuk kemajuan teknologi namun disalahgunakan sebab umat Islam gagal menguasai dan membawa nilai-nilai Islam di sana.
Bukankah Rasulullah juga melakukan hal-hal yang sudah ada sebelum Islam itu hadir. Jika hal tersebut baik dan tidak bertentangan dengan Islam maka beliau membiarkannya. Namun, jika hal tersebut terdapat unsur yang tidak sesuai dengan Islam. Maka beliau tinggalkan atau diperbaiki. Apakah setelah perbaikan tersebut beliau menyematkan kata Islam dibelakangnya? Itulah hal yang harus dipikirkan lebih mendalam agar nama Islam tidak sekedar menjadi komoditas dari mereka yang tidak bertanggung jawab.
Perlukah Ekonomi Islam ?
Pertanyaan di atas mengarah pada urgensi dari nama Islam yang disematkan di belakang nama Ekonomi sehingga menjadi sebuah disiplin ilmu. Di berbagai Perguruan Tinggi, Ekonomi Islam telah menjadi sebuah program studi. Bahkan di beberapa Perguruan Tinggi terjadi dualisme jurusan ekonomi yaitu Ekonomi Umum yang biasanya dengan nama Ilmu Ekonomi dan Ekonomi Islam.
Hal lucu yang seringkali terjadi adalah para mahasiswa dengan dua jurusan tersebut bahkan tidak mengetahui atau memang tidak mempunyai perbedaan antara keduanya. Sebab beberapa di antaranya lebih memahami jurusan satu sama lain. Apabila ada pertanyaan yang bersifat fundamental tentang Ekonomi Islam, maka tidak ada jawaban lain selain jawaban dogmatis. Sehingga terkesan disiplin ilmu tersebut bersifat sektarian. Begitu ia bersifat sectarian maka gagal-lah ia membawa nilai rahmatan lil ‘alamin.
Jika melihat dari pemikiran para Ekonom Muslim kontemporer dan melihat realita para pelajar atau akademisi Ekonomi Islam saat ini. Sepertinya ada mispersepsi dari pemikiran awalnya. Ambil contoh pemikiran dari Monzer Kahf, beliau mencetuskan asumsi dasar Islamic Man tandingan dari Rational Economics Man.
Islamic Man berimplikasi bahwa sesuatu akan dikatakan rasional apabila sesuai dengan ajaran Islam. Dengan kata lain setiap manusia harus membawa nilai Islam di dalam dirinya agar ia dapat membuang nilai yang tidak sesuai dengan Islam. Ia juga harus bisa membawa atau mempertahankan manfaat dari ilmu tersebut selama tidak melanggar nilai-nilai Islam.
Sehingga Islamic Man tidak harus seorang muslim. Namun siapa saja selama ia memiliki paradigma yang tidak bertentangan dengan Islam maka ia termasuk Islamic Man. Secara tidak langsung beliau mencetuskan pemikiran untuk melaksanakan Islam yang kaffah. Apapun disiplin ilmu tersebut, sinarilah ia dengan nilai-nilai keislaman.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperdalam pemahaman akan Islam itu sendiri. Sebab akan sangat ironis jika kita mempelajari cabang ilmu yang tersematkan nama Islam dibelakangnya namun kita sendiri belum memahami Islam tersebut. Implikasi dari langkah pertama adalah tidak diperlukannya nama Islam disematkan dalam disiplin ilmu. Sebab nilai-nilai keislaman telah terpatri dalam diri, hal tersebut juga dapat menjadikan disiplin ilmu tersebut lebih universal.
Baqir As-Sadr Sang Pelawan Arus
Filsuf sekaligus pemikir ekonomi kelahiran Baghdad ini memiliki pemikiran yang kritis tentang Ekonomi dan Islam. Mulai dari kepemilikan pribadi dan negara, serta peran negara dalam pendistribusian sumber daya dan kebutuhan publik, serta kritik beliau terhadap kapitalisme dan komunisme.
Dalam Ekonomi Islam, pemikir yang terkenal dengan kitab Iqtishaduna ini memiliki pemikiran yang radikal. Sebabia berbeda pemikiran dari kebanyakan Ekonom Muslim lainnya. Salah satu pemikiran radikal beliau tentang Ekonomi Islam adalah bahwa ekonomi dan Islam tidak dapat disatukan. Sebab memiliki prinsip yang berbeda.
Dalam Ekonomi Konvensional prinsip yang digunakan adalah bahwa masalah utama dalam ekonomi adalah kelangkaan. Sebab sumber daya yang terbatas tak mampu memenuhi kebutuhan manusia yang tak terbatas. Selama ekonomi masih menggunakan prinsip tersebut, sekalipun itu Ekonomi Islam sendiri. Maka ia tidak bisa menyatu dengan Islam dan selalu kontradiktif.
Menurut Baqir, tidak ada istilah sumber daya yang terbatas. Pada hakikatnya Allah telah menciptakan sesuatu sesuai dengan porsinya, tidak kurang dan tidak pula lebih. Bahkan hal yang mendukung pendapat tersebut disebutkan beberapa dalam Al-Qur’an. Misalnya QS. Adz- Dzaariyaat (58) dan QS. Huud (6).
Masalahnya adalah bukan pada sumber daya. Namun masalahnya terdapat pada pendistribusian sumber daya tersebut, keserakahan, ketidakadilan, dengan kata lain tidak ada atau tidak dijalankannya nilai-nilai Islam pada mereka yang melakukan penyimpangan pendistribusian tersebut.
Yang menjadi pertanyaan di sini ialah, di posisi manakah prinsip Ekonomi Islam yang dipelajari di berbagai perguruan tinggi tersebut berdiri ?
Pada akhirnya tulisan ini menjadi bahan kritik baik untuk diri kita sendiri, maupun pihak lain. Sejauh manakah kita telah benar-benar mengamalkan nilai-nilai keislaman dalam setiap sendi kehidupan. Sebab jika nilai-nilai tersebut telah tertanam dalam hati setiap ilmuwan atau pelajar muslim, maka orientasi ilmu yang dipelajari pasti akan dibawa pada nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Apalah arti sebuah nama jika kita tak mampu memahami dan menerapkan nilai-nilainya. Jangan sampai nama Islam hanya dijadikan komoditas oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang kemudian dijual pada umat Islam itu sendiri.
Editor: Wulan