Falsafah

Para Filsuf Islam di Timur

3 Mins read

Berbicara mengenai filsafat, mungkin sebagian umat Islam akan merasa asing, aneh, menyepelekan, atau bahkan mengharamkannya. Perdebatan mengenai kebolehan mempelajari filsafat memang telah berlangsung lama, termasuk di lingkungan gereja Kristen sekalipun.  Akan tetapi, filsafat tetap saja masuk ke dalam sejarah peradaban Islam, bahkan menjadi salah satu warisan khazanah Islam dengan berbagai pengaruhnya. Lalu, bagaimana sepak terjang filsuf Islam?

Secara umum, negeri Islam sejak dinasti Umayyah hingga kejatuhan Turki Utsmani dibagi menjadi dua wilayah, Timur dan Barat. Tentu dengan catatan luas wilayah tiap zaman bisa saja berbeda tergantung situasi politik.

Wilayah Timur meliputi semenanjung Arab, Iran ke timur hingga India dan negeri Balkan. Wilayah Barat meliputi Turki, Afrika, Andalus atau Spanyol, dan sekitarnya. Dari dua wilayah tersebut lahir beberapa filsuf Islam dan kali ini kita akan mengulas para filsuf Islam dari wilayah Timur.

Geliat Filsafat di Timur

Perkembangan masuknya filsafat ke wilayah Timur, khususnya dunia Islam, ditandai dengan diterjemahkannya berbagai literatur Yunani pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah. Secara lebih jauh, Abdullah bin al-Muqaffa’ (w. 757) adalah orang yang dianggap banyak berjasa dalam awal masuknya literatur filsafat Yunani di dunia Islam.

Ia adalah penerjemah muslim yang dulunya seorang Zoroastrian yang menerjemahkan beberapa literatur Aristoteles ke dalam bahasa Arab pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun. Selain literatur Yunani karya Aristoteles seperti Categories, Hermeneutica, dan Analytica Posteriora serta Isagoge karya Porphyry, ia juga menerjemahkan beberapa karya Persia. Khudai-Nameh atau Sejarah Kisra Persia, Ayen-Nameh atau Kitab Mazda, Biografi Anushirwan, dan karya-karya lain.

Seorang bernama Hunain bin Ishaq (809-873 M) dianggap yang paling berjasa dalam penerjemahan filsafat dan ilmu Yunani ke dalam bahasa Arab. Ia adalah salah seorang kepala Bait al-Hikmah, sebuah institusi dan perpustakaan resmi yang didirikan oleh Khalifah al-Ma’mun dalam rangka penerjemahan dan riset. Di samping Hunain, ada pula Yahya bin Masawaih, al-Hajjaj bin Matar, dan Yahya bin al-Bitriq. Mereka disebut sebagai penjaga Bait al-Hikmah.

Di samping institusi dan aktivitas penerjemahan filsafat Yunani dan Persia serta India, filsafat Islam sangat bergantung pada aktivitas pemikiran muslim itu sendiri. Diantara pemikir atau filsuf Islam tersebut akan dibicarakan selanjutnya.

Baca Juga  Bagaimana Filsafat Islam Berbicara tentang Kebahagiaan yang Hakiki?

Filsuf di Timur

Filsuf Islam pertama yang cukup tersohor adalah Al-Kindi. Namanya adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi, seorang filsuf Arab, dan mempunyai garis silsilah sebagai penguasa tanah Arab. Ayahnya adalah Ishaq bin Sabah, penguasa Kufah yang berkuasa selama tiga periode khilafah Abbasiyah: al-Mahdi, al-Hadi, dan al-Rasyid. Silsilah kakeknya sampai pada puncaknya di Ya’rib bin Qahthan, dan di antara kakeknya ialah al-Asy’ats bin Qais salah seorang sahabat Nabi yang pernah menjadi penguasa di Kindah sebagaimana ayahnya.

Disebutkan dalam buku Sejarah Filsafat Islam (Tarikh Falasifah al-Islam) karya Muhammad Ali Jum’ah, bahwa para sejarawan Arab tidak menyebutkan secara pasti tanggal kelahiran dan wafat al-Kindi. Ada yang mengatakan ia hidup pada abad ketiga hijriah. Sementara itu, Philip K. Hitti menyebutkan bahwa al-Kindi lahir sekitar tahun 801 M di Kufah dan meninggal di Baghdad pada 873 M.

Ia adalah contoh pertama dan terakhir murid Aristotelian di Timur dari bangsa Arab. Ia mengembangkan model Neo-Platonik untuk memadukan antara pandangan Plato dan Aristoteles dan memandang bahwa matematika Neo-Phytagorian sebagai basis semua pengetahuan. Di samping keilmuannya yang cukup mentereng dalam bidang filsafat, al-Kindi juga seorang astrolog, kimiawan, ahli optik, dan teoritikus musik.

Berikutnya ada Al-Farabi. Nama lengkapnya Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Auzlag bin Tharkhan al-Farabi. Al-Farabi atau yang dikenal juga sebagai Abu Nasr dilahirkan di Transoxiana dan konon berdarah Turki atau mungkin berdarah Persia. Tidak diketahui tanggal kelahirannya, namun tercatat meninggal pada bulan Rajab 339 H/ Desember 950 M pada usia 80 tahun. Dengan demikian, kemungkinan ia lahir pada tahun 260 H. Ia tercatat mempelajari logika dari seorang sarjana Kristen bernama Yuhanna bin Hailan di Baghdad.

Baca Juga  Memperkokoh Keimanan dengan Filsafat

Al-Farabi dapat dengan segera melampaui para pendahulunya yang muslim dalam bidang logika dan filsafat; ia menyarikan studi logika dan memperluas serta menyempurnakan hal-hal kecil yang luput dari perhatian al-Kindi. Ia melanjutkan usaha al-Kindi untuk memadukan falsafah Yunani dan Islam.

Ibnu Sina

Sistem filsafatnya sebagaimana yang terungkap dari berbagai komentarnya terhadap Plato dan Aristoteles adalah sebuah upaya sinkretisme dari Platonisme, Aristotelianisme, dan Sufisme. Sehingga akhirnya ia mendapat julukan sebagai Guru Kedua (al-Mu’allim al-Tsani). Di antaranya karyanya yang termasyhur ialah Risalah Fusus al-Hikam dan Risalah fi Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah.

Adapun Ibn Sina. Ia dilahirkan di Afshanah dekat Bukhara pada bulan Safar 370 H atau Agustus 980 M, Ibn Sina bernama lengkap Abu Ali al-Husain Abdullah bin Sina. Ia berasal dari Persia yang digelari sebagai Syaikh Rais, seorang dokter Arab termasyhur dan filsuf yang agung. Disebutkan bahwa pada usia sepuluh tahun Ibn Sina sudah hafal Al-Qur’an, dan kemudian ia menjadi seorang yang pandai dalam ilmu agama, pengantar syariat, dan ilmu nahwu.

Ayahnya pernah bertamu kepada seorang ilmuwan bernama Abdullah al-Natili yang kemudian kepadanya ia serahkan pendidikan anaknya. Maka kemudian Ibn Sina belajar kepadanya ilmu-ilmu eksakta, ilmu alam, logika, dan metafisika. Selanjutnya ia belajar kedokteran kepada seorang guru Kristiani bernama Isa bin Yahya.

Ibn Sina jugalah yang menempatkan keseluruhan hikmah Yunani, dikodifikasi dengan kecerdikannya, dalam pembagian dunia Islam terpelajar dengan sebuah bentuk yang dapat dipahami.

Melalui Ibn Sina, sistem Yunani terutama Philo dianggap mampu disatukan dengan Islam. Ibn Sina berkontribusi besar dalam mengembangkan kosakata filosofi baik dalam bahasa Arab, yang mana banyak ia tulis dalam karyanya, dan juga dalam bahasa Persia. Karyanya yang berjudul Danish-Nameh merupakan buku filsafat pertama dalam post-Islam Persian.

Baca Juga  Antropologi Agama: Kritik Talal Asad terhadap Clifford Geertz (Bagian 2)

Magnum Opus Ibn Sina adalah Kitab alSifa yang dikenal dalam bahasa Latin dengan Sufficientia. Buku ini merupakan ensiklopedia pengetahuan Islam-Yunani pada abad kesebelas, mulai dari logika hingga matematika. Di samping itu, Ibn Sina dalam karya-karyanya mengarah kepada filsafat ketimuran atau iluminasi karena filsafat mistisnya. Ibn Sina meninggal pada bulan Ramadan tahun 824 H atau bulan Juli 1034 M pada usia 57 tahun.

Editor: Nirwansyah/Nabhan

Avatar
6 posts

About author
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tertarik dengan isu keislaman, kemanusiaan, dan lingkungan
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds