Perspektif

Konversi Hagia Sophia dan Simbolisasi yang Menjenuhkan

3 Mins read

Kebijakan Erdogan mengubah Hagia Sophia menjadi masjid telah menghebohkan jagat media sosial. Pada Jum’at kemarin, pengadilan Turki membatalkan dekrit yang dikeluarkan oleh Mustafa Kemal dan membuka jalan bagi masyarakat Turki untuk kembali menggunakan Hagia Sophia sebagai masjid.

Erdogan dan Hagia Sophia

Erdogan menuai pujian dari umat Islam di seluruh dunia. Keberhasilannya mengubah status Hagia Sophia menjadi masjid dianggap sebagai babak awal bagi kebangkitan Islam. Bahkan ada yang secara sembrono menyebutnya sebagai tanda bahwa khilafah akan tegak. Seluruh negara Islam akan bersatu di bawah simpulnya dan Erdogan tampil sebagai khalifahnya.

Layaknya sebuah isu, selain pujian, tindakan Erdogan juga mendapat kritik dari beberapa pihak. Keputusannya dinilai hanya akan mempertegang hubungan antar-agama, khususnya Islam dan Kristen. Pasalnya sebelum dijadikan sebagai masjid oleh Muhammad Al-Fatih, tempat ini telah lebih dulu menjadi Katedral.

Sempat awalnya penulis berpikir bahwa perspektif kerukunan beragama ini akan terpental. Karena belakangan beredar kabar kalau Hagia Sophia telah dibeli Muhammad Al-Fatih dari pihak gereja saat ia menaklukkan Kostantitopel. Hal itu semakin diperkuat dengan adanya dokumen yang diklaim sebagai akta jual-beli.

Ke-otentikan Dokumen

Dengan menjadikannya sebagai masjid, Erdogan sebenarnya tengah kembali membuat kontestasi. Kalangan Kristen akan berpikir bagaimana merebut tempat ini. Kontestasi yang hakikatnya telah lama padam. Tepatnya ketika Mustafa Kemal menetralkan Hagia Sophia dari simbol-simbol agama dan menjadikannya sebagai museum.

Sebab jika telah dibeli, maka Hagia Sophia resmi menjadi milik umat Islam, khususnya masyarakat muslim Turki. Mereka berhak untuk memfungsikannya sebagai apa pun. Pihak luar tidak boleh ikut campur. Pihak luar tidak punya hak untuk mengatur-atur masyarakat Turki dalam kaitannya dengan tempat ini.

Baca Juga  Nabi Muhammad & Nabi Isa, Siapakah yang Lebih Mulia?

Beberapa hari setelah itu penulis menemukan fakta lain. Fakta yang kemudian meyakinkan rasa skeptis atas gambar dokumen yang tengah beredar. Hal itu penulis dapatkan melalui akun instagram Aan Candra Thalib, seorang mahasiswa asal Indonesia yang tengah berkuliah di Universitas Islam Madinah.

Ia menulis: “Baiklah. Karena banyak yang mempertanyakan soal dokumen yang diklaim sebagai akta jual beli Hagia Sophia, maka kami tegaskan bahwa dokumen tersebut bukan akta jual beli

Dokumen yang ditulis dengan huruf latin itu sebenarnya adalah akta tanah yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Turkey. Adapun dokumen yang berbahasa Arab berisi penjelasan terkait peruntukan Hagia Sophia sebagai mesjid. Keduanya adalah dokumen asli. Tapi sama sekali tidak menyinggung akad jual beli antara Al-Fatih dan Gereja Orthodox.”

Beberapa Fenomena

Di tengah gegap gempita umat Islam atas kembalinya Hagia Sophia menjadi masjid, penulis melihat ada sesuatu yang tidak patut. Ekspresi yang ditampilkan umat penulis anggap terlalu berlebihan. Umat telah menyeret isu Hagia Sophia pada permasalahan keimanan. Mereka seakan mentahbiskan bahwa semua umat Islam harus merayakannya. Dan mereka yang tidak merayakan akan diragukan keislaman dan keimanannya.

Salah seorang teman penulis misalnya, mengatakan: “Lihatlah! Umat Islam di seluruh dunia sedang merayakan hari kemenangannya. Mereka bersahut-sahutan mengucap kalimat takbir. Lantas, masih adakah yang meragukan agamanya?

Bahkan ada yang secara ekstrem menyebut: “Intinya kalau hatimu senang melihat rumah ibadah hidup kembali, itu menandakan imanmu naik. Tapi kalau hatimu tidak senang melihat Hagia Sophia menjadi masjid, di situlah sudah mulai nampak tanda tanda kemunafikan dalam dirimu. Perbaharui lagi imanmu!

Realitas yang demikian pernah menjadi kegundahan Nurcholis Madjid. Umat Islam, kata Nurcholis, masih banyak yang belum bisa membedakan antara perkara yang duniawi dan ukhrawi. Umat masih sering meng-akhirat-kan yang duniawi. Contohnya persoalan Hagia Sophia di atas.

Baca Juga  Melawan Neo-Khawarij dengan Literasi

Kalau umat jeli, ia akan insaf bahwa ini adalah persoalan kekuasaan. Ia hanya dijadikan alat untuk menarik perhatian dan suara umat Islam. Sama sekali tak ada hubungannya dengan masalah keimanan. Karena iman adalah hubungan antara pribadi dengan Tuhan.

Selain itu, di sana juga panorama yang tak sedap dipandang. Seorang tokoh Islam menyebutkan bahwa peralihan Hagia Sophia dari museum menjadi mesjid sudah diterangkan oleh Rasulullah. Sebuah pemahaman yang terkesan dipaksakan. Karena Rasulullah tidak pernah menyinggung masalah Hagia Sophia. Yang ada hanyalah Kostantinopel. Bunyi hadisnya adalah sebagai berikut:

“Sesungguhnya akan ditaklukkan kota Konstantinopel, sebaik-baik pemimpin adalah yang memimpin saat itu, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan perang saat itu.”

Simbolisasi yang Menjenuhkan

Kebijakan Erdogan menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid, sebagaimana disinyalir oleh Imam Shamsi Ali, telah melahirkan suatu masalah. Masalah itu ada pada umat muslim yang tengah berada di negeri-negeri Barat. Dengan adanya kebijakan Erdogan tersebut, umat Islam akan semakin diwaspadai.

Pemerintah masing-masing negara akan menjadi khawatir jika umat Islam yang minoritas ini akan mengambil alih gereja-gereja mereka. Konsekuensi lainnya, Islam akan semakin dipersepsikan sebagai agama yang terlalu memaksakan kehendak.

Lagi pula, menurut Shamsi Ali, pengalihan status Hagia Sophia tidak didasarkan pada kebutuhan masyarakat Turki akan tempat beribadah. Sebab tepat tidak jauh dari Hagia Sophia, berdiri sebuah Masjid Hijau (Blue Mosque) yang megah.

Karenanya, kalau pun ada manfaat yang diberikan oleh pengalihan ini, maka itu hanya terkait dengan emosi umat. Umat akan mengingat kemenangan Islam atas Kristen Bizantium ketika itu. Dan konversi museum menjadi masjid saat ini merupakan simbolisasi kemenangan. Simbol kemenangan Islam atas sekularisme Turki.

Baca Juga  Hegemoni Militer dan Kegagalan Revolusi Mesir

Namun, benarkah simbol-simbol semacam itu akan menjadi tanda bahwa umat Islam akan jaya, maju dan menang? Penulis tidak yakin! Islam sejatinya hanya akan bisa maju dan memimpin peradaban dunia kalau umatnya telah unggul dan terdepan dalam hal ilmu pengetahuan. Karenanya, daripada mengobarkan semangat perang, akan lebih baik jika para tokoh Islam menyerukan pada umat untuk meningkatkan semangat literasinya! 

Editor: Sri/Nabhan

Avatar
21 posts

About author
Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Ciputat
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *