Falsafah

Soren Kierkegaard, Sang Bapak Eksistensialisme

3 Mins read

Soren Kierkegaard dianggap menjadi peretas jalan munculnya pemikiran eksistensialisme, sehingga disebut sebagai bapak eksistensialisme. Ia adalah seorang filsuf yang berasal dari Kopenhagen, Denmark yang lahir pada 5 Mei 1813. Kiekergaard dibesarkan di sebuah keluarga pemeluk agama Kristen. Sehingga ia menganut aliran eksistensialisme theistik; aliran eksistensialisme di mana orientasi pemikirannya mengarah pada penegasan adanya realitas keTuhanan.

Eksistensialisme sendiri merupakan aliran filsafat yang menegaskan akan keberadaan manusia, yang berarti manusia sadar bahwa dirinya ada. Untuk itu Soren Kierkegaard menyumbangkan pikirannya mengenai kehidupan manusia. Adapun pesan dari seorang Kierkegaard mengenai eksistensi. Bahwa seseorang dalam menjalani kehidupannya harus dengan kesungguhan sehingga orang tersebut tidak tampil dalam kesemuan.

Hal tersebut karena dalam hidup setiap manusia pasti pernah mengalami pergumulan dalam dirinya. Baik mengenai kehidupan percintaan, pekerjaan, keluarga, cita-cita, dan lain sebagainya. Sehingga ruang batinnya menjadi ajang pergumulan berbagai gagasan dan pertimbangan yang tidak jarang membuat dilema. Jika akhirnya orang itu berhasil mengambil keputusan, maka dasar dan prinsip dalam pengambilan keputusan tersebut berdasarkan keyakinan hati secara pribadi.

Oleh karena itu, menurut Kierkegaard melepaskan diri dari segala bentuk kepalsuan dan menghidupkan eksistensi yang autentik juga menuntut kita untuk keluar dari kerumunan atau publik. Karena baginya kerumunan atau publik dapat menghilangkan identitas pribadi seseorang. Hal ini dikarenakan dalam kerumunan, orang cenderung mengikuti arus massa.

Maka individu harus mencegah dirinya agar tidak larut dalam kerumunan. Karena hal ini akan menghilangkan identitas individu dan menghalangi usaha individu untuk menjadi diri sendiri.

Untuk menghidupi eksistensi yang sejati individu juga harus memiliki wawasan yang luas mengenai makna dan pemenuhan hidup manusia. Menurut Kierkegaard, eksistensi yang sejati atau sesungguhnya memungkinkan individu untuk memilih dan mengambil keputusan serta bertanggungjawab atas tidakan yang dilakukannya.

Baca Juga  Mulla Shadra (4): Filsafat Wujud

Tahap Jalan Hidup Manusia

Dari hal ini lah, kemudian Soren Kierkegaard membuat penggolongan wilayah eksistensi atau tahap-tahap jalan hidup manusia. Karena bagi Kierkegaard orang tidak selamanya terjebak dalam wilayah eksistensi tertentu melainkan dapat memasuki tahap eksistensi berikutnya. Adapun tahap-tahap jalan hidup tersebut terbagi menjadi tiga macam.

Pertama, tahap estetis. Dalam tahap ini manusia dalam menjalani dan menghayati kehidupannya tanpa memperhatikan tindakan yang dilakukannya tersebut merupakan tindakan yang baik atau jahat, boleh atau tidak dilakukan. Pada tahap ini individu dalam memenuhi keinginannya secara spontan dan harus terpenuhi seketika itu juga.

Tahap estetis ini tidak ada prinsip moral dan pertimbangan nilai baik atau buruk, yang ada hanya kepuasan dan ketidakpuasan, rasa terpenuhi dan frustasi, nikmat dan sakit, senang dan susah.

Dalam bukunya Either/Or dengan tokoh Don Juan yang dijadikan model sebagai contoh orang yang berada pada tahap estetis. Dalam buku ini Don Juan diceritakan sebagai orang yang hanya memenuhi hasrat sesaatnya saja yaitu dengan menjadikan wanita sebagai pemuas nafsunya. Hal ini lah yang kemudian mendekte seorang Don Juan hidup dalam wilayah estetis.

Kedua, tahap etis. Dalam tahap ini manusia sudah mulai memperhitungkan dan mempertimbangkan tindakan yang dilakukannya baik atau buruk. Hidupnya sudah tidak lagi ditandai oleh sifat spontan melainkan sudah membuat pilihan-pilihan konkret berdasarkan pertimbangan rasio dalam melakukan tindakannya.

Jika dalam tahap estetis Kierkegaard menjadikan Don Juan sebagai contoh, pada tahap etis ia juga memberikan contoh manusia yang masuk dalam tahap kedua ini yaitu Sokrates, ia adalah seorang penganut moral yang absolut dan meyakini bahwa menegakkan moral merupakan tugas filsuf.

Dalam buku Either/Or pula, Kierkegaard mengatakan bahwa manusia yang telah menjadikan tahap etis sebagai bagian dari hidupnya. Maka mempunyai pilihan untuk melakukan tindakan baik atau buruk. Tetapi pilihan tersebut tidak untuk di pilih, melainkan dari pilihan tersebut dapat memberikan kehidupan yang lebih baik kedepannya bagi orang tersebut.

Baca Juga  H. M. Rasjidi dan Harun Nasution: Perdebatan mengenai Filsafat dan Teologi

Tahap Terakhir, Religius

Tahap terakhir yang harus dicapai oleh manusia ialah tahap religius. Pada tahap yang terakhir ini manusia menyadari bahwa pertimbangan baik dan buruk sudah tidak memenuhi dalam hidupnya. Yang bernilai pada tahap ini yaitu relasi manusia dengan Tuhan. Kepercayaan kepada Tuhan adalah suatu tindakan transendental yang dimungkinkan karena Tuhan memberikan kesempatan pada manusia untuk memperbaiki dirinya (bertaubat) dengan menghadap kepada-Nya.

Sesuai dengan pernyataanya yang terdapat dalam buku Fear and Trembling “God is the only one who does not grow tired of listening to men” bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang tidak pernah kesal mendengarkan manusia.

Adapun contoh manusia religius menurut Kierkegaard yaitu Abraham, ia menuruti apa yang diperintahkan oleh Allah untuk membunuh anaknya yang bernama Ishak. Meskipun dalam norma dan etika dalam masyarakat hal tersebut adalah perbuatan yang jahat, tetapi Abraham menggunakan iman yang dimilikinya untuk tetap taat kepada perintah Allah.

Memang untuk mencapai tahap religius ini tidak lah mudah, untuk mencapainya harus melalui kesengsaraan dan dilakukan secara terus menerus. Pada tahap religius ini manusia tampil dengan kesejatiannya sebagai pribadi yang tunggal menghadap Tuhan.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa menurut Kierkegaard manusia yang autentik yaitu manusia yang semakin membutuhkan Tuhan dalam hidupnya. Manusia yang berada di tahap religius ini lah yang dianggap Kierkegaard sebagai manusia autentik. Karena manusia religius menjadikan keimanannya kepada Allah sebagai landasan untuk membuat pilihan dan keputusan bagi tindakannya berdasarkan kehendak dalam subyektivitas atau kedalaman diri individu.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Siti Nur Asiyah
1 posts

About author
Mahasiswi Aqidah dan Filsafat Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…
Falsafah

Pembelaan Muslim Terhadap Filsafat

7 Mins read
Pendahuluan Tulisan ini sayangnya tidak berkaitan dengan aspek mana pun dari Pilpres (Pemilihan Presiden) 2024. Untungnya, Pilpres dan Pemilu hanyalah satu aspek…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *