Perspektif

Klepon dan Tata Cara Membakar Kita

3 Mins read

Sepertinya, makhluk bernama manusia diciptakan untuk memiliki sifat dasar yang gegabah, gampang terpancing, sekaligus reaksioner—yang acap berada pada tingkat lanjut dan kini mulai mencemaskan. Kendati tesis ini belum sepenuhnya benar, tetapi dalam perkembangannya, patut dijadikan pijakan awal.

Pada tahap selanjutnya, mulai muncul gagasan yang dinamai sebagai “masyarakat sumbu pendek”—suatu entitas warga yang mudah sekali terbakar bahkan oleh sebab perihal yang masih simpang siur dan dengan derajat validitas yang demikian rendah.

Ramai-ramai Soal Klepon

Sekira dua hari ini, masyarakat informasi diramaikan dengan topik, yang, sesungguhnya terlalu remeh-temeh dan oleh karena keremehtemehannyalah orang ramai menjadi tertarik untuk membincangkannya—jika tidak memperdebatkannya. Lihatlah lalu lintas pergerakannya di media sosial, klepon menjadi topik pembicaraan!

Di antara kita mungkin ada yang sempat berpikir: Betapa hal remeh-temeh kadang menarik juga dibicarakan dengan cara yang serius. Suasana riuh akhirnya terjadi seiring dengan maraknya unggahan tentang klepon ini dibumbui dengan kalimat-kalimat dengan diksi rasialis dan sarkasme. Pada akhirnya, terbakarlah lini massa.

Jadi, awal mulanya, di Facebook sedang ramai dibincangkan perihal unggahan mengenai klepon tidak Islami. Bergambar latar kue klepon hijau lengkap dengan taburan parutan kelapa di sekelilingnya. Pada keterangan di bagian bawah, tertulis jelas: Kue klepon tidak Islami, lalu keterangan tambahan yang persuasif, “Yuk tinggalkan jajanan yang tidak Islami dengan cara membeli jajanan Islami, aneka kurma yang tersedia di toko syariah kami… Abu Ikhwan Aziz”. Masyarakat informasi membaca lemparan topik tentang klepon tidak Islami ini dengan beragam reaksi, tapi mayoritas emosional. Celakanya, dari yang emosional ini umumnya nircek kebenaran.

Yang menjadi soal, poster yang tersebar itu tidak disertai dengan sumber yang jelas, misalnya toko syariah yang dimaksud, baik nama maupun lokasinya. Hanya, di sana tertera “nama” yang barangkali dapat dijadikan pedoman awal: Abu Ikhwan Aziz. Celakanya, akun dengan nama ini tidak dapat ditemukan di lini media sosial manapun.

Baca Juga  Iman kepada Alam: Mandat Tuhan untuk Manusia

Artinya, satu kejanggalan patut disematkan atas peristiwa ini. Bukankah sudah lumrah ada akun anonim di media sosial? Baiklah, siapapun akan menuju kesimpulannya sendiri. Tetapi sampai di sini, hal yang sulit dimungkiri: Sesungguhnya, alam pikiran warga yang mengalir dan memenuhi seisi otak sehingga memengaruhi tindakan mereka adalah produk dari media (sosial), sehingga oleh karenanya, alat produksi sejarah primer berada pada genggaman media (sosial)—dan tentu saja lini massa lainnya.

Media Digital Sebagai Medan Pertempuran Baru

Pada gilirannya, kehadiran media digital semakin menjadi ruang di mana agregasi ide dan gagasan para warganya yang berkerumun akan diadu di sana. Pola-pola pertarungan yang oleh Jenkins (2006) disebut sebagai “lebih dari sekadar pergeseran teknologi” ini, bukan hanya perkara pemindahan medium interaksi sosial belaka.

Lebih dari itu, fenomena ini bahkan telah berada pada titik revolusi yang “mengubah hubungan antara teknologi yang sudah ada, industri, pasar, genre, dan khalayak”. Dan hasilnya cukup jelas: Medan pertempuran kini telah berpindah medium ke forum-forum virtual. Kendati sudah sejak lama terjadi, nyaris tiap ada topik baru yang dilempar, hasilnya kerap cukup membuat suasana panas lahir batin. Dan untuk inilah keramaian itu umumnya diciptakan.

Tesis ini dikuatkan oleh temuan Hirst (2011). Internet, katanya, tidak syak lagi memungkinkan munculnya beragam berita dan sudut pandang, yang meskipun media arus utama menjadi ruang dominan tempat mereka yang berkepentingan menggunakan kuasanya di media virtual, namun media sosial tetap menjadi medium yang digemari warga digital senyampang masing-masing dari mereka dapat mengendalikan sepenuhnya—warganet adalah media bagi diri mereka sendiri. Maka, kekuatan media partisipatoris yang bergerak dari bawah ini menjadi semakin lazim. Sampai di titik ini, kuasa media sosial akan terus berlanjut.

Baca Juga  Salah Memaknai Jihad, Rusaklah Citra Islam

Riwayat Objek Foto “Klepon tidak Islami”

Ismail Fahmi, Founder Drone Emprit and Media Kernels Indonesia membuat satu paparan menarik mengenai topik ini melalui akun twitternya, @islmailfahmi. Ia mengawali pembedahannya dengan menyebut bahwa objek foto yang digunakan oleh “iklan” klepon-tidak-Islami itu memiliki kesamaan dengan gambar di Pinterest.

Sehingga dengan demikian, jika memang “iklan” itu memang sungguh dibuat oleh sebuah toko yang sungguh ada, maka, “toko” itu telah memuat objek tanpa izin. Lalu, lanjut Fahmi, situs Yandex ternyata menemukan foto klepon yang digunakan dalam “iklan” itu memiliki derajat kemiripan yang tinggi dengan salah satu situs di Blogspot. Bahkan, 7 sumber dinyatakan mirip oleh TinEye. Jadi, foto ini ternyata sudah banyak digunakan oleh beberapa situs.

Mula-mula, mengutip dari @ismailfahmi, perbincangan ini berkembang di situs jejaring sosial Facebook, kemudian pelan-pelan berlanjut di Twitter—hingga mejadi trending topik, lalu mediumnya berkembang ke situs berita daring. Hingga pada akhirnya, tren pembicaraan mengenai klepon tidak Islami menjadi ramai di Instagram. Mayoritas unggahan dengan topik serupa menggunakan narasi dengan nada nyaris seirama: Menunjuk para kadrun sebagai biang dengan diksi, “Kadrun kalo dibiarin makin ngelunjak”.

Klepon yang Berhasil Memecah Belah Umat

Pada akhirnya, warganet kembali—seperti biasa, terbelah. Pihak pertama menuduh, topik klepon tidak Islami ini adalah lemparan dari mereka yang tidak suka dengan Islam (syariat) sehingga peredaran berita ini sesungguhnya adalah upaya memecah belah umat oleh sebab fitnah dan adu domba dari pembuat poster klepon tidak Islami. Narasi klepon tidak Islami, bagi sebagian besar dari mereka, sengaja diciptakan agar umat Islam dituduh anti-nusantara—klepon adalah penganan khas Indonesia, dengan keterangan lanjutan: Kurma lebih Islami dan anjuran untuk membeli di toko syariah. Kita tahu, kurma bukanlah buah asli Indonesia.

Baca Juga  Hijrah yang Islami: Hijrah dari Keburukan Menuju Kebaikan

Sedang di pihak seberang, klepon tidak Islami merupakan upaya para kadrun (baca: kadal gurun)—sebutan bagi mereka yang selama ini kerap menyuarakan Islam (syariat) dengan gigih di Indonesia—untuk mengislamkan Indonesia. Dengan membangun sentimen negatif terhadap klepon dan menempatkan kurma pada posisi sebaliknya, para kadrun dituduh berupaya untuk memproduksi informasi bahwa sudah tiba saatnya untuk meninggalkan klepon yang tidak Islami dan beralih ke kurma, jajanan yang Islami.

Ujung tulisan ini ingin mengutarakan satu konklusi: Sesekali ketidakwarasan perlu diberi perhatian—misalnya dimulai dari perihal remeh-temeh. Pada akhirnya, kita semua yang akan terbakar—hingga hangus. Dengan tata cara yang remeh-temeh.

Editor: Yahya FR

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds