Tajdida

Apapun Kamu Sekarang, Kembalilah ke Muhammadiyah!

8 Mins read

Muhammadiyah–Pagi ini, Senin 27 Juli 2020, saya mendapatkan kabar gembira dari Shah Reza.

“Alhamdulillah berkat doa sampeyan 99% saya sudah sehat mas. Sisa batuk sedikit lagi. Sampeyan & keluarga gimana mas kabarnya? Semoga selalu sehat selamat dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA”.

“Alhamdulillah… kami sehat semua. Hasil test swab terakhir sudah negatif kan?”.

“Alhamdulillah negatif juga mas, tinggal jaga kesehatan aja lagi. Terimakasih banyak jazakallah khair Mas Qosdus atas segala doa dan support-nya yang luar biasa”.

“Sama-sama mas. Muhammadiyah Jatim minggu ini kehilangan 2 tokohnya: Pak Jauhar Gresik dan Pak Sulardi UMM. Pak Jauhar Arifin termasuk tiga Boss Besar Muhammadiyah di Gresik, setelah H. Bisri dan Pak Nadjikh. Sebelumnya, UMM juga habis berduka atas meninggalnya Pak Sulardi. Beliau salah satu Ahli Hukum Tata Negara yangg dimiliki Muhammadiyah”…

Innalilahi wa Inna ilaihi roojiuun… Allohummaghfirlahum warhamhum wa aafiihi wa’fuanhum..

Kisah Bonek (Bondo Nekad) ke Banjar

Ketika berlangsung agenda besar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), biasanya jauh-jauh hari aku sudah persiapan untuk dapat menghadirinya dengan baik. Dari persoalan dana, tiket, hingga agenda apa yang mesti diangkat,  biasanya sudah kami persiapkan. Namun, saat Tanwir IMM tahun 1999 di Kota Banjarmasin, aku masih saja berkutat dengan agenda persiapan deklarasi Pendirian PAN se-Malang Raya. Di mana, aku didapuk menjadi Sekretaris Komite Pembentukan dan Pendirian PAN Kota Malang.

Hari itu, aku terburu-buru segera berangkat ke Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya untuk naik kapal menuju Banjarmasin. Tanpa persiapan tiket, aku bonek saja memasuki kawasan ruang tunggu penumpang. Sial, rupanya loket penjualan tiket sudah ditutup. Penumpang kapal sudah hampir semuanya naik ke atas kapal.

Bersamaku ada dua orang calon penumpang yang kebingungan karena tidak memiliki tiket. Mereka sebelumnya telah berusaha negosiasi dengan petugas pelabuhan namun hasilnya nihil.

Melihat situasi genting menjelang diangkatnya tangga kapal. Bergegas aku mengajak dua orang calon penumpang tersebut bondo nekad masuk area keberangkatan melalui jalan keluar masuknya kendaraan pengangkut bongkar muat isi kapal.

“Tunggu Pak…” seruku kepada petugas kapal yang hendak menaikkan tangga kapal.

“Ayo cepat naik, Mas” ujar petugas kapal tersebut.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, kami bertiga segera melompat menaiki tangga kapal yang sudah naik sebagian dari atas lantai dermaga.

“Mana tiketnya?” tanya petugas kapal tersebut.

“Kami tadi tidak sempat beli Pak. Loket sudah tutup. Kami akan segera lapor dan membelinya kepada petugas kapal” jawabku spontan.

“Wah tidak bisa. Kalian harus membayar dua kali lipat” kata petugas tersebut dengan galaknya.

“Tenang Pak, saya pasti bayar berapapun. Asalkan kami bisa berangkat sekarang” sela kawan senasibku santai.

Alhasil, kami bertiga akhirnya dapat ikut berlayar menuju Banjarmasin.

Ada Jalan Keluar

Siang itu, saat kapal mulai berlayar, aku duduk tepekur di atas dek kapal. Aku merenungkan betapa di saat-saat yang kritis, selalu saja ada jalan keluar yang sebelumnya bahkan tidak terbayangkan olehku.

Dengan uang saku yang sangat pas-pasan itu, datang pertolongan dari seorang kawan seperjalanan yang suka rela membayarkan kekurangan tiketku. Dia Karyawan Lepas Pertamina, orang asli Purworejo Jawa Tengah yang bekerja di Pengeboran Minyak di daerah Batulicin. Dia sangat berterimakasih karena berhasil naik kapal bersamaku. Dia tidak ingin terlambat sampai di lokasi di mana dia mencari nafkah untuk keluarganya.

Sementara, kawan seperjalanan kami yang satunya lagi tidak kalah gembiranya. Dia memaksa pulang ke Banjar, setelah mendapat kabar Ibunya sedang sakit keras.

Baca Juga  Anak Kiai Jombang Mendirikan NU dan Muhammadiyah

Aku bersyukur, hari itu aku dapat memastikan untuk segera bergabung dengan kawan-kawan IMM yang telah lebih dulu tiba di lokasi acara Tanwir.

Keesokan harinya menjelang subuh, kapal yang kami naiki mulai bersandar di Pelabuhan Banjar. Kami-pun beriringan menuruni kapal. Kami langsung menuju musala untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah.

Usai shalat Subuh, aku bersama kawan seperjalanan yang Karyawan Pertamina itu bergegas menaiki angkutan menuju terminal kota Banjarmasin. Di tengah perjalanan, aku lebih dahulu turun karena telah sampai di kawasan Kampus IAIN Antasari Banjarmasin.

“Udah Mas turun aja, biar sekalian nanti saya yang bayar” ujarnya ramah sembari menyampaikan selamat bertanwir kepadaku.

Aku-pun segera bergegas mencari alamat sekretariat IMM Banjar. Namun, rupanya sekretariat telah kosong. Mungkin kawan-kawan IMM Banjar, seperti Muhammad Irfan atau Badrul Ain Sanusi yang Ketum dan Sekum DPD IMM Kalsel itu semuanya telah berada di lokasi Tanwir. Pantas saja sejak di Pelabuhan, telpon kantor sekretariat IMM tidak ada yang mengangkatnya.

Kenangan Bersama Allahuyarham HM. Asy’ari

Dengan langkah gontai aku kembali berjalan menyusuri keremangan pagi. Sejenak aku berhenti di sebuah telepon umum koin yang ada di pinggir jalan raya. Aku buka buku address-ku. Kulihat nama HM. Asy’ari. Aku segera memencet nomor teleponnya…

“Assalamualaikum….” terdengar jawaban diujung telepon.

“Wa alaikum salam… Bisa bicara dengan Pak Asy’ari?” tanyaku memulai pembicaraan.

“Saya sendiri mas. Ini dengan siapa ya?”.

“Mohon maaf Pak telah mengganggu pagi-pagi begini. Ini saya Qosdus, dari Malang”.

“Ohh… anda seniornya Reza. Kemarin Reza sudah mengabarkan tentang rencana kedatangan anda di Banjar. Anda sekarang lagi dimana?”.

“Saya menelpon Bapak dari telepon koin di depan apotek…”

“Oh apotek itu ya?”.

“Iya Pak, betul. Ini tadi saya mampir di markas teman-teman IMM tapi kosong semua. Mungkin mereka semua sudah berada di lokasi acara”.

“Baik kalo begitu, anda tunggu saja di situ. Segera saya jemput anda kesana ya”.

“Waduh jangan Pak. Jadi merepotkan”.

“Sudah tunggu saja. Saya segera kesana”.

Tidak sampai lima menit, Pak Asy’ari telah tiba di tempatku menunggu.

“Mas Qosdus ya…”, tegurnya.

“Iya Pak, saya”.

“Ayo naik, rumah saya dekat saja dari sini”.

Pak Asy’ari menyuruhku naik motor bebek yang dikendarainya. Beliau memboncengku membelah pagi hingga memasuki kompleks Kampus IAIN Antasari Banjarmasin.

Motor berhenti di depan sebuah bangunan rumah kayu yang sudah cukup tua. Namun, terlihat masih sangat kokoh.

“Mari Mas silahkan masuk. Anggap aja rumah sendiri”.

“Ini kamar buat Masnya istirahat ya. Ini handuk dan sabunnya. Jika Masnya ingin mandi, kamar mandinya di sebelah itu” ujar Ibu Reza sangat ramah penuh perhatian.

“Kami hanya berdua saja di sini. Anak-anak semuanya merantau sekolah keluar kota” Pak Asy’ari menambahkan.

“Terima kasih sekali Pak Bu. Alhamdulillah bisa sowan dan menyambung silaturahmi dengan Bapak Ibu. Ini pertamakalinya saya menginjakkan kaki di Kota Banjar”.

“Mohon izin saya mau mandi dulu biar badan seger kembali”.

Sambutan Hangat

Saya sangat bersyukur mendapatkan sambutan hangat dari kedua orang tua Shah Reza, kader IMM Renaissance Fisip UMM yang aku kenal sangat tawaddhu’ itu.

“Mari Mas Qosdus kita sarapan dulu. Nanti saya antarkan anda ke Gedung Suryansyah tempat dilangsungkannya Tanwir IMM”.

Meja makan tampak penuh oleh makanan dengan menu khas Banjar yang sangat mengesankan.

Baca Juga  Beda itu Tak Masalah, Mari Rayakan Perbedaan Pendapat!

“Wahh luar biasa sekali ini Bu masakannya”.

“Semoga suka ya mas. Kami sangat senang, Reza di sana mau aktif IMM dan belajar berjuang menempa dirinya dengan pengalaman hidup yang baik. Titip Reza ya Mas. Ajak dia untuk aktif di Muhammadiyah”.

Usai sarapan, Pak Asy’ari dengan sigap kembali menggunakan motornya, mengantarkanku ke arena Tanwir.

Drs. HM. Asy’ari, MA yang Baik Hati

Tiba di lokasi Tanwir, beberapa panitia lokal yang melihatku turun dari motor bergegas menghampiri kami di halaman parkir. Agak ge-er diriku apakah mereka hendak menyambutku? Padahal mereka belum mengenalku. Rupanya mereka menyambut kehadiran Pak Asy’ari, seorang Mantan Rektor IAIN Antasari 1984-1992, yang terkenal sangat bersahaja dan rendah hati.

Drs. HM. Asy’ari, MA. adalah termasuk generasi pertama Mahasiswa/Dosen IAIN yang dikirim oleh Prof. Mukti Ali (Menteri Agama RI 1970-an) untuk melanjutkan kuliah Islamic Studies di Mc. Gill University Canada.

Menyusul berikutnya di tahun 1980-an generasi Prof. Ahmad Jainuri (UIN Sunan Ampel Surabaya), hingga Prof. Sudarnoto Abdul Hakim (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

Aku berjalan beriringan dengan Pak Asy’ari memasuki Gedung Suriyansyah.

Irfan, Ketum DPD IMM Kalsel heran dan bertanya-tanya bagaimana ceritanya sehingga saya bisa diantarkan oleh Pak Asy’ari?

Sebelum meninggalkan saya, Pak Asy’ari berpesan agar saya mengabarkan kapan jadwal kapal kembali ke Surabaya, dan mempersilahkan saya mampir kembali ke rumah Beliau di kompleks IAIN Banjar.

“Baik Pak. Terima kasih banyak telah diantar hingga ke lokasi acara Tanwir”.

“Santai saja Mas. Selamat Tanwir ya. Jangan lupa kasih kabar kalo sudah dapat tiket pulangnya nanti”…

Tanwir IMM 1999 di Gedung Suriansyah Banjarmasin ini berlangsung cukup sengit dan panas. Beberapa DPD mengusulkan segera digelarnya Muktamar yang dipercepat. Keputusan Muktamar IMM di Medan tahun 1997 menetapkan penambahan masa periode DPP IMM menjadi tiga tahun.

Namun, banyak aktivis progresif IMM menilai masa periode tiga tahun tersebut terlalu lama. Mereka mengusulkan agar periodisasi DPP IMM kembali menjadi dua tahun seperti sebelumnya. Hal ini penting untuk lebih mengakomodasi percepatan tampilnya sosok-sosok calon pemimpin muda Muhammadiyah di masa depan. Terlebih dengan mencuatnya gagasan Hajriyanto Yahya Thohari tentang pentingnya “pembeliaan pemimpin” di tubuh Muhammadiyah.

Kenangan tentang Pak Asy’ari

Ada catatan menarik mengenai sosok allahuyarham Pak Asy’ari. Sengaja saya kutipkan dari tulisan Mujiburrahman tentang sosok Pak Asy’ari. Artikel tersebut telah tayang di banjarmasinpost.co.id dengan judul Asy’ari dan Einstein.

Kamis malam, 5 Desember 2013, sekitar pukul 19.00 WITA, Drs HM Asy’ari MA, mantan Rektor IAIN Antasari dua periode (1982-1990), meninggal dunia dalam usia 79 tahun. Esok harinya, jenazah disalatkan di Masjid al-Mujahidin, Belitung, dan sore harinya, dimakamkan di Banjarbaru.

Tentu banyak kenangan yang ditinggalkan almarhum. Rektor IAIN Antasari, Prof Dr HA Fauzi Aseri MA, dalam sambutannya menjelang salat jenazah mengatakan, Beliau adalah pemimpin yang hidup sederhana, disiplin, dan banyak berjasa dalam usaha memajukan umat. Sebelum meninggal, Beliau mewakafkan sebidang tanah, dan berharap di situ akan dibangun tempat pendidikan Al-Qur’an.

Kesederhanaan Pak Asy’ari memang tampak bagi siapapun yang mengamati kehidupannya. Meski mantan rektor, ia tak pernah malu pulang-pergi menggunakan sepeda motor tua, merek lama.

Ia dan keluarga tinggal di rumah di dalam gang kecil, yang tak bisa dilewati mobil. Pakaiannya pun sederhana. Ia lebih suka memakai batik lengan pendek, daripada kemeja bermerek.

Kesederhanaan hidupnya itu mengingatkan saya pada Dr Simuh, Rektor IAIN Sunan Kalijaga pada 1990-an, yang pulang pergi ke kampus menggunakan sepeda. Ketika Pak Simuh jadi rektor, dia tetap naik sepeda ke kampus, hingga akhirnya memancing demonstrasi mahasiswa. Sepeda Pak Simuh mereka gantung di pohon! Mereka minta agar ia mau memakai mobil dinas. Pak Simuh akhirnya menyerah.

Baca Juga  Utamakan Sedekah daripada Kurban: Mengapa Muhammadiyah Begitu?

Yang Membuat Iri dari Pak Asy’ari

Selain kesederhanaan, yang membuat saya iri pada Pak Asy’ari adalah usianya yang relatif panjang.

Masalah ini pernah saya obrolkan dengan Pak Asy’ari. “Saya sungguh iri dengan Bapak. Bapak masih segar dalam usia lanjut. Saya ingin sekali diberkahi umur seperti Bapak. Apa rahasianya?”

“Syaratnya sederhana. Jangan stres menjalani hidup ini. Santai saja, mengalir seperti air” katanya.

“Kalau kebetulan jadi pejabat, saat berhenti, jangan post-power syndrom, tak siap mental jadi orang biasa” tambahnya.

Lain waktu, saya bertemu dia lagi. Seperti biasa, dengan senyumnya yang ramah, dia menyapa dan kami berjabat tangan erat. “Sehat pak?” tanya saya.

“Alhamdulillah” katanya.

“Moga kelak saya juga berusia panjang seperti Bapak,” kata saya.

Pak Asy’ari langsung menimpali, “Tidak hanya usia panjang, tapi usia panjang dan bermanfaat. Kalau usia panjang saja, tapi tak berbuat apa-apa, untuk apa?”.

Di atas semuanya, Pak Asy’ari tampaknya meyakini bahwa hakikat hidup ini adalah bergerak. Seperti dikatakan dalam pepatah Arab: fi al-harakah, al-barakah (dalam gerak itu ada berkah).

Uniknya, inilah pula nasihat fisikawan tersohor, Albert Einstein, kepada anaknya, “Hidup ini laksana mengendarai sepeda. Agar kau tetap seimbang, kau harus terus bergerak!”.

Kembalilah kepada Muhammadiyah

Siang itu, usai kami kelelahan menyusuri Sungai Barito untuk merasakan nikmatnya kuliner di Pasar Terapung Banjar yang kesohor, saya mengabarkan kepada Pak Asy’ari mengenai jadwal kapal kami kembali ke Surabaya. Beliau kembali meminta saya mampir ke rumahnya.

Keesokan harinya, dengan diantar oleh Badrul Ain, saya pun pamitan ke rumah Pak Asy’ari. Beliau beserta Ibu Reza kembali menyambut kami dengan penuh kehangatan seperti anaknya sendiri.

Ibu Reza memberikan dua buah tas kepadaku.

“Titip yang ini sedikit oleh-oleh buat teman-teman dan sekedar camilan buat di kapal. Dan yang ini titip untuk Reza ya Mas. Terima kasih sudah mau mampir. Jangan lupa kalo ke Banjar lagi mampir ya.”

“Wahh. Saya yang terima kasih sekali ini Bu”.

Sebelum pamit, Pak Asy’ari sempat menghadiahiku dua buah buku karya tulis Beliau. Sebuah tradisi silaturahim yang luar biasa dan patut diteladani oleh kita semua, dimana seorang Senior menghadiahi Juniornya dengan buku-buku. Saya sangat bersyukur sempat mengenal Pak Asy’ari dan keluarganya walaupun hanya sekilas.

 “Tolong jangan pernah bosan ajak itu si-Reza untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan dakwah dan Muhammadiyah”.

“Insya Allah Bapak-Ibu, semoga Mas Reza selalu semangat dan dapat membagi waktunya dengan baik antara dunia kuliah dan dunia aktivis”.

Menjelang Maghrib, kapal yang kami naiki berlayar meninggalkan Kota Banjar. Ada setangkup asa yang membumbung tinggi.

Usai Reformasi, kesadaran politik bangsa Indonesia meningkat pesat. Kebangkitan politik ummat Islam juga tengah mekar merona.

Di saat saya sedang mempersiapkan Pendirian dan pembentukan PAN di Kota Malang. Shah Reza tengah manjalani babak kisah politiknya dengan menjadi Sekretaris Partai Keadilan (PK) Kecamatan Karang Ploso, dimana Muazar Habibie menjadi Ketuanya.

Kisah yang akan terlalu panjang ditulis dan diuraikan kembali.

Namun, apapun itu jangan lupa untuk kembalilah kepada Muhammadiyah!!!

Editor: Yahya FR
Avatar
11 posts

About author
Santri Pengelana kelahiran Lamongan ini telah lama menyepikan dirinya dari dunia jurnalisme. Ia yang merupakan Kandidat Doktor Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah & Perdesaan Sekolah Pascasarjana IPB ini, meniti karir sebagai Konsultan berbagai Project Bidang Pertanian, Perikanan dan Kelautan, serta Program-program Pengembangan Kawasan Perdesaan dan Kawasan Perbatasan Republik Indonesia. Ia mengasah jiwa leadershipnya sejak IPM Sekolah Kader Lamongan. Pernah menjabat Ketua Umum DPD IMM Jawa Timur 2002-2004. Dan menjadi Wakil Sekretaris Bidang Kebijakan Publik LHKP PP Muhammadiyah 2010-2015. Kini, ia aktif sebagai Penasehat PRM Legoso-Ciputat.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds