Atha’ bin Abi Rabah dahulunya merupakan seorang budak dari Habasyah. Ia adalah budak milik seorang wanita penduduk Makkah bernama Habibah binti Maisaroh bin Abi Hutsaim.
Ia membagi waktunya menjadi tiga bagian. Bagian yang pertama, ia membagi waktunya dengan sang majikan, memenuhi hak-hak dari majikannya. Kemudian, ia membagi waktunya dengan Rabbnya. Tenggelam dalam kekhusyukan beribadah dan ikhlas karena Rabbnya. Dan terakhir, ia membagi waktunya dengan ilmu.
Atha’ bin Abi Rabah Setelah Merdeka
Waktunya bersama ilmu, ia gunakan dengan cara mendatangi sahabat-sahabat Nabi yang masih hidup untuk meneguk telaga ilmu yang luas dari mereka. Di antara para gurunya adalah Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, dan para sahabat lainnya.
Ad-Daruqutni mengatakan bahwa Atha’ pernah berkata kepadanya bahwa ia telah bertemu dan belajar kepada tidak kurang dari dua ratus sahabat Nabi Shalallahu’ Alaihi Wasallam.
Karena ketakwaannya kepada sang Rabb Ilahi dan ketekunannya dalam meneguk telaga-telaga ilmu dari para sahabat, majikannya memutuskan untuk memerdekakannya. Dengan harapan dapat memberikan manfaat bagi kaum muslimin saat itu.
Sejak dimerdekakannya, Atha’ bin Abi Rabah menjadikan Masjidil Haram sebagai tempat tinggalnya, untuk bermalam, untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan juga untuk menimba ilmu dari para sahabat.
Tercatat bahwa Atha’ bin Abi Rabah tinggal di Masjidil Haram selama 20 tahun. Dikisahkan, suatu ketika Abdullah bin Umar berkunjung ke Masjidil Haram untuk melaksanakan ibadah umrah. Orang-orang berbondong-bondong menghampiri beliau untuk menanyakan persoalan agama dan meminta fatwa.
Beliau kemudian berkata, “Sungguh aku heran kepada kalian wahai penduduk Makkah, mengapa kalian mengerumuni aku untuk bertanya tentang masalah-masalah tersebut, padahal di tengah kalian ada Atha’ bin Abi Rabah?”
Kefaqihan dalam ilmu agama telah mengantarkan Atha’ kepada derajat yang agung. Dengan ilmu pula ia membimbing kaum-kaum muslimin untuk mengajak kepada ‘amar ma’ruf nahi munkar.
Mencapai Puncak dalam Hal Agama dan Ilmu
Di dalam buku Shuwaru min hayah at Tabi’in yang ditulis oleh Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya dituliskan bahwa Atha’ bin Abi Rabah mencapai puncak dalam hal agama dan ilmu karena dua hal, yaitu:
Pertama, ia mampu mengendalikan jiwanya dari hawa nafsu, sehingga ia tidak memberikan peluang untuk sibuk dalam urusan yang tidak berguna baginya.
Kedua, ia mampu memanage waktunya, sehingga tidak membuangnya secara sia-sia, seperti bermain dan bercakap yang tak perlu, maupun perbuatan tak berguna lainnya.
Selain kisah di atas, dikisahkan pula bahwa para penguasa pun segan terhadapnya dan menghormatinya. Dikisahkan di buku yang sama, saat sepuluh hari terakir bulan Dzulhijjah 97 H. Saat itu, Makkah, Masjidil Haram dibanjiri oleh lautan manusia untuk memenuhi panggilan Allah.
Dengan Ilmu, Para Budak Bisa Melampaui Derajat Para Raja
Sulaiman bin Abdul Malik, Khalifah kaum muslim saat itu sedang bertawaf di Masjdil Haram. Ia bertawaf dengan meninggalkan pakaian agungnya, tanpa alas kaki, tanpa penutup kepala. Hanya memakai pakaian ihram. Tidak ada perbedaan antara dirinya dengan rakyat biasa.
Setelah usai melaksanakan tawaf, sang Khalifah menghampiri seseorang kepercayaannya dan bertanya di manakah keberadaan temannya (Atha’ bin Abi Rabah). Lalu, temannya menjawab, “Di sana, beliau sedang berdiri untuk salat.”
Maka Khalifah diikuti oleh kedua putranya menghampiri tempat yang dimaksud. Saat sampai di tempat yang dimaksud, Khalifah sampai rela duduk bersama banyak orang lainnya untuk menunggu Atha’ selesai salat.
Setelah Atha’ menyelesaikan salat, lantas Khalifah langsung menghampirinya dengan mengucapkan salam.
Khalifah bertanya kepadanya perihal manasik haji, rukun-rukunnya, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Atha’ menjawab semua pertanyaan sang Khalifah dan menjelaskan secara terperinci dengan berdasar hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Setelah dirasa cukup dengan pertanyaannya, Khalifah mendoakan agar ia diberi balasan yang lebih baik. Setelah itu, Khalifah undur diri, diikuti oleh kedua putranya untuk menuju tempat sa’i.
Di tengah perjalanan menuju sa’i, kedua putra beliau mendengar seruan seseorang “Wahai kaum muslimin! Tidak ada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha’ bin Abi Rabah. Jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih.”
Karena sebelumnya anak sang Khalifah tidak mengetahui bahwa yang tadi ia dan ayahnya hampiri adalah Atha’, anak sang Khalifah kemudian menoleh kepada ayahnya dan bertanya mengapa ia dan ayahnya tidak meminta fatwa kepada Atha’ bin Abi Rabah, tapi malah meminta fatwa kepada seorang tua Habsyi dan tidak memberi prioritas kepada ayahnya yang merupakan Khalifah saat itu.
Ayahnya berkata “Wahai anakku, pria yang kamu lihat dan engkau melihat kami berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama Atha’ bin Abi Rabah. Orang yang berhak berfatwa di Masjidil Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas dengan bagian yang banyak.”
Kemudian ia melanjutkan “Wahai anakku.. carilah ilmu. Karena dengan ilmu, rakyat bawahan bisa menjadi terhormat. Para budak bisa melampaui derajat para raja.”
Hikmah Menuntut Ilmu
Banyak sekali hikmah yang dapat kita gali dari kisah seorang Atha’ bin Abi Rabah perihal pentingnya menuntut ilmu. Seorang Atha’ bin Abi Rabah adalah sosok yang layak kita jadikan figur, bahwa dengan ilmu derajat kita satu tingkat lebih tinggi daripada manusia lainnya.
Dengan ilmu pula, Allah mudahkan jalan bagi kita ke surga, seperti dalam hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)
Imam Syafi’i pun pernah berkata hal yang berkaitan dengan ilmu, “Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan.”
Maka dari itu, dengan adanya kisah Atha’ bin Abi Rabah yang Allah naikkan derajatnya karena ilmu, semoga kita pun termotivasi dengan kisah beliau dan semakin giat dalam menuntut ilmu.
Memang betul dengan apa yang dikatakan oleh Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik saat itu, bahwa dengan ilmu, rakyat bisa menjadi terhormat. Dan dengan ilmu pula, para budak bisa melampaui derajat para raja.
Atha’ bin Abi Rabah dikaruniai umur yang yang panjang. Ia wafat di umur 88 tahun. Ia penuhi umurnya dengan takwa dan ilmu. Ia wafat pada tahun 114 atau 115 Hijriah.
Editor: Lely N