Pernahkah kala situasi dunia terasa menghimpit kita mengucapkan atau terbesit dalam hati kalimat-kalimat tanya kepada ilahi? Pernahkah lisan atau hati kita berujar, “Ya Tuhan, mengapa harus seperti ini?”, ”Ya Rabbi, mengapa Engkau mengambil sesuatu yang kucintai?”, dan kalimat-kalimat serupa? Terdapat hikmah Perjanjian Hudaibiyah, bahwa umat Islam perlu bersabar dan bersyukur kepada Allah, tidak perlu tergesa-gesa dalam mengejar kehidupan.
Perjanjian Hudaibiyah
Singkatnya, Rasulullah dan para sahabatnya berangkat pada bulan Dzulqadah dari Madinah menuju Makkah dengan tujuan untuk umrah. Mereka berjumlah 1500 orang dengan 70 ekor unta. Selain itu, mereka berangkat dengan pakaian ihram yang menunjukkan bahwa kedatangan mereka bukan untuk berperang melainkan untuk berziarah ke Masjidil Haram. Kaum Quraisy merasa tidak menghendaki Rasulullah dan para sahabatnya melakukan ziarah, mereka terkurung dalan fanatisme jahiliyah.
Lalu, terjadilah komunikasi kedua belah pihak yang saling mengutus utusannya dalam menyelesaikan perkara tersebut. Kaum Quraisy bersikeras untuk tidak mengizinkan umat Islam memasuki Makkah dengan alasan apapun, bahkan mereka telah bersiap untuk berperang. Di sisi lain, umat Islam juga telah siap siaga untuk bertempur, meski dengan perlengkapan yang tidak memadai, karena tujuan awal mereka bukan untuk berperang. Namun dengan keimanan, mereka telah siap berjuang demi agama Allah. Mereka bahkan telah berbaiat untuk membela Rasulullah dalam Baiat Ridwan.
Kaum Quraisy justru takut dengan semangat juang seperti ini. Meskipun secara logika duniawi mereka lebih kuat dan lebih banyak, sedangkan kondisi umat Islam jauh dari kesiapan kaum Quraisy.
Akhirnya setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, kaum Quraisy mengutus Suhail bin Amr untuk menawarkan Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah menyambut kedatangan Suhail bin Amr dengan rasa gembira. Sungguh, beliau berharap keadaan tersebut berakhir tanpa pertumpahan darah, betapa jiwa beliau berharap kaum Quraisy kelak dapat melembut hatinya dan kembali ke jalan yang benar.
Muatan Perjanjian
Kedua pihak berunding cukup lama, kemudian mereka berdua sepakat agar kedua pihak melakukan gencatan senjata selama sepuluh tahun. Umat Islam juga harus menunda umrah mereka hingga tahun depan. Setiap orang Quraisy yang datang kepada beliau harus dikembalikan kepada mereka, sedangkan umat Islam yang datang kepada mereka (karena murtad) tidak harus dikembalikan kepada beliau.
Menjalin persekutuan dengan pihak lain dibebaskan selama gencatan senjata ini. Siapa saja orang-orang Arab yang ingin bersekutu dengan Muhammad maka diperbolehkan, sama halnya bagi kaum Quraisy.
Umar Keberatan dengan Hasil Perjanjian
Rasulullah akhirnya menerima Perjanjian Hudaibiyah. Meskipun bila kita cermati menggunakan logika, perjanjian itu tidak menguntungkan umat Islam dan justru memihak kepentingan kaum Quraisy. Umat Islam merasa kecewa dengan sikap Rasulullah yang terkesan lunak kepada musuh.
Hingga sahabat Umar bin Khathab RA yang masih bersempit hati menemui Rasulullah dan berkata “Wahai Rasulullah, bukankah engkau utusan Allah?” Beliau menjawab, “Ya, benar.” Umar bertanya lagi, “Kalau begitu mengapa kita menerima kehinaan dalam agama kita?” Rasulullah berkata, “Aku ini hamba Allah dan utusan-Nya, aku tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyia-nyiakan aku.”
Rasulullah menjelaskan bahwa perjanjian itu ialah bentuk kemenangan terbesar, lebih besar dari keadaan Perang Uhud dan Perang Khandaq. Bagaimana tidak, tanpa pertumpahan darah kaum Quraisy justru meminta berdamai dengan umat Islam. Secara tidak langsung, kaum Quraisy mengakui kekuatan umat Islam.
Umat Islam pun berkata, “Maha benar Allah dan Rasul-Nya, ini adalah kemenangan paling besar. Demi Allah, wahai Nabi Allah, kami tidak berpikir sebagaimana yang engkau pikirkan. Sungguh, engkau lebih tahu tentang Allah dan perintah-Nya daripada kami.”
Hikmah Perjanjian Hudaibiyah
Dalam teknis pelaksanaannya, perjanjian Hudaibah ini justru menyusahkan Kaum Quraisy. Banyak di antara umat Islam Makkah yang tertindas melarikan diri menuju Madinah, Rasulullah tentu mengembalikan umat Islam tersebut karena konsekuensi perjanjian. Alih-alih kembali ke Makkah, muslim tersebut justru melarikan diri dari pengawalan Quraisy dan menuju sebuah dusun bernama al-Ish & kemudian menghadang kafilah dagang Quraisy.
Pada periode perjanjian ini pun banyak kabilah Arab yang masuk Islam. Dengan adanya perjanjian ini Kaum Quraisy terpaksa berada pada posisi netral. Sebelumnya, kaum Quraisy ialah penghalang terbesar bagi tersebarnya Islam ke Jazirah Arab hingga dunia saat itu. Pada akhirnya Kaum Quraisy sendiri yang meminta untuk membatalkan Perjanjian Hudaibiyah tersebut. Suhail bin Amr sebagai perwakilan Quraisy dalam Perjanjian Hudaibiyah pada akhirnya pun mendapatkan hidayah Islam.
Abu Bakar ash-Shiddiq pernah berkata, “Tidak ada kemenangan yang lebih besar dari kemenangan Hudaibiyah. Namun, orang-orang pada waktu itu hanya berpikiran sempit dari apa yang disampaikan Muhammad dan Tuhannya. Manusia memang selalu tergesa-gesa, tetapi Allah tidak tergesa-gesa seperti para hamba hingga semua sesuai dengan kehendak-Nya.“
Begitulah hikmah Perjanjian Hudaibiyah, sudah selayaknya sebagai kaum muslim kita meneladani para generasi terbaik dahulu untuk bersabar dan bersyukur. Kita perlu mengambil pelajaran dari interaksi Rasulullah dengan para sahabatnya dalam menyikapi Perjanjian Hudaibiyah, meskipun pada pukulan pertama umat Islam bersempit hati dengan adanya perjanjian tersebut.
Namun, akhirnya umat Islam menerima perjanjian tersebut dengan bersabar dan bersyukur. Bahkan mereka menyaksikan terbukanya hikmah Perjanjian Hudaibiyah di kemudian hari. Selain itu meski di awal umat Islam merasa sempit hati, namun mereka tetap bersabar dan bersyukur kepada Allah dan Rasul-Nya.
***
Jadi, bagi kita yang menghadapi persoalan dunia di zaman ini, sudah sepatutnya kita berikhtiar untuk bersabar dan bersyukur. Tidak pantas bagi kita yang mendapat kesempitan rezeki lantas berkhianat pada Ilahi. Tidak pantas bagi kita yang kehilangan kerabat yang dicinta lalu menghardik ketetapan Sang Pencipta.
Tidak pantas bagi kita yang mendapat sesuatu yang tak cocok lantas berbuat durhaka kepada Tuhan, bahkan hingga mengakhiri kehidupan (naudzubillah). Tidak pantas bagi kita untuk tergesa-gesa pada kehendak Tuhan, sebab Dia Tuhan yang tidak pernah keliru dalam menentukan sesuatu bagi hamba-Nya. Dia adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
*) Disadur dari buku ‘Muhammad Sang Yatim’ karya Prof. Muhammad Sameh Said.
Editor: Shidqi Mukhtasor/Nabhan