Perspektif

Masa Lalu, Bagaimana Sikap Kita Seharusnya?

3 Mins read

Bila kita menengok sosial media yang tengah naik daun saat kini, kita akan menemukan fitur arsip atau kenangan. Pengguna dapat menengok kembali interaksi masa lalu yang pernah dilakukan di sosial media tersebut. Nampaknya platform media sosial begitu memahami bahwa fitur arsip akan menjadi magnet bagi netizen.

Kisah Masa Lalu dalam Al-Qur’an

Memang, masa lalu begitu menarik untuk dikulik, baik itu pengalaman manis, ataupun pengalaman pahit dalam kehidupan. Bahkan, bila kita menengok kitab suci Al-Qur’an, kita akan menemukan banyak sekali kisah masa lalu. Kisah itu bukan hanya masa lalu bagi umat era sekarang seperti kita, namun sejak zaman Rasulullah ﷺ,  kisah tersebut sudah menjadi masa lalu.

Dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah ﷻ menjelaskan gambaran masa depan manusia setelah kematian hingga keadaannya di hari akhirat sebagai motivasi. Selain itu, Allah ﷻ juga mengajak kita untuk menengok kejadian-kejadian di masa lalu.

Masa lalu akan tampil sebagai sarana pembelajaran yang luar biasa hebat bagi umat manusia. Bukankah Allah ﷻ mengisahkan bagaimana dahulu kaum Tsamud dan Ad telah Allah ﷻ binasakan karena kedurhakaannya?

Allah ﷻ juga menceritakan buah kesabaran dari seorang Nabi Yusuf as., kemudian kisah ketika Ia menyelamatkan sekelompok pemuda yang beriman ke dalam gua, juga peristiwa di kala Nabi Musa as. dengan bantuan Allah ﷻ menyelamatkan Bani Israil dari kekejaman Fir’aun, dan masih banyak kisah masa lalu lainnya.

Masa Lalu Rasulullah

Lebih spesifik lagi, dalam QS. Ad-Dhuha, secara tidak langsung Allah ﷻ mengajak Rasulullah ﷺ  untuk menengok masa lalunya.

. أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ . وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ . وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَىٰ

“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu), dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk, dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (QS. Ad-Dhuha : 6-8)

Baca Juga  Belajar Produktif Menulis Dari Kh. Hasyim Asy’ari

Ibnu Katsir menafsirkan ayat keenam sebagai berikut:

”Demikian itu karena ayah beliau wafat sejak beliau masih berada dalam kandungan ibunya. Menurut pendapat yang lain, ayah beliau wafat ketika beliau baru dilahirkan. Kemudian ibunya (yaitu Aminah binti Wahb) wafat pula saat beliau berusia enam tahun. Sesudah itu beliau berada dalam pemeliharaan kakeknya (yaitu Abdul Muthalib) hingga kakeknya wafat saat beliau masih berusia delapan tahun.

Kemudian, beliau dipelihara oleh pamannya yang bernama Abu Thalib, yang bersikap terus-menerus melindunginya, menolongnya, meninggikan kedudukannya, dan mengagungkannya, serta membentenginya dari gangguan kaumnya sesudah Allah mengangkatnya menjadi seorang rasul dalam usia empat puluh tahun.

Allah SWT memilihkan hijrah baginya dari kalangan mereka menuju negeri kaum Aus dan Khazraj, sebagaimana yang telah digariskan oleh suratan takdir-Nya yang lengkap lagi sempurna.

Ketika beliau SAW sampai di negeri mereka, mereka memberinya tempat, menolongnya, melindunginya, dan membelanya dengan jiwa dan harta mereka. Semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka semuanya. Dan semuanya itu berkat pemeliharaan dan penjagaan serta perhatian dari Allah kepada Nabi SAW.”

Tafsir Ad-Dhuha Ayat Ketujuh dan Kedelapan

Lalu, dalam menafsirkan ayat ketujuh QS. Ad-Dhuha, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat tersebut semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدى كَقَوْلِهِ: وَكَذلِكَ أَوْحَيْنا إِلَيْكَ رُوحاً مِنْ أَمْرِنا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتابُ وَلَا الْإِيمانُ وَلكِنْ جَعَلْناهُ نُوراً نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشاءُ مِنْ عِبادِنا

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepada wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami”. (QS. Asy-Syura: 52)

Baca Juga  Spiral Silence dan Matinya Kritisisme di Muhammadiyah

Kemudian pada ayat kedelapan, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa hal tersebut menceritakan kondisi Rasulullah ﷺ:

“Yakni pada mulanya kamu hidup dalam keadaan fakir lagi banyak anak, lalu Allah memberimu kecukupan dari selain-Nya. Dengan demikian, berarti Allah menghimpunkan baginya antara kedudukan orang fakir yang sabar dan orang kaya yang bersyukur, semoga selawat dan salam-Nya terlimpahkan kepadanya.”

Belajar dari Masa Lalu

Dari ketiga ayat pada QS. Ad-Dhuha tersebut, kita cermati bahwa bahasan masa lalu begitu lekat padanya, seolah Allah ﷻ memerintahkan Rasulullah ﷺ  dan seluruh umat manusia untuk mengambil pelajaran dari masa yang telah berlalu.

Begitulah Allah ﷻ memberikan pengajaran melalui Al-Qur’an, agar umat muslim memperhatikan masa lalu, baik itu masa lalu suatu peradaban juga masa lalu dirinya sendiri.

Memperhatikan masa lalu bukan berarti kita harus tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu yang tak mungkin terulang. Tengoklah masa lalu hanya untuk mengambil pelajaran darinya, agar dapat mempertahanlan kebaikan di masa lalu, dan meninggalkan keburukan yang pernah dilakukan.

Selama jantung kita masih berdetak, kita masih dapat belajar dari masa lalu untuk memperbaiki masa depan, baik dunia maupun akhirat. Sebab, bila ruh telah berpisah dari raga, maka masa lalu hanya akan menjadi penyesalan belaka.

Bukankah Allah ﷻ telah kisahkan bahwa manusia yang durhaka pada-Nya akan menyesal di neraka? Saat itu, tidak ada lagi yang dapat dilakukan selain penyesalan yang akan menambah kesakitan.

Masa Depan Adalah Milk Kita

Kini, sudah selayaknya kita belajar dari masa lalu. Kita masih bisa lebih baik dari yang dulu, seburuk apapun masa lalu yang kita lewati, kebaikan di masa depan masih dapat menjadi hak milik kita.

Baca Juga  Pandemi Covid-19 dan Lockdown yang Dilematis

Bukankah telah masyhur kisah pembunuh 100 nyawa yang kelak mendapat kebaikan surga karena pertaubatannya? Semoga Allah ﷻ memberikan taufik kepada kita agar dapat mengambil pelajaran dari setiap hal yang telah kita lalui. Aamiin.

Editor: Lely N

2 posts

About author
Alifal berinteraksi di lingkungan keluarga kecil Muhmmadiyah ditengah masyarakat NU, mengenyam pendidikan dasar di SD Muhammadiyah1 Metro, lalu melanjutkan pendidikannya di SMPN 2 Metro dan SMA N 1 Metro, Lampung, kini alifal tercatat sebagai mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir UMS 2019 dan mahad abu bakar ash-shidiq UMS. Moto : Let's do every goodness with love !
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds