Perspektif

Jangan Terlalu Berharap Kepada Milenial!

3 Mins read

Syahdan, kita memasang muka kaget ketika tiba-tiba Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, lembaga yang dipimpin oleh Mas Menteri—soal sebutan ini ia sendiri yang menyarankan saat acara serah terima jabatan pasca pelantikan—yang menyamaratakan organisasi masyarakat yang sudah berdiri dan menanam khidmat pada urusan pendidikan bahkan jauh sebelum Republik ini terbentuk: Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dengan yayasan tanggung jawab sosial perusahan yang, meminjam kata Fachry Ali, baru lahir beberapa ‘menit’ yang lalu. Itu, Program Organisasi Penggerak (POP).

Kendati masuk dalam kategori gajah, dengan dukungan dana mencapai 20 miliar rupiah per tahun, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama kemudian disusul Persatuan Guru Republik Indonesia menarik diri dari program ini.

Alasannya, bagaimana mungkin, organisasi kemasyarakatan yang selama ini sudah mengelola lembaga pendidikan diposisikan sama—bahkan dikalahkan—oleh lembaga dan yayasan yang bahkan ada yang baru terbentuk. Belum lagi, keanehan-keanehan dalam proses penentuan lembaga yang lolos program ini. Tak ayal, keputusan yang diambil oleh lembaga yang dipimpin Mas Menteri yang milenial—yang penunjukannya sebagai menteri sempat dielu-elukan—ini dinilai melukai nurani.

Kata “Milenial” yang Terpabrikasi

Tapi bukankah Gardner (1996) sudah pernah meraba gejala psikologis yang umumnya dimiliki para milenial seperti labil, berorientasi pada diri sendiri, tidak logis, pemberontak, hingga emosional? Himbauan ini agaknya patut disematkan kepada mereka yang senantiasa diklaim sebagai milenial. Kendati potensi sikap sebaliknya selalu terbuka semisal kreatif, produktif, punya passion, efesien, open minded, hingga dinamis. Meski demikian, catatan Jonathan Chen dan Emirza Adi Syailendra tiba pada satu kesimpulan: tak ada deskripsi utuh untuk menggambarkan karakteristik milenial.

Barangkali, kita secara berjamaah terlalu berlebihan dalam memuja—maksudnya kurang memberi porsi sewajarnya, dalam titik tertentu—kepada generasi milenial. Sehingga, rasa-rasanya mereka dianggap menempati peringkat pertama untuk hampir segala urusan sehingga harus diprioritaskan. Privilege itu kian menjadi-jadi tatkala kita semua menyaksikan: kata milenial pada gilirannya berubah menjadi “mantra”. Siapa saja menjadikannya sebagai suplai kosakata yang harus kerap dilafazkan di mana-mana. Mantra milenial dipabrikasi sedemikian rupa hingga ia harus disuarakan setidak-tidaknya agar tampak kekinian.

Baca Juga  Norma Baru Gowes di Era New Normal

Dan puncaknya adalah di arena pilpres yang lalu. Mentang-mentang populasi milenial di Indonesia sedang naik daun, milenial menjadi komoditas yang menggiurkan bagi mayoritas elit politik sebagai bahan bakar kampanye dan meminta simpati. Anda semua tahu: di antara empat capres-cawapres waktu itu, tidak ada satupun yang masuk dalam kategori milenial.

Lalu apa kata elit? “Ma’ruf Amin itu milenial juga,” ujar Oesman Sapta Odang. “Insyaallah, Sandiaga adalah santri abad milenial,” seru Presiden PKS kala itu. Kedua entitas politik ini seolah dengan lugas mengatakan: secara usia tak apa bukan milenial, yang penting memiliki citra milenial. Sekali lagi, citra. Jadi, agaknya wajar jika pada akhirnya, identifikasi milenial kemudian disederhanakan menjadi hanya sebatas pada mereka yang ke mana-mana mengenakan sepatu kets!

Milenial Sebagai Mantra

Sepertinya, tesis Mochtar Lubis tentang “manusia Indonesia”  yang ia pidatokan di Taman Ismail Marzuki 6 April 1977 silam kian memperoleh legitimasi. Dalam pidato itu, manusia Indonesia dicirikan dalam enam perihal. Salah satunya adalah sangat percaya mantra, selain munafik, enggan bertanggung jawab, feodal, artistik, dan berwatak lemah.

Mantra yang ia maksud adalah segala sesuatu yang amat dipercaya membabi buta, baik mantra “lama”, yang berhubungan soal sekeliling klenik, takhayul, dan sejenisnya. Maupun mantra “baru”, yang semakin beragam dan beraneka rupa. Jadi, setiap yang hanya berawal dan berhenti di ucapan, boleh disebut sebagai mantra.

Rupanya, mantra milenial itu berlanjut hingga waktu penentuan menteri. Anda semua tahu: di antara 36 menteri Kabinet Indonesia Maju itu, hanya Mas Menteri-lah yang milenial (dalam arti sesungguhnya). Sehingga, wajar jika publik kemudian riuh dengan penunjukannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ia masih muda, lulusan luar negeri, berinovasi mendirikan start-up ojek daring—dan dinilai berhasil—, melek teknologi-informasi.

Baca Juga  Poros Pelajar Desak Mendikbud Cari Alternatif Pendidikan di Masa Pandemi

Meski semula, banyak yang menduga ia akan mengisi posisi seputar dunia riset-teknologi atau komunikasi-informatika. Toh ia membuat kejutan dengan ditempatkan memimpin kementerian yang konon membawahi lembaga terbanyak di negara kita. Kehadirannya di sana banyak mengundang perhatian.

Jangan Terlampau Berharap Kepada Milenial

Belum habis kekagetan publik soal penunjukannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mas Menteri memuntahkan beberapa peluru yang tak kalah menciptakan kekagetan: merdeka belajar hingga kampus merdeka. Mulai ujian nasional hingga sistem zonasi. Mulai kebijakan akreditasi hingga pembukaan prodi.

Semuanya dibuat ala milenial: simpel, gampang, dan cepat. Bahkan, rencana pelaksanaan pembelajaran—yang awalnya berlembar-lembar—kini disederhanakan menjadi cukup hanya selembar!

Bila ada perihal yang kita perlu memberi perhatian lebih padanya, maka, barangkali sepak terjang milenial di ruang publik inilah salah satunya. Sepertinya, orang-orang tua terlalu banyak berharap dan muluk kepada milenial. Tulang pundaknya masih lunak dan belum cukup kokoh untuk memikul beban yang melebihi kemampuannya.

Biarkan mereka tumbuh, berkembang, sembari menguatkan tulang pundak—dan tulang-tulang lainnya—hingga mereka benar-benar cukup siap. Tapi Mas Menteri sudah memohon maaf perihal kisruh POP. Sudah telanjur. Mungkin ia perlu waktu lagi untuk belajar. Maka, jika ia katanya banyak mengerti masa depan dan buta masa lalu, apa boleh buat.

Editor: Yahya FR
Avatar
4 posts

About author
Dosen dan peneliti Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Dapat ditemui di @anfradana.
Articles
Related posts
Perspektif

Tunisia dan Indonesia: Jauh Secara Jarak tapi Dekat Secara Kebudayaan

2 Mins read
“Tunisia dan Indonesia Jauh secara Jarak tetapi dekat secara Kebudayaan”, tetapi sebaliknya “Tunisia dan Eropa itu jaraknya dekat, tapi jauh secara Kebudayaan”…
Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

4 Mins read
Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes…
Perspektif

Buat Akademisi, Stop Nyinyir Terhadap Artis!

3 Mins read
Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *