Perspektif

Regenerasi Politik Indonesia Hari Ini: Dimana Posisi Milenial?

5 Mins read

Politik Indonesia sudah mulai memasuki babak baru menjelang Pemilu 2024. Sejauh ini, tiga bakal calon presiden sudah mendeklarasikan diri dengan dukungan partai penyokongnya masing-masing: Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Mereka kini disibukkan oleh bursa pencalonan wakil presiden, terutama setelah Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar resmi mendeklarasikan diri sebagai Cawapres dengan dukungan PKS, PKB, dan Partai Nasdem.

Tentu saja, ada banyak analisis tentang Pemilu ini, dan saya tidak ingin menggarami air laut. Namun, sebagai seseorang yang besar dan mengikuti politik Indonesia sejak 2000an, ada satu pola yang saya tangkap menjelang tahun 2024 ini. Jika melihat konfigurasi elit politik yang bermain di Pemilu tahun depan, kita bisa bilang bahwa: regenerasi politik sudah mulai muncul dan berjalan. Mayoritas capres dan cawapres yang muncul (dengan pengecualian Prabowo) adalah generasi kedua politikus Indonesia pasca-reformasi, yang muncul dan dikader oleh politikus generasi pertama di akhir 1990an dan awal 2000an.

Regenerasi dan Kaderisasi Politik

Bagaimana membaca regenerasi politik Indonesia hari ini? Kita bisa melihatnya dari sirkulasi para elit. Nama-nama di bursa Capres dan Cawapres adalah mereka yang ‘mulai naik daun’ di tahun 2000an dan tampil di pentas politik hari ini.

Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan adalah dua sosok yang muncul setelah tahun 2004 sebagai politikus dan akademisi muda. Ganjar Pranowo adalah kader PDIP tulen, yang muncul pertama kali di politik Indonesia sebagai anggota DPR-RI menggantikan Jakob Tobing, kader PDIP yang kemudian menjadi Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan. Kariernya cukup cemerlang, berhasil mempertahankan kursinya di Pemilu 2009 sebelum kemudian dipercayai menjadi Gubernur Jawa Tengah –basis politik PDIP—selama dua periode.

Di saat yang bersamaan, Anies Baswedan yang baru saja pulang PhD dari Amerika Serikat merintis karier sebagai akademisi. Setelah aktif di beberapa Lembaga Riset (salah satunya, Direktur Riset Lembaga Survei Indonesia), Anies menggantikan cendekiawan muslim Nurcholish Madjid sebagai Rektor Universitas Paramadina. Jabatan ini diembannya hingga kemudian masuk politik di Pemilu 2014: dari awalnya menjadi Capres di Konvensi Partai Demokrat hingga menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di masa Presiden Jokowi, sebelum kemudian terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta di tahun 2016.

Baca Juga  Tragedi Kanjuruhan adalah Tragedi Kemanusiaan

***

Di bursa calon wakil presiden, ada tiga politikus yang berlatarbelakang Nahdlatul Ulama yang juga lahir dan besar di akhir 1990an dan awal 2000an: Khofifah, Muhaimin Iskandar, dan Mahfud MD. Khofifah sudah bersentuhan dengan dunia politik di usia 27 tahun sebagai anggota DPR dari PPP. Tak heran jika ia dipercaya menjadi Menteri di era KH Abdurrahman Wahid, di usia 34 tahun, dan kemudian berkiprah di politik lokal dan nasional selepas itu. Muhaimin juga memulai karier sebagai Sekjen PKB pertama dan tampil sebagai pemimpin PKB satu dekade kemudian. Adapun Mahfud MD malang melintang di dunia akademik sebelum kemudian menjadi Menteri Pertahanan di era Gus Dur, menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, dan menjadi salah satu orang kepercayaan Presiden Jokowi.

Hal ini memberikan sebuah refleksi tentang ‘kaderisasi politik’. Baik Anies, Ganjar, Khofifah, Imin, dan Mahfud adalah hasil kaderisasi politik awal reformasi, dibina oleh para mentor mereka masing-masing: Megawati, Gus Dur, dan JK. Peran PDIP dalam membina dua kadernya, Ganjar Pranowo dan Joko Widodo, memperlihatkan hasilnya selama 10 tahun terakhir. Hasil kaderisasi politik NU di bawah Gus Dur juga terlihat dari munculnya tiga nama sebagai cawapres, yang di masa lalu diorbitkan oleh Gus Dur di politik, baik yang loyal maupun yang kemudian berkonflik dengan Gus Dur.

Selain itu, kita juga tahu bahwa Anies Baswedan dalam banyak hal menjadikan Jusuf Kalla sebagai mentor politiknya, baik ketika menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan maupun sebagai Gubernur DKI Jakarta.

***

Kaderisasi politik ini terbangun baik secara kelembagaan maupun secara informal. Tentu ada peran partai dan ormas seperti PDIP, PKB, atau NU. Namun demikian peran elit juga penting. Megawati dan para penasehatnya seperti Cornelis Lay banyak terlibat dalam membangun kaderisasi politik ini. Begitu juga dengan Gus Dur, yang memberikan jalan bagi para politikus NU sekarang untuk tampil dari nol. Organisasi mahasiswa seperti HMI dan PMII juga punya peran penting sebagai basis kaderisasi politik di permulaan karier mereka.

Baca Juga  Negara Islam itu Ambigu dan Utopis!

Di sini, baik generasi Anies-Ganjar ataupun Mega-SBY-JK punya kesamaan, mereka maju sebagai capres di usia antara 50-65 tahun. Sebagai contoh: baik Megawati, SBY, dan Jokowi, menjadi Presiden di usia 53-54 tahun – usia yang sama Ketika Ganjar dan Anies tampil dalam politik hari ini. Baik Megawati, Gus Dur, JK, SBY, membangun karier politik di usia 40an sebagai pemimpin politik dan oposisi, yang memberikan mereka bekal ketika mengambil tampuk kepemimpinan setelah Soeharto jatuh.

Tampilnya mereka juga terjadi karena ada 2-3 generasi yang terpotong, sebab Soeharto yang berkuasa dengan sangat lama, sehingga membuat kaderisasi politik elit menjadi tersumbat.

Meski demikian, juga ada perbedaan dari dua generasi tersebut. Generasi pertama pasca-reformasi masih berkecimpung aktif menentukan keputusan di partai mereka, seperti SBY, Megawati, dan JK. Orang-orang tua ini mengendalikan politik di balik layar dan masih menghiasi layar kaca kita hari ini, yang membuat kaderisasi politik tidak sepenuhnya ‘dewasa’.

Milenial dan Generasi Indonesia 2045

Refleksi ini memberikan satu refleksi lain. Menurut saya, politik di tahun 2024 ini adalah masa transisi. Karena para politikus gaek generasi pertama masih berkecimpung, kita mungkin akan masih melihat peran mereka dalam menentukan arah politik Indonesia hari ini. Tapi kita bisa berekspektasi generasi mereka akan mulai mengurangi aktivitas selama 5-10 tahun ke depan, salah satunya karena alasan Kesehatan.

Di sini, artinya, kita bisa berharap akan muncul lebih banyak politikus yang sekarang berusia 40-50 tahun selama 5-10 tahun ke depan. Kita sudah melihat beberapa nama hari ini, seperti Puan Maharani, Agus Harimurti Yudhoyono, Yaqut Cholil Qoumas, Yenny Wahid, Erick Tohir, dan Sandiaga Uno. Bisa jadi nama-nama baru akan muncul selepas Pilkada 2024 dan terbentuknya kabinet di pemerintahan baru.

Artinya, kita mungkin akan melihat generasi ini (yang lahir di antara tahun 1970-1985), di tahun 2029 dan 2034. Jika proses politik demokrasi berjalan lancar, transisi ini akan berjalan dengan cukup smooth.

Lantas, jika pola ini bertahan, siapa yang akan masuk di tahun 2039 dan 2045? Tidak lain adalah generasi milenial, yakni mereka yang lahir antara tahun 1985-2000. Mereka sekarang masih dalam tahap merintis karier, entah sebagai akademisi, politikus lokal, pengusaha, atau malah birokrat di karier menengah atau awal.

Baca Juga  Terima Kasih NU, Sebuah Catatan Ramadan

***

Ada satu hal yang membedakan generasi milenial dengan generasi Ganjar-Anies, dan ini cukup positif, yakni persentuhan dengan Pendidikan Tinggi. Bisa dibilang, generasi milenial adalah penerima beasiswa LPDP generasi pertama, dan banyak di antara mereka yang menempuh Pendidikan Tinggi di luar negeri. Mereka juga akrab dengan banyak isu politik global, kritis terhadap realitas, dan sekaligus bandel. Generasi ini besar di aktivisme mahasiswa era Susilo Bambang Yudhoyono dan kemudian merintis karier di era Jokowi, membuat mereka akrab dengan demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

Sehingga, jika kita hari ini menyebut ‘Generasi Indonesia Emas 2045’, yang dimaksud sebetulnya adalah para milenial. Tentu saja ada banyak varian dari generasi ini. Tapi ada satu hal yang pasti: usia matang generasi ini masih panjang, dan bisa jadi akan memasuki usia yang lebih aktif di tahun 2040. Yang jadi pertanyaan adalah siapa, bagaimana, dengan cara apa, dan melalui apa apa/siapa. Proses kaderisasi politik masih akan sangat panjang, namun tentu (jika berkaca pada sirkulasi politik elit saat ini), kita bisa menebak pola kaderisasi yang muncul.

Jadi, bagi yang bertanya-tanya dimana kontribusi anak-anak milenial ini, bisa jadi jawabannya adalah: tunggu saja tanggal mainnya! Pentas politik 2024 adalah pentas para baby boomer, yang lahir dan besar di akhir Orde Baru dan merintis karier di awal era reformasi. Yang perlu kita perhatikan adalah kaderisasi dan sirkulasi elit, dan di titik inilah demokrasi jadi penting. Kaderisasi politik yang sehat hanya terbentuk dari alam demokrasi yang juga sehat, dan masa depan Indonesia tahun 2045 akan sangat tergantung dari proses demokratisasi kita hari ini.

Wallahu a’lam bish shawwab.

Editor: Soleh

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
11 posts

About author
Ketua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah (PRIM) Queensland
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *