Perspektif

Membaca I-N-D-O-N-E-S-I-A setelah 17 Agustus

3 Mins read

Apa harapan kita tentang kemerdekaan? Spontan, kita akan menjawab dengan narasi-narasi klise yang tak asing lagi. Seperti, hidup bebas tanpa kekangan, penindasan dan segala hal yang merugikan harkat serta martabat manusia. Hidup damai dan terbebas dari segala hal yang menyimpang tentu menjadi harapan segenap masyarakat yang menghuni negeri ini.

I-N-D-O-N-E-S-I-A, nama yang selalu membuat bangga, membanggakan dan dibanggakan oleh (hampir) seluruh eleman masyarakat sekaligus ditakuti dan disegani. Ditakuti bukan karena ia kejam dan ganas, disegani bukan karena ia mengharap penghormatan atau ‘gila’ hormat. Ia adalah nama yang hidup dan akan selalu namun tak sedikit pula yang berusaha ‘mematikannya’ pelan-pelan. Hukum alam tampaknya selalu berlaku; di balik kecintaan, akan selalu ada kebencian.

Pembenci Indonesia

Siapa yang membenci Indonesia? Jawabannya tentu tidak merujuk kepada nama seseorang melainkan sikap. Yang dimaksud sikap bukanlah sikap yang acapkali mengkritisi dan melakukan aksi protes akan tetapi lebih kepada sikap seseorang yang secara sekilas nampak sangat mencintai negeri ini melalui intonasi lantangnya dalam mengeja Indonesia namun luput dari pendefinisian bahwa Indonesia adalah sebuah negeri yang dihuni keanekaragaman makhluk hidup dan ragam budaya.

Indonesia menjadi wadah jutaan manusia yang memiliki agama, budaya, sikap dan karakter yang berbeda-beda yang kemudian disimpulkan oleh para pendiri negeri ini sebagai bentuk persatuan Indonesia. Okky Madasari menulis di akun Instagramnya, “mencintai Indonesia seutuhnya, mencintai pemerintah secukupnya”. Terhadap apa yang dibahasakan Okky tersebut tentu memberikan ruang perenungan kepada kita termasuk merenungkan makna persatuan dan kesatuan.

Baik persatuan maupun kesatuan bukanlah perkara yang langsung jadi tapi sebaliknya tidak menafikan dialog hingga proses negosiasi. Persatuan dan kesatuan tidak mengandung unsur pemaksaan akan tetapi jika sebaliknya. Pertanyaan kemudian adalah mungkinkah kita juga akan menerima jika Indonesia (dikatakan) merdeka secara terpaksa? Tentu tidak, kita pastinya menginginkan kemerdekaan yang suci dan bukan pemberian.

Baca Juga  Menuju 2050, Muhammadiyah Perlu Kompas Gerakan

Kemerdekaan Sejati

Kemerdekaan sejati bukan hanya dilihat dari euforia bombastis perayaan kemerdekaan di kota melainkan di pedesaan pula. Bahkan kita dapat berkesimpulan bahwa kemerdekaan sejati hadir dari suara orang-orang yang merasakan merdeka dan merayakan kemerdekaan tanpa perlu ‘dihimbau’ atau ‘diinstruksikan’ oleh majikan atau pun atasan.

“Kemerdekaan dirasakan, bukan diteriakkan”, Pramoedya Ananta Toer seakan-akan ingin mengeluarkan kalimat tersebut seperti yang terekam dalam “Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Essai dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer” karya Boef dan Snoek. Corak perayaan kemerdekaan selalu meniscayakan simbolisasi“NKRI harga mati” sebagai sebuah jawaban maka yang patut dipertanyakan adalah apa pertanyaannya?

Slogan tersebut tentu bukan produk nir-makna. Akan tetapi, kita patut menelusuri makna nyata di baliknya. Saya mungkin saja dapat berasumsi bahwa NKRI harga mati merupakan sebuah doktrin kebangsaan yang menghendaki keutuhan Republik Indonesia.

Sebagai sebuah doktrin keutuhan, slogan tersebut kiranya memiliki muatan materi yang konkrit. Seyogyanya terdapat penjelasan objektif atas dinamika kehidupan yang dihadapi seluruh masyarakat Indonesia melalui proses penelusuran langsung bukan sekedar mendeklarasikan sebuah slogan di atas mimbar atau di dalam kantor-kantor pemerintahan. Indonesia bukan hanya hadir di kantor pemerintahan. Seluruh pelosok negeri ini adalah Indonesia pula.

***

Dalam sebuah diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Redaksi Jubi dan menghadirkan empat jurnalis Indonesia yang masing-masing dari Ekspedisi Indonesia Biru dan Zamrud Khatulistiwa serta Veronica Koman yang bertindak sebagai moderator. Keempatnya adalah Ahmad Yunus, Farid Gaban, Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz. Pendiskusian mereka membahas seputaran 75 tahun kemerdekaan Indonesia dan bagaimana memaknai NKRI Harga Mati.

Beberapa hal yang patut digarisbawahi yakni ihwal memaknai kemerdekaan setiap 17 Agustus dan hari-hari setelahnya. Indonesia tidak sepatutnya mengandung unsur sentralistis apatahlagi hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi. Indonesia adalah hak segala bangsa. Indonesia adalah kita.

Baca Juga  Gerakan Emansipasi Wanita: dari Ketertinggalan menuju Kesetaraan

Kurang lebih 80 pulau yang berpenghuni di Indonesia telah dikelilingi oleh Zamrud Khatulistiwa begitupun Indonesia Biru. Dinamika kehidupan masyarakat dijumpai secara langsung (bukan melalui sorotan fitur gawai canggih) bahkan banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat yang belum pernah ditampilkan melalui akselerasi dunia maya.

Dandhy Laksono menggambarkan hasil perjalanannya menelesuri pulau demi pulau yang jarang (bahkan tidak pernah) dikunjungi sebelumnya atau sekedar disajikan dalam bentuk pemberitaan media. Dari hasil perjalanannya menunjukkan bahwa terdapat banyak komunitas adat dan masyarakat pelosok yang bisa dikatakan bahwa mereka tidak butuh negara. Kalaupun besok misalnya Indonesia bubar, maka mereka tetap mampu menjalani hidupnya dengan baik.

Pengharapan Masyarakat kepada Pemerintah

Sementara itu, di lain sisi masih banyak masyarakat baik pesisir maupun pelosok-pelosok di negeri ini mengharapkan kehadiran pemerintah Indonesia hadir di tengah polemik yang mereka hadapi. Mulai dari penyingkiran mata pencaharian masyarakat akibat proses penambangan hingga kriminalisasi nelayan dan petani di beberapa wilayah yang tidak berhasil diungkap oleh dunia media.

“Indonesia Maju” sebagai semangat perayaan kemerdekaan di tahun 2020 merupakan alarm tersirat bagaimana wajah Indonesia ke depannya. Menyitir diskursus yang dibangun Yasraf Amir Piliang dalam bukunya “Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan” bahwa yang dikatakan dunia yang dilipat merupakan sebuah gambaran dunia yang di dalamnya berlangsung berbagai bentuk pemaksaan, pemadatan, pemampatan, penekanan, perusakan, pengkerdilan dan miniaturisasi berbagai dunia. Kemajuan meniscayakan percepatan dan tidak ada jaminan bagi pemaksaan untuk tidak terjadi.

Senada dengan itu, jika kita membaca artikel atau laporan dari beberapa jurnalis Indonesia yang meliput proses kehidupan masyarakat di wilayah-wilayah terpencil. Satu hal yang dapat disimpulkan bahwa meskipun Orde Baru telah terbenam puluhan tahun silam namun coraknya yang sentralistis dan fokus utama pada pertumbuhan ekonomi terbit kembali. Indonesia pada umur 75 tahun semakin memperjelas posisi dan arahnya. Setelah tanggal 17 Agustus, kita kembali merenungkan dan mengeja ulang I-N-D-O-N-E-S-I-A.

Baca Juga  Bagaimana Cara Meneguhkan Nalar Humanitas di Era Disrupsi?
Editor: Wulan
3 posts

About author
Alumni Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Alauddin Makassar
Articles
Related posts
Perspektif

Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

4 Mins read
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah lama bergantung pada sektor ekstraktif sebagai pilar utama perekonomian….
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds