Falsafah

Islam Lebih dari Ideologi

3 Mins read

Pada hari Selasa (14 Juli 2020) silam, muncul artikel di IBTimes.id dengan judul Liberalisme sebagai Jalan Kemenangan Umat Islam oleh sahabat saya sendiri. Tulisan itu cukup menarik perhatian sebab beberapa saat yang lalu, dirinya masih rame di status WhatsApp tentang ide-ide liberalisme yang mungkin bising di kepalanya. Begitu tulisan turun, saya membacanya; awalnya mungkin terdistraksi dengan judulnya sendiri, ternyata, isinya lebih kepada memberikan dukungan pada individu-individu muslim untuk segera bebas dari kebelengguan cara berpikir monoton—menuju cara berpikir yang bebas.

Islam dan Ideologi

Namun, yang menarik perhatian saya lainnya ialah; bagaimana Islam disandingkan dengan liberalisme itu sendiri. Di sini, saya mengafirmasi bahwa belakangan ini, kelompok di bawahnya sering mengatakan bahwa Islam terlalu mengekang cara berpikir manusia. Padahal, liberalisme yang kedudukannya adalah buah pikir manusia itu sendiri—dalam tulisan itu—sebetulnya tidak apple to apple jika dibandingkan dengan Islam sebab Islam lebih daripada ideologi atau buah pikir manusia itu; saya mengutip tulisan salah seorang pengajar mengenai what is religion? yang bertuliskan bahwa:

There is one special case, however, and that is Islam. This case is addressed specifically in Smith’s book, because since birth Islam has already been conscious of the existence of other ways of believing in and worshipping God. There is a word in Islam that is usually translated as religion, and that is “din”. Nevertheless, Smith and other scholars of his like argue that the word “din” is not fully equivalent to the word religion. While religion is meant to be something institutionalized and differentiated from the political and the secular, din means many. It could mean customs, judgment, and someone’s way of life, but there was no sense of a separation between the political and the private. In other words, the religious-secular binary doesn’t apply to the word din.

Azis Anwar Fachrudin, 2017

Konteks menulis oleh Fachrudin di atas ialah ketika menjelaskan tentang definisi dari sebuah agama, ada hal yang menarik bahwa agama tidak sepenuhnya dapat diartikan secara objektif. Lalu, penemuannya terhadap makna agama Islam dari sejarah yang dituliskan di tulisan sebelum pengutipan di atas; beliau menemukan hal yang menarik dari Islam. Dirinya mengutip dari buku Smith yang berjudul The Meaning and End of Religion (1962); menemukan bahwa sejak kemunculannya Islam, Islam telah menyadari tentang cara mempercayai dan menyembah Tuhan. Kata yang relevan dalam Islam yang merujuk pada agama adalah din.

Namun, menurut Smith dan rekan-rekannya, din itu sendiri tidak sepenuhnya setara dengan makna agama atau religion. Ketika religion yang sering diartikan sebagai sesuatu yang melembaga dan dibedakan dari politik dan sekuler, din memiliki makna yang lebih banyak; bisa berarti adat istiadat, penilaian, dan cara hidup seseorang, tapi tidak terlepas dari (urusan) politik dan pribadi. Dalam kata lain, din tidak cocok dengan logika binary religius-sekuler—di dalam din, tak ada yang terpisah. Sebelumnya, dituliskan juga oleh beliau bahwa religion berasal dari bahasa Latin yakni kata religare yang berarti to bind atau untuk mengikat. Lalu mengalami perkembangan hingga menjadi kata religio yang berarti to be pious and obedient to one’s social rules atau menjadi saleh dan patuh pada aturan sosial.

Baca Juga  Titik Temu Konsep Tuhan Sokrates, Plato, dan Newton dengan Ajaran Islam

Islam Lebih dari Ideologi

Islam—lebih daripada Ideologi, bahkan lebih besar dari makna agama itu sendiri—jika dikaji untuk pembangunan sumber daya manusia yang lebih kuat, mungkin lebih menjamin untuk memberikan kemenangan itu sendiri. Pemaknaan Islam terhadap makna agama atau din sebagaimana dikutip di atasyang bisa diletakkan ketika umat Islam melihat agama lain adalah cara pandang yang mestinya umat Islam miliki saat ini. Namun, diskursus di dalam Islam sendiri saat ini sering kali membelenggu sebab pemaknaan Islam sebagai din dalam konteks kehidupan malah berdampak pada supremasi Islam. Implikasi dari ini ialah logika hierarkhi terhadap maknanya. Bahwa ada din, agama, lalu aliran kepercayaan.

Kembali lagi ke tanggapan tulisan teman saya di atas, bahwa, lebih jauh dari kemunculan isme-nya liberal—saya menariknya lebih jauh—umat Islam diajarkan tentang memaknai agama di dalam din—di dalam cerita Rasulullah saat dikompromi tentang menyembah bergantian. Artinya, umat Islam sudah dituntut untuk melihat bahwa Islam sebagai din yang artinya adalah cara pandang hidup, harusnya diadopsi ketika kita memandang yang berbeda dengan kita.

Di sini, makna kritis yang diajarkan oleh nabi ialah, kesetaraan antara din-nya Islam dan makna din bagi orang lain dianggap sama pentingnya. Mulai dari mindset yang demikian, kemenangan Islam mungkin sama efeknya dengan tulisan sahabat saya sebelumnya—mindset tentang kedalaman berpikir harus punya implikasi terhadap tingkat egaliter kita ketika memandang orang lain.


Editor: Nabhan

Avatar
4 posts

About author
Everything goes. Mahasiswi di Universitas Negeri Yogyakarta dan kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah KH. Ahmad Badawi UNY
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds