Feature

Film Pengkhianatan G30S/PKI Propaganda?

3 Mins read

Satu ingatan kolektif kita jika menyebut tanggal 30 September, yaitu pengkhianatan PKI. Tepat tanggal 30 September 1965 Indonesia selalu teringat pada peristiwa berdarah; pemberontakan PKI, dibawah pimpinan Aidit. Memori kolektif itu tidak secara sadar tiba-tiba ada di masyarkat kita. Namun, ia dibentuk oleh satu film, yang di masa keemasan orde baru setiap tahun selalu diputar. Termasuk beberapa tahun lalu, ketika panglima TNI masih dijabat oleh Gatot Nurmantyo, ia mewajibkan menonton Film Pengkhianatan G30S/PKI.

Film jenis dokudrama, Pengkhianatan G30S/PKI diproduksi tahun 1984, yang disutradarai oleh Arifin C. Noer, ia sekaligus yang menulis naskah cerita. Film ini menceritakan dengan detail, dari perencanaan kudeta, penculikan, sampai pembunuhan para jendral. Di ujung cerita, Suharto tampil sebagai pahlawan yang menumpas gerakan kudeta. Lalu peralihan kekuasaan terjadi, dari Sukarno ke Suharto.

Pertanyaanya kemudian apakah film Pengkhianatan G30S/PKI ini merepresentasikan fakta sejarah? Padahal sejarah G30S ini masih diperdebatkan oleh para sejarawan. Sebab, sejak awal penulisan sejarah PKI selalu ada kepentingan politik. Apalagi versi sejarah pemerintah yang diajarkan di sekolah, jelas menganggap PKI itu terlarang dan keji. Ada pula yang menganggap itu akal-akalan Suharto untuk naik menjadi presiden, lalu ada yang menganggap CIA terlibat.

Terlepas dari perdebatan itu, masyarkat kita terlanjur mengingat sejarah G30S melalui film. Bayang-bayang penyiksaan yang hiperbola, ingatan kata ikonik “darah itu merah, jendral!”, dan satu kesimpulan bahwa PKI itu berbahaya. Tulisan ini tidak akan membahas PKI itu berbahaya atau tidak. Poin dari tulisan ini adalah; persepsi tentang pemahaman sejarah G30S, banyak dipengaruhi oleh film. Maka tidak akan berlebihan, jika para akademisi menyebut film Penghianatan G30S/PKI adalah alat propaganda yang sempurna.

Baca Juga  PKI Dilarang: Tetap Abadi dalam Pikiran

Perlu sebuah teori untuk memahami bentuk propaganda yang dilakukan. Teori ini akan digunakan sebagai pisau analisis. Nurudin dalam Komunikasi Propaganda (2008) hlm. 29 mengatagorikan beberapa teknik propaganda politik yang biasa dilakukan. Berdasarkan jurnal Mirnawati dkk, Film dan Propaganda Politik (2019)  akan diambil tiga teknik, yang akan digunakan sebagai alat analisis propaganda politik di Film Penghianatan G30S/PKI.

Glittering Generalities

Pertama, glittering generalities. Tiknik ini bertujuan untuk menyematkan persepsi baik. Tindakan yang dilakukan bersifat luhur dan mulia. Dalam film ini, adegan terakhir ketika Suharto muncul, ia kemudian memberikan kesan sebagai seorang yang berhati luhur. Kemunculanya juga menandakan selesai sudah prahara G30S berkat dirinya.

Dalam adegan itu Suharto berpidato, “oleh sebab itu saya sebagai warga dari pada  anggota Angkatan Darat mengetok jiwa perasaan dari pada patriot Angkatan Udara bila apabila benar ada oknum-oknum yang terlibat dengan pembunuhan yang kejam dari pada jenderal kita yang tidak berdosa ini saya mengharapkan agar patriot Angkatan Udara membersihkan juga dari pada anggota Angkatan Udara yang terlibat dalam petualangan ini. Saya sangat berterimakasih bahwa akhirnya tuhan memberikan petunjuk yang jelas pada kita sekalian bahwa setiap tindakan yang tidak jujur, setiap tindakan yang tidak baik pasti terbongkar.

Letak propaganda tersebut terdapat dari kesan Suharto sebagai seorang pahlawan. Figur Suharto diletakkan sebagai subjek yang menyasikan langsung pengangkatan para jendral. Ia dikesankan sulusi dari prahara yang terjadi.

Testimonials

Kedua, testimonials. Teknik ini menggunakan orang yang sudah terkenal dan memiliki pengaruh untuk meyakinkan publik. Para akademisi ilmu komunikasi biasa menyebut opinion leader. Jika mau ditarik ke konteks sekarang, bisa juga influencer melakukan peran yang sama. Syarkat dari teknik ini adalah si opinion leader menyetujui kebenaran isu yang diangkat.

Baca Juga  Meniti Harap Kuliah ke Luar Negeri

Terdapat adegan film pada menit 02.29.43 – 02.30.53 yang mengaskan bahawa tanggal 30 September 1965 ada usaha kudeta. Informasi tersebut diberikan oleh Suharto, yang kemudain menyuruh untuk membuat berita.

Suharto mengatakan, “siapkan radiogram, dari Panglima KOSTRAD pimpinan AD ditujukan kepada keseluruh panglima Kodam isi berita tanggal 30 September 1965 telah terjadi kudeta atau pengambilan kekuasaan secara paksa oleh gerombolan-gerombolan Gerakan 30  September.

Figur yang dipasang untuk meyakinkan itu Suharto sendiri. Di film tersebut ia memiliki pengaruh yang sudah cukup meyakinkan publik. Sebab ia adalah orang yang ditunjuk oleh Sukarno sebagai penanggung jawab. Tugasnya adalah memulihkan keamanan nasional.

Name Calling

Ketiga, Name Calling. Tujuan dari teknik ini menimbulkan rasa takut dan membangkitkan prasangka sampai benci. Caranya bisa dengan membangun narasi negatif, menggambarkan adegan kekerasan dalam film, termasuk membangun karakter jahat dan membumbinya dengan intrik keji. Bisa juga nanti diakhir film memunculkan kesimpulan tanpa bukti yang kuat.

Adegan yang menggunakan teknik ini ketika ditampilkan PKI menyerang Traning Center Pelajar Islam Indonesia, kejadian itu berlatar waktu 13 Januari 1965. Para kiai dan santri sedang melaksanakan sholat subuh berjamaah, lalu tiba-tiba PKI menyerbu mereka.

Lalu adegan yang paling membuat kasan buruk adalah ketika Al-Quran diinjak oleh pasukan PKI. Adegan ini dikuatakan dengan narasi (dubbing), “peristiwa penganiyayaan ini terjadi pada tanggal 13 Januari 1965 sekitar subuh di Desa Kanigoro yang terletak tidak jauh dari Kota Kediri. Ribuan orang-orang PKI menyerbu tempat Training Center Pelajar Islam Indonesia kecuali melakukan pemukulan terhadap sesorang kiai dan beberapa orang guru, mereka menginjak-nginjak kitab suci Alqu’an.

Adegan penginjakan Al-Quran ini yang membangun emosi publik. Pubilk mengutuk habis-habisan PKI, dan memberi lebel bahwa PKI itu anti terhadap agama. Publik Indonesia yang meyoritas beragama Islam akan tergiring lebih mudah. Sintemen ini juga menyasar dasar negara, bahwa PKI telah melanggar kesepakatan terhadap sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa.

Baca Juga  Pengakuan Seorang Relawan Covid-19

Bapak itu Bernama Suharto

Budi Irawanto dalam jurnal Film Propaganda: Ikonografi Kekuasaan (2004)  menjelaskan film propaganda berkerja melalui representasi yang bersifat sepihak. Artinya publik ‘dipaksa’ secara sadar atau tidak untuk mengamini setiap persepsi yang dibangun. Sementara film ini membangun representasi politik, bahwa figur Suharto adalah seorang ‘bapak’. Suharto ditampilkan sebagai bapak bagi Angaktan Darat, sosok yang bisa mengatasi Gerakan 30 September.

Ada salah satu adegan dalam film, ketika Leo Watimena menanyaakan dalang di balik G30S. Dengan kewibawaannya sebagai Sang Bapak, Suharto meyakinkan bahwa dalang semua ini adalah Komandan Kompi Batalyon 454, Untung Syamsuri dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dhima Wahyu Sejati
10 posts

About author
Editor & kontributor di IBtimes.ID
Articles
Related posts
Feature

SHARIF 1446/2024 dan Masa Depan Kalender Islam Global

4 Mins read
Pada hari Rabu-Jum’at tanggal 18-20 Jumadil Awal 1446 bertepatan dengan tanggal 20-22 November 2024 diselenggarakan Sharia International Forum (SHARIF) 1446/2024 di Hotel…
Feature

Basra, Mutiara Peradaban Islam di Irak Tenggara

2 Mins read
Pernahkah kamu mendengar tentang kota di Irak yang terkenal dengan kanal-kanalnya yang indah, mirip seperti Venesia di Italia dan dijuluki dengan Venesia…
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds