Feature

Sungguh, Saya Tidak Suka Kuliah Daring!

3 Mins read

Tentu judul itu tidak mengada-ada. Saya benar-benar tidak suka kuliah daring. Karena, kuliah daring sangat menghambat saya bisa mengekspresikan keinginan dalam perkuliahan. Apa yang biasa saya lakukan untuk memberikan bekal pengetahuan di luar perkualiahan biasa tak tercapai. Kalau saya hanya mengajar sesuai kuliah manual, tentu tidak masalah. Misalnya, masuk kuliah, presensi, ceramah, lalu kuliah selesai. Tentu bukan itu yang ingin saya lakukan.

Contoh kecil saja saya bandingkan dengan setahun lalu. Tahun lalu, perkuliahan yang saya ampu bisa menghasilkan 10 judul buku kumpulan tulisan mahasiswa. Buku tersebut berasal dari tugas perkuliahan. Ya daripada tugas dikumpulkan ke dosen dan hanya masuk di “keranjang sampah”, untuk apa? Tugas yang dikumpulkan ke dosen pun belum tentu dikoreksi, bukan?

Nah, yang saya lakukan agak berbeda. Memang susah sekali. Tak terkecuali juga repot. Lagi, membutuhkan waktu yang banyak. Pertemuan kuliahpun sering di luar target kuantitas pertemuan. Karena memang targetnya menulis buku.

Misalnya, saya harus memberikan tugas sesuai materi perkuliahan. Kemudian saya mengoreksi.  Mengoreksinya ini bisa dua kali, lho. Koreksi manual dari tugas print out. Juga ada koreksi tentang plagiatisme memakai file. Saya harus melihat satu-per satu.

Mengoreksi dan memberikan catatan dalan naskah print out juga satu-persatu. Bahkan saya harus upload dan download untuk cek plagiarisme. Juga saya lakukan satu per satu. Capek memang, tetapi saya sangat senang. Tidak masalah.

Kemudian, saya mengembalikan semua koreksian saya kepada mahasiswa di kelas. Tentu harus saya jelaskan apa yang kurang, mengapa catatan saya begini atau begitu. Lalu apa yang harus dilakukan oleh mereka selanjutnya. Bisa dibayangkan repotnya, bukan? Tapi ya itu, saya senang melakukannya. Itu semua bisa saya lakukan jika kuliah dilakukan bukan secara daring.

Baca Juga  Kurikulum Fleksibel: Jalan Keluar Pembelajaran di Masa COVID-19

Pro Kontra

Tentu perkuliahan yang menghasilkan buku itu punya reaksi pro dan kontra. Ada yang mengatakan, “Masak kuliah membuat buku? Terus target materi dalam perkuliahan bagaimana bisa tercapai?” Ini pendapat satu sisi. Pendapat sisi lain mengatakan tak apalah membuat buku. Toh, tidak semua mahasiswa bisa membuat buku kelas.

Dan lagi, belum tentu mereka akan bertemu dengan saya pada perkuliahan di masa datang. Jadi hanya semester itu bisa menghasilkan buku. Mengapa? Karena hanya waktu itulah mahasiswa mengambil mata kuliah saya. Juga belum tentu ada dosen lain yang memakai metode perkuliahan dengan menghasilkan buku seperti saya.  

Terus ada yang bertanya, “Berarti bapak memaksa mereka membuat buku? Bagaimana dengan mereka yang tidak suka membuat buku?” Ini pertanyaan yang sering muncul pada teman-teman saya saat mengetahui output kuliah saya menghasilkan buku.

Begini. Saat awal perkuliahan saya memberikan dua alternatif metode belajar. Apakah mahasiswa ingin kuliah biasa (ceramah, membuat tugas, diskusi) atau kuliah menghasilkan buku? Saya tidak meminta mereka menjawab saat itu.

Saya meminta mereka berpikir, merenung, mempertimbangkan terlebih dahulu.  Lain hari saya membuat polling di grup kelas. Polling terbanyak itulah yang akan saya pilih.

Pernah ada kelas yang melakukan polling dan memilih kuliah biasa. Tentu saya melayani. Tapi kebanyakan memilih membuat buku. Karena mereka belum pernah punya pengalaman membuat buku dan ingin membuat buku.

Bahkan agak mustahil bisa membuat buku kalau tidak memutuskan waktu itu. Karena belum tentu ada dosen lain yang siap mengawal membuat buku kelas.

***

Tentu sebelum mereka membuat polling saya jelaskan plus minusnya memilih kuliah biasa atau membuat buku. Jika membuat buku saya jelaskan bahwa mereka akan iuran kelas untuk menerbitkannya. Kalau tidak mana ada pernerbit yang mau mempublikasikan?

Baca Juga  Kurikulum Madrasah di Masa Pandemi COVID-19

Jadi mereka menulis sendiri, iuran sendiri, mengedit sendiri, mendistribusikan sendiri dan mencari sponsor sendiri. Jadi praktis bisa mempraktikan banyak keahlian. Keahlian menulis, mengelola keuangan, kewiraswastaan (karena harus menjual).

Yang tak kalah pentingnya, saya menjanjikan bahwa nilai Ujian Akhir Semester (UAS) mereka akan saya beri nilai A semua. Kenapa tidak? Mereka sudah susah-susah menulis buku kelas, tentu saya tidak adil jika hanya memberikan nilai mereka pas-pasan saja. Tentu saja nilai mereka akan berbeda karena tergantung nilai tugas dan Ujian Tengah Semester (UTS)-nya.

Jadi begini, mereka saya minta membuat tugas sesuai tema mata kuliah (menjadi nilai tugas). Lalu saya koreksi kemudian mereka melakukan revisi. Revisi itu dikumpulkan kemudian dan menjadi nilai UTS. Tugas dan revisi inilah yang membedakan nilai akhir masing-masing mahasiswa. Kalau nilai UAS-nya tetap sama.

Jangan lupa ini yang penting, mereka bisa berlatih mempublikasikan sendiri buku-bukunya. Jika mendapat laba dari penjualan, keuntungan penjualan untuk mahasiswa. Saya tidak pernah membawa uang sepeserpun dari mahasiswa tersebut.

Juga mereka biasanya akan me-launching dan membedah bukunya. Asyiknya, di samping mereka bisa mengelola sebuah acara, launching dan bedah buku acara tersebut bisa dipublikasikan ke media. Apa manfaatnya? Tentu program studi, fakultas, atau universitas akan terpublikasikan. Dan lagi, di era akreditasi ini, publikasi buku dan media bisa membantu proses iuaran dan mendukung isian “borang akreditasi’ program studi.

Banyak Manfaat

Lalu, mengapa saya tidak suka kuliah daring? Saya tentu kehilangan waktu ngopi bersama mahasiswa. Sejak zaman kuliah, ini kebiasaan yang sering saya lakukan. Kuliah bukan daring memberikan kesempatan saya bisa ngopi bareng mahasiswa. Justru transfer ilmu pengetahuan bisa saya lakukan dengan baik saat ngopi bersama mereka. Tentu saja tidak semua mahasiswa mau melakukan kegiatan ngopi bareng tersebut.

Baca Juga  Menelusuri Sekilas Jejak-Jejak Kebangkitan Islam

Bagaimana dengan pembuatan buku? Justru saya bisa efektif mendampingi mahasiswa dalam proses editing saat saya bisa melakukannya di warung kopi. Bahkan pertemuan bisa mencapai 20 kali pertemuan. Lebih dari pertemuan di kelas, bukan? Apalagi pertemuannya bisa sore atau malam hari.

Jadi betapa susahnya saya seandainya kuliah daring dengan output menulis buku kelas. Sesuatu yang tidak saya inginkan tetapi saat ini terjadi. Semoga badai covid-19 segera berlalu.

Proses belajar mengajar yang membekali mahasiswa tak sekadar transfer ilmu bisa berlanjut. Tentu menulis buku bukan satu-satunya tujuan perkuliahan. Tetapi ini jarang dilakukan. Padahal kemanfaatannya sudah sangat jelas.

Editor: Yahya FR
Avatar
4 posts

About author
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Muhammadiyan Malang (UMM); kolomnis dan penulis puluhan buku. Ia juga seorang trainer kepenulisan.
Articles
Related posts
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…
Feature

Tarawih di Masjid Sayyidah Nafisah, Guru Perempuan Imam Syafi’i

3 Mins read
Sore itu, sambil menunggu waktu buka, saya mendengarkan sebuah nasyid yang disenandungkan oleh orang shaidi -warga mesir selatan- terkenal, namanya Yasin al-Tuhami….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *