Perspektif

Belajarlah dari Sejarah Kekuasaan yang Zalim

2 Mins read

Sebuah opini atau pendapat yang disampaikan, baik secara lisan atau tulisan, tidak selalu harus dimaknai sebagai serangan kepada orang-orang tertentu. Apalagi jika tafsiran itu terbangun di atas asumsi-asumsi politis.

Yang pasti, Al-Qur’an penuh dengan cerita masa lalu alias sejarah. Sejarah itu penting. Karena dengan sejarah, manusia belajar untuk berubah dan menjadi lebih baik di masa kini dan mendatang.

Sejarah Kekuasaan di Masa Lalu

Salah satu sejarah yang sering terulang dalam Al-Qur’an adalah sejarah kekuasaan di masa lalu. Ada kekuasaan yang berkarakter “ketakwaan”. Yaitu kekuasaan yang terbangun di atas nilai-nilai kebenaran (al-haq), kejujuran (al-amanah), dan keadilan (al-adl).

Tapi tidak sedikit pula kekuasaan yang terbangun di atas karakter “fujuur” (penyelewengan dan dosa). Kekuasaan ini penuh dengan ketidakjujuran dan kebohongan, ketidakadilan (kezaliman), bahkan kekejaman dan kebiadaban.

Dalam sejarah, Allah Yang Maha Rahman selalu menghadirkan dari kalangan hamba-hambaNya sendiri untuk mengoreksi kekuasaan fujuur (korup) itu. Musa AS diutus kepada Fir’aun, Ibrahim AS kepada Namrud, dan seterusnya.

Dalam usaha mengoreksi kekuasaan itulah, tidak jarang terjadi resistensi keras dari kekuasaan korup tersebut. Bahkan sering terjadi pembungkaman dan bahkan eliminir. Tidak jarang pula resistensi itu berwujud kekerasan dan kezaliman.

Kekuasaan yang Zalim adalah Awal dari Kejatuhan

Tapi ada satu fakta sejarah yang perlu diingat. Bahwa opresi atau kezaliman dan kekejaman penguasa kepada rakyatnya, bukan karena mereka kuat dan hebat. Sebaliknya, justru kezaliman dan kekejaman kekuasaan itu adalah indikasi kepanikan, ketakutan, kelemahan, bahkan awal dari kejatuhan.

Kapan dan kenapa Fir’aun tenggelam di laut Merah (Red Sea)? Kapan dan kenapa Namrud terbunuh oleh seekor nyamuk? Kapan dan kenapa Tsamud binasa? Kapan, kenapa dan bagaimana para penguasa zalim dalam sejarah hidup manusia mengalami kehancurannya?

Baca Juga  Pilpres 2024: Mengapa Kebebasan Beragama tidak Menjadi Isu Sentral?

Al-Qur’an memberikan jawaban yang pasti. Bahwa kebinasaan dan kehancuran kekuasaan yang zalim dan keji itu terjadi di saat rintihan dan suara rakyat kecil tidak lagi terhiraukan. Di saat mereka yang lemah dan terzalimi mengadukan nasib mereka ke Penguasa langit dan bumi.

Seringkali juga Allah tidak secara langsung menghabisi mereka. Justru diberi kesempatan demi kesempatan untuk sadar. Fir’aun diingatkan berkali-kali dengan berbagai peringatan (azab). Tapi peringatan itu tidak dihiraukan. Hingga pada akhirnya, ditenggelamkan oleh Allah di laut Merah.

Di saat-saat seperti itulah tabir samawi akan terbuka. Lalu antara doa-doa dan rintihan mereka dan Allah tiada lagi yang membatasi. Allah akan membuka pintu-pintu “nushroh” samawi yang wuhudnya kadang di luar jangkauan logika manusia.

Ini sekaligus indikasi bahwa harapan untuk penguasa zalim berubah sangat kecil. Kita tidak nafikan kemungkinan intervensi Ilahi. Tapi kezaliman penguasa terhadap rakyat kecil adalah penghalang besar antara manusia dan hidayahNya. Karena rakyat adalah “ra’iyah” yang seharusnya dijaga, digembala, diurus, diperhatikan. Bukan disakiti demi kelanggengan kekuasaan itu sendiri.

Realita Sandiwara Pemertahanan Kekuasaan

Realitanya, kekuasaan yang sedang mengalami kepanikan akan berbuat apa saja. Bahkan terkadang di luar nalar atau logika sehat manusia, untuk mempertahankan kekuasaannya. Terkadang, rasa malu itu menjadi semakin kecil. Kebohongan, sandiwara, tipuan, dan tidak jarang urusan rakyat banyak dijadikan “mainan” demi kepentingan semata.

Sebaliknya, upaya koreksi kekuasaan oleh rakyat dibalik menjadi kejahatan, usaha penggulingan, dan lain-lain. Ini adalah realita Qurani: “Dan jika dikatakan kepada mereka jangan merusak, mereka berkata kami ini orang-orang yang melakukan kebaikan.” (Al-Baqarah: 11)

Perilaku irrasionalitas kekuasaan itu tergambarkan misalnya ketika Namrud terjepit oleh logika Ibrahim AS. Dengan arogansi dan perasaan menguasai segalanya, dia menjerit bak kesurupan setan, “Uqtuluuhu wanshuruu alihatakum (bunuh Ibrahim dan tolonglah tuhan-tuhan kalian)!”

Baca Juga  Gegar Buku di Era Klasik Islam

Karenanya, teruslah berjuang dengan ikhlas dan benar (bahasa formalnya secara Konstitusional), konstruktif (tidak merusak), seraya menengadahkan kedua tangan ke langit. Insya Allah, ketukan langit itu akan terdengar. Dan pada masanya, janji itu akan tiba.

Innallaha laa yukhliful mii’aad (Allah takkan pernah ingkar janji)”. Percayalah!

Editor: Zahra

Avatar
45 posts

About author
Direktur Jamaica Muslim Center NY/ Presiden Nusantara Foundation
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Perspektif

Mendalami Gaya Socrates Bertauhid