Perspektif

Primitif: Kita Saat Ini atau Orang Baduy?

4 Mins read

Ketika pandemi COVID-19 melanda dunia dan Indonesia. Hampir semua kegiatan dilakukan dari rumah, bekerja dari rumah, sekolah dari rumah dan tetap berada di rumah jika tidak ada kepentingan di luar. Mall, bioskop, pariwisata, tempat hiburan, semua ditutup untuk menghindari keramaian.Kita terkurung di dalam rumah sendiri, menarik diri dari dunia luar, membatasi interaksi dengan dunia luar. Hal ini mengingatkan saya dengan suku  Adat Baduy yang pernah saya datangi.

Mereka memilih untuk mengisolasi diri dari dunia luar. Pandemi ini seakan memperlihatkan saya pada cara pandang dan pilihan hidup mereka. Justru sangat relevan di masa pandemi ini, yang akan membuat mereka survive di tengah pandemi, ketika dunia sedang melakukan seleksi alam.

Kemapanan Suku Baduy

Tahun lalu saya berkunjung ke daerah Kanekes tempat pemukiman Suku Baduy. Perjalanan memakan waktu sekitar satu setengah jam berjalan kaki dari parkiran kendaraan dan perkampungan terakhir.

Sepanjang perjalanan adalah hutan yang asri dan bersih dengan jalan setapak yang naik turun. Saya tidak menemukan sampah plastik sepanjang perjalanan, hanya sampah dedaunan yang berguguran.

Meski pemandangannya menyejukkan mata. Namun, sesuatu yang bermain di kepala saya justru perspektif orang luar kampung Baduy. Mereka mengganggap bahwa masyarakat adat Baduy adalah suku primitif dan tertinggal. Hanya karena masyarakat tidak menggunakan alas kaki, rumah mereka tidak dialiri listrik, dan mereka tidak menggunakan alat-alat berteknologi canggih

Saya merenung mengapa mereka dicap primitif. Apa sebenarnya kategori primitif itu? Jika mencari di mesin pencarian google, maka akan ditemukan bahwa primitif adalah kebudayaan masyarakat atau individu tertentu yang belum mengenal dunia luar atau jauh dari kemajuan teknologi. Sementara kata primitif bisa ditujukan kepada seseorang yang tidak mempunyai kesopanan dalam prilaku baik secara verbal ataupun fisik.

Sementara dalam KBBI, primitif adalah keadaan yang sangat sederhana, terbelakang baik dalam peradaban dan peralatan.  

Memilih kehidupan sesuai tradisi leluhur dalam kesederhanaan secara turun temurun, menjaga adat istiadat, menjaga dan menegakkan hukum adat, menjaga perilaku dan norma sesuai adat, bergotong royong, saling membantu, saling menjaga sesama komunitas adat.

Baca Juga  Meninggal Karena Covid-19 Tak Semata-mata Takdir Allah

Jika kita melihat bagaimana mereka menegakkan hukum adat tanpa pandang bulu, menegakkan norma dan ketetapan adat yang berlaku untuk semua yang di junjung dengan keteguhan hati. Mungkin kita akan mulai mengubah cara pandang kita, mungkin bukan mereka yang primitif tapi kita. Lihatlah di dunia “modern” kita bagaimana hukum ditegakkan.

Primitif Penyelamat Bumi

Mereka memang tidak menggunakan teknologi dan alat-alat canggih dan modern, seperti mesin. Mereka hanya menggunakan alat-alat sederhana. Namun, apakah kita pernah berpikir bahwa alat sederhana mereka dan aturan budaya merekalah yang membuat hutan tetap alami dan terjaga?

Bayangkan jika mereka menggunakan mesin pemotong kayu seperti yang digunakan para manusia “yang merasa modern” berapa kecepatan hutan terbabat habis oleh mesin-mesin dan berakhir dengan rusaknya lingkungan hidup kita.

Saya melihat mereka benar-benar menjaga alam tempat mereka tinggal, menjaga kelestariannya, tidak menggunakan bahan-bahan kimiawi yang merusak air, tanah atau tumbuhan, mereka menggunakan bahan-bahan alami yang tidak merusak alam dan lingkungan untuk keperluan sehari-hari.

Melihat air yang mengalir jernih dan bersih, hingga layak langsung di konsumsi dari sumbernya. Daerah yang bersih tanpa sampah plastik, sungai yang mengalir bersih sungguh pemandangan yang menyadarkan saya bahwa pilihan mereka untuk tetap menjaga adat dan budaya mereka adalah pilihan yang mulia. Setidaknya menjadi penyeimbang dari kerakusan kapitalis dunia luar.

Memang cara pandang mereka dan kita (manusia di luar adat) berbeda. Kita selalu mengukur sesuatu secara materi, itu sebabnya kita begitu bernafsu menumpuk-numpuk materi tanpa mempertimbangkan kehidupan dan lingkungan jangka panjang.

Hutan, bumi, air semua akan dikeruk sebanyak-banyaknya, kerakusan kita tak mengenal kata ‘kenyang’ dan kita tidak memikirkan sumber daya lain yang ikut hilang. Saat satu wilayah entah itu hutan atau daerah tambang dieksplorasi berlebihan. Maka ada flora dan fauna yang juga akan hilang, ketika habitatanya musnah. Selain itu, kita juga tidak pernah mengukur kekayaan lain di luar materi, seperti kebudayaan, tradisi, dan bahasa adalah juga kekayaan kita sebagai bangsa. Saat pembangunan dan tradisi luar masuk, tak bisa dihindari, budaya kita terkikis sedikit demi sedikit.

Baca Juga  Bulan Ramadhan adalah Bulan Literasi

Sudut Pandang Suku Adat Baduy yang Menjaga Semesta

Sedangkan orang-orang Suku Adat Baduy, memandangnya dengan cara berbeda. Mereka hidup dari alam, dan mengambil secukupnya, karena mereka tahu jika mereka memelihara alam, maka alam akan menyediakan segala kebutuhan mereka dengan berlimpah. Mereka memiliki kesadaran untuk mewariskannya pada anak cucu mereka. Itulah rumah mereka, ladang mereka, hutan mereka. Tempat mereka hidup dan tempat mereka kembali. Rasa kepemilikan bersama itulah yang membuat mereka menjaganya dengan sebaik-baiknya

Mereka tidak mengenal kapitalis, kehidupan mereka sama rata, sehingga tidak ada persaingan ingin menguasai lebih banyak. Tidak mengenal kata kaya dan miskin, mereka hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan harian, bertani dan berburu hanya untuk makan dan keberlangsungan hidup mereka.

Mereka tidak dipusingkan dengan biaya cicilan rumah, kendaraan, pendididkan, plesiran, bahkan internet.Di sekolah, kita dan anak-anak kita diajarkan berbagai ilmu, namun ilmu dasar mempertahankan hidup justru yang tidak ikut dipelajari.

Sementara anak-anak suku adat itu, mereka sejak dini diperkenalkan cara untuk hidup survive, cara bertani, cara berburu, menenun, membuat kerajinan dan gerabah. Mereka mengenal segala jenis tumbuhan di sekitar mereka, segala jenis tanaman obat, pohon yang baik untuk dijadikan rumah, atau hanya cocok untuk dijadikan kayu bakar. Semua ilmu pengetahuan itu berguna dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Mereka mengenal lingkungannya dengan baik, seperti mengenal telapak tangan sendiri. Mereka memang tidak mengenal teknologi seperti kita, tapi mereka mengenal sumber kehidupannya seperti kita mengenal fungsi-fungsi telepon genggam kita. Bahkan rasanya mereka mengenalnya dengan lebih baik.

***

Seberapa banyak pengetahuan kita tentang apa yang kita makan, rempah-rempah yang menjadi bumbu dalam makanan kita, apakah kita mengetahuinya satu persatu? Seberapa banyak pengetahuan kita tentang obat yang kita minum, kandungan dan fungsinya? Seberapa banyak pengetahuan kita tentang sumber daya hayati flora dan fauna di sekitar kita? Apakah kita tahu mungkin saja bunga di sudut rumah kita adalah obat penurun panas, atau bahkan tanaman hias kita justru tanaman beracun, mungkin rumput merambat dan liar yang kita anggap hama justru adalah obat mujarab untuk meredakan sakit punggung. Apakah kita tahu?

Baca Juga  Kemerdekaan Mengelola Perguruan Tinggi

Pandemi ini benar-benar membuat saya berpikir, bahwa pilihan hidup mereka menjaga tradisi dan adat adalah pilihan yang tepat. Mereka yang tidak terpapar dunia luar dan mampu hidup mandiri dengan sumber daya lingkungan mereka sendiri. Mulai dari makanan, obat-obatan hingga pakaian.

Sementara kita yang di luar, sibuk kembali bertani, menanam sumber makanan dalam pot-pot kecil, dan berusaha beternak sebagai usaha untuk mandiri pangan, mereka sudah melakukannya sejak dahulu.

Keinginan Kembali Ke Masa Lalu

Saat kita sibuk berusaha kembali ke alami, mengurangi penggunaan kantong plastik, berusaha kembali menggunakan bungkus daun, kertas, anyaman bambu dan rotan, memakai kantong belanja dari kain, mematikan lampu dan alat-alat elektronik satu jam dalam setahun, mereka telah melakukannya puluhan atau mungkin ratusan tahun lalu

Mungkin ketika mereka melihat kita menggunakan daun dan peralatan bambu, tas belanja dari kain, sedotan dari bambu, peralatan dapur dari kayu dan gerabah, lalu mematikan lampu satu jam dalam setahun dengan bangga. Sembari mendapuk diri sebagai pribadi yang mendukung gerakan go green untuk menyelamatkan bum. Mungkin mereka hanya akan tersenyum, “Aku wes kaet jaman Mbah Moyang ku rek”.  dan mereka tidak mendapuk diri bahwa apa yang mereka lakukan adalah upaya menyelamatkan bumi. Ya apa yang akan di selamatkan, jika mereka tak pernah merusaknya.

Lalu siapakah yang primitif?

Editor: Wulan
Siti Zubaidah
1 posts

About author
Ibu rumah tangga yang gemar baking, fotografi, dan menulis.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds