Perspektif

Ketika Masjid Bukan Lagi Pemersatu Umat

3 Mins read

“Siapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun baginya semisal itu di surga,” kata Rasulullah SAW. Hadis ini merupakan salah satu hadis sahih yang menjadi dasar bagi setiap muslim untuk berlomba-lomba memberikan infak dan sedekah untuk pembangunan masjid di lingkunganya. Harapannya, masjid menjadi pemersatu umat.

Maka tak heran kalau kita pada saat ini bisa melihat begitu banyak masjid (walaupun  dalam lingkungan sering dikenal juga istilah langgar atau musola) berdiri, ibaratnya seperti jamur di musim penghujan. Tak jarang kita juga melihat panitia pembangunan masjid yang cukup “kreatif” dengan meletakkan kotak infak di jalan-jalan yang ramai dilintasi kendaraan.

Ketika Masjid Memecah Belah

Bahkan banyak pada saat ini pengurus lingkungan baik rukun warga dan rukun tetangga yang merasa kurang sreg kalau tidak ada masjid di lingkungannya. Banyak pemilik tanah yang berlomba-lomba mewakafkan tanah menjadi masjid. Bahkan kalau di suatu kota terdapat ormas keagamaan maka masing-masing ormas akan mendirikan masjidnya. Maka akibatnya kita bisa lihat banyak sekali masjid atau mushola yang berdiri saling berdekatan satu sama lain.

Sejatinya masjid bukanlah sekedar tempat salat untuk menyembah sang pemilik semesta raya ini. Masjid merupakan simbolisasi persatuan umat Islam. Selain itu masjid juga merupakan sarana bersosialisasi bagi setiap umat Islam.

Masjid adalah pusat dari peradaban Islam. Maka di zaman Nabi Muhammad SAW, masjid bisa berubah dari fungsi sebagai sarana salat menjadi fungsi politik dan perang. Masjid juga menjadi tempat Nabi untuk menjumpai tamu-tamunya yang di antaranya adalah pemuka agama Kristen dan Yahudi.

Fenomena berdirinya banyak masjid di lingkungan kita merupakan sebuah fenomena yang di satu sisi layak kita sukuri. Ini sebuah pertanda peningkatan kemampuan finansial umat Islam. Bagaimanapun juga membangun masjid membutuhkan uang, jadi anggaplah bahwa berdirinya masjid-masjid juga menunjukkan kemampuan umat Islam untuk membangun sebuah infrastruktur secara mandiri. Meskipun faktanya dana itu dikumpulkan dari kenclengan para pengguna jalan raya, bukan dari jamaah atau warga di sekitar masjid.

Baca Juga  Vaksinasi COVID-19, Siapa Takut?

Kehadiran sebuah masjid di lingkungan kita idealnya menjadi sarana pemersatu umat Islam. Karena hanya di masjid umat Islam dapat menjumpai saudaranya setiap hari sebanyak lima kali sehari, melakukan gerakan yang sama di pimpin oleh satu orang imam. Namun dengan semakin banyaknya masjid berdiri filosofi kehadiran masjid menjadi tidak tercapai dan justru menjadi alat pemecah belah persatuan umat. Lha wong yang ketemu jadinya lebih sedikit!

Bukan Lagi Pemersatu Umat

Bayangkan saja jika di dalam setiap rukun tetangga atau rukun warga berlomba-lomba mendirikan masjid, maka yang terjadi jamaah yang awalnya katakanlah ada 200 orang maka akan terpecah-pecah menjadi kelompok yang lebih kecil. Ini ibaratnya sapu lidi yang jika diikat dalam ikatan yang besar akan menjadi kuat namun jika diceraiberaikan akan menjadi rapuh dan mudah dihancurkan.

Maka tak heran akibatnya kita sering melihat masjid yang pada saat salat fardu hanya berisi satu baris saja atau bahkan beberapa orang saja, terkadang tidak sampai sejumlah jari kita. Hal ini sangat kontradiktif dengan filsosofi kehadiran masjid yang sebenarnya adalah menjadi pemersatu umat Islam dan menjadi ruang bersama.

Pada saat ini seolah-olah setiap kelompok masyarakat baik itu level RW, RT atau kelompok lainnya berlomba-lomba untuk membangun masjid dan mengelola sesuai dengan aspirasi pengurusnya, bukan aspirasi jamaahnya yang sangat beragam.

Maka kita bisa lihat di sebuah masjid, biasanya kajiannya akan seragam sesuai dengan persepsi pengurusnya. Jika pengurusnya termasuk kelompok yang moderat maka kajiannya akan berbeda dengan masjid yang pengurusnya berasal dari kelompok konservatif.

Alasan lain membangun masjid baru juga biasanya karena masjid yang ada terlalu jauh (atau sebenarnya memang kita yang terlalu malas untuk bergerak atau berjalan kaki), sehingga perlu dibangun masjid yang lebih dekat dengan warga.

Baca Juga  Hagia Sophia: Museum yang (Kembali) Menjadi Masjid

Masjid dan Fanatisme Golongan

Menariknya juga terkadang pembangunan masjid yang saling berdekatan juga didorong pada ketidakcocokanan dengan cara pengurus masjid sudah ada dalam mengelola masjid. Ada yang merasa aspirasinya tidak diakomodasi oleh pengurus masjid yang ada, ada juga yang merasa berbeda aliran. Jadi alih-alih memberi masukan yang konstruktif terhadap pengurus masjid yang ada lebih baik membangun masjid baru saja.

Namun banyak juga yang membangun masjid di sekitar rumahnya atau lingkungannya hanya karena memahami hadis secara tekstual namun tidak memahami kontekstual dan filosofi sebuah masjid. Alih-alih memakmurkan masjid yang telah ada atau memperbaiki secara berjamaah, banyak yang malah terdorong untuk membangun masjidnya sendiri di tanah wakafnya sendiri.

Belum lagi kehadiran masjid yang dibangun oleh ormas keagamaan seringkali memunculkan fanatisme golongan. Saya sering mengamati kejadian bagaimana seorang jemaah masjid katakanlah yang berasal dari ormas A enggan untuk salat di dalam masjid yang dibangun oleh ormas B. Begitu juga sebaliknya.

Maka tak heran jika di lingkungan kita akan sering mendengar ada masjid ormas A dan masjid ormas B dengan tafsiran fikih ibadah yang tentunya berbeda.

Seringkali masjid dibangun dengan besar dan megah sementara di sisi lain, jemaahnya nyaris tidak ada. Masjid yang dibangun juga sangat kontras dengan kondisi rumah-rumah penduduk di sekitarnya yang terkadang jauh dari kata layak.

***

Sepertinya banyak umat Islam yang terpaku dengan ibadah yang sifatnya vertikal dan melupakan ibadah yang sifatnya horizontal. Apa mungkin ini pertanda kiamat seperti  yang pernah diungkapkan oleh Nabi Muhammad SAW di dalam hadisnya:

Kiamat tidaklah terjadi hingga manusia berbangga-bangga dalam membangun masjid

Ada baiknya umat Islam mengatur dan membatasi jumlah masjid yang dibangun di lingkungannya. Katakanlah satu rukun warga cukup satu masjid  dengan kapasitas yang memadai yang dapat menampung jemaah di satu RW.

Baca Juga  Mengintip Perkembangan Islam di Spanyol

Sisanya, dana yang ada ataupun tanah wakaf yang ada bisa dialihkan entah menjadi hutan atau taman kota yang saya yakin sama manfaatnya dengan membangun masjid. Ingat loh, tumbuh-tumbuhan itu menghasilkan oksigen yang dibutuhkan oleh semua mahluk hidup!

Editor: Nabhan

Avatar
4 posts

About author
Memikirkan yang bisa dipikir, menuliskan yang bisa ditulis
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *