Perspektif

Pandangan Dunia Charlie Hebdo

8 Mins read

Alkisah ada dua delegasi Athena yang menuju Persia untuk bertemu kepala negara, raja-diraja bergelar Syahansyah. Intelektual Muslim lulusan Universitas Al-Azhar, Dr. Abas Mansur Tamam dalam Islamic Worldview (2017) bercerita bahwa saat tiba di perbatasan, para tamu itu dijamu, dimuliakan, dan ditawarkan sesuatu, “Maukah kalian berdua menjadi hamba tuanku Syahansyah?”

Merasa aneh, kedua tamu itu berkata, “Mungkin, karena anda belum pernah mencicipi kebebasan. Jika anda pernah mencicipinya, pasti anda akan mempertahankannya, meskipun harus berperang dengan senjata kuku dan gigi!”

“An-nasu ‘ala dini mulukihim”
(Manusia tergantung pada agama/kebiasaan raja mereka)

Ungkapan Orang Arab

Perempuan Casablanca

Zineb El Rhazoui (lahir 1982) sedang berlibur di rumahnya di Casablanca, Maroko. Tapi pekerjaan tetap jalan. Setelah kirim artikel tentang ‘pandangan ISIS tentang wanita’ kepada editornya di Charlie Hebdo, dia kembali tidur. Dua jam kemudian datang kabar dari ujung telepon: “Charlie Hebdo diserang!”

Dua belas orang terbunuh; 8 koleganya yang kolumnis, kartunis dan copy editor (Cabu, Elsa, Charb, Honore, Maris, Mustapha, Tignous, dan Wolinski), dan 4 selainnya yang meliputi pekerja, polisi, bodyguard, dan travel writer (Boisseau, Brinsolaro, Merabet, dan Renaud). Para korban itu ada yang atheis, Yahudi, dan muslim.

Zineb sadar, bahwa dia juga jadi target. “Kita yang masih hidup ini,” kata dia yang bergabung di Charlie periode 2011-2017, “hanya hidup karena kebetulan kecil.” Sebagai atheis dan sekularis, dia memaknai lolos dari attack itu tidak sebagai berkah untuk dia berubah. Terlihat dia masih tetap sama, penganut sekularisme akut.

Aktivitasnya di Charlie membuat dia dicari-cari, bahkan difatwa mati. Karena sebagai jurnalis di situ, dia dianggap jelas-jelas menghina Nabi Muhammad saw dengan kesadarannya. Perempuan yang pernah menjadi asisten dosen di Kairo dan belajar bahasa Arab, Inggris, dan Prancis di Sorbonne itu memang kritis, tapi keluar pakem, karena menghujat Islam–sama seperti koleganya.

Charlie Hebdo yang Anti-Klerikal

Charlie Hebdo adalah majalah yang anti-klerikal, yakni menentang hak istimewa para tokoh atau imam dalam agama. “Mereka terkenal karena membuat provokasi terhadap Islam,” kata Scott Sayare, di The Atlantic (11/1/2015). Pemikiran ini berkembang sebelum Revolusi Prancis yang ketika itu terjadi clash antara kaum revolusioner vs gereja. Gerakan mereka makin keras ketika kawin-mawin dengan liberalisme dan nasionalisme. Prancis, Italia, Spanyol, dan Meksiko adalah negara yang kuat gerakan tersebut.

Setelah menang Revolusi Prancis–yang berujung pada sekularisme–gereja kemudian diubah menjadi ‘temple of reason’ atau “biara nalar”. Maksudnya, tempat orang menggunakan nalar, logika, dan melempar jauh-jauh agama. Seiring itu, dekristenisasi, kebebasan, dan agama moral (moral religion) juga bangkit. Prancis jadi sekuler, dan itu dipertahankan sampai di masa Presiden Macron.

Filsuf Muslim Syed Muhammad Naquib Al-Attas (lahir 1931) dalam Islam and Secularism mengritik bahwa sekularisasi adalah penerapan yang salah filsafat Yunani dalam teologi dan metafisika. Dia menulis: “Sekularisasi adalah hasil penerapan yang salah terhadap filsafat Yunani dalam teologi dan metafisika Barat, yang pada abad ke-17 dengan logis mengantarkan kepada revolusi saintifik, yang dicetuskan Rene Rescartes yang membuka pintu pada keraguan dan skeptisisme.” Revolusi ini, lanjut Al-Attas, membawa pada atheisme, agnotisme, utilitarianisme, materialisme dialektik, evolusionisme dan historisisme dari abad ke-18 sampai sekarang.

Semangat anti-klerikal–sebagai bagian dari sekularisme–itu terlihat dari bagaimana mereka anti kepada tokoh agama. Mereka bebas saja menggambar misalnya Nabi Muhammad saw, yang tujuannya tidak sekedar ekspresi imajinasi tapi untuk menghina orang Islam. Kepada Associated Press, statement Imam Masjid Agung Paris, Dalil Boubaker pada 2012 masih relevan hingga kasus 2020 yang berkata: “Kartun ini adalah provokasi yang memalukan, penuh kebencian, tidak berguna, dan bodoh!”

Ketika jadi pembicara di International Conference on Free Expression and Conscience yang digelar di London (22-24 Juli 2017), El Rhazoui mengritik keras para imam moderat. Kata dia, para moderate imam itu hanya mengutuk terorisme, padahal tindakan itu sudah dikutuk oleh hukum negara. Dia malah memprovokasi agar para imam berani melawan teks keagamaan mereka.

Baca Juga  Konversi Hagia Sophia dan Simbolisasi yang Menjenuhkan

Di sini, El Rhazoui tidak hanya melawan imam, tapi juga sudah memprovokasi agar para imam melakukan kritikan terhadap teks agamanya sendiri. Ciri anti-klerikal terasa sekali bukan? Dia ingin dekonstruksi posisi tokoh agama yang sakral menjadi biasa-biasa saja, dan melawan teks yang telah diyakini kebenarannya. Anti-klerikal ini kelihatannya merupakan dampak dari perang antara sains dan agama yang ada di Eropa, dan terus dipertahankan oleh kalangan atheis dan sekuler.

Kritis yang Pasifis-Provokatif

Zineb El Rhazoui adalah contoh dari ‘kritikus Islam yang paling sengit’ yang ingin ingin menghancurkan apa yang dia sebut sebagai ‘islamo-fascism’. Fasisme Islam yang mereka pahami adalah paham dalam Islam yang meniscayakan otoritas mutlak dan kepatuhan kepada para tokoh agama. Serangan terhadap sosok Nabi Muhammad saw, sebagai Nabi terakhir dengan membawa agama Islam adalah bagian dari intensi itu.

Dia juga melawan subordinasi terhadap perempuan. Dibesarkan di Maroko, dia melihat banyak kasus perempuan yang tidak hanya subordinat dari laki-laki tapi juga diopresi oleh laki-laki muslim. Dia melawan itu, bahkan juga mengadvokasi perempuan yang teraniaya. Di sudut ini, terlihat dia membela ‘kaum tertindas’ (mustadh’afin) akan tetapi dia keliru melihat Islam dalam tindakan satu dua orang, atau satu komunitas tertentu.

Jika belajar Al-Qur’an, dia akan dapat bagaimana penghormatan Islam yang tinggi kepada perempuan. Bahkan, dalam hadis juga derajat ibu itu tiga kali lebih tinggi dari ayah. “Yang terbaik di antara kalian,” kata sabda Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “adalah yang terbaik pada istrinya. Dan, saya adalah orang yang paling baik terhadap istri.”

Tak cukup hanya Al-Qur’an, dan hadis, tapi juga seharusnya El Rhazuoi bisa melihat kisah kepribadian beliau yang mulia terhadap perempuan. Banyak penulis Islam dan Barat yang sudah menulis itu, akan tetapi kenapa harus berat sebelah? Di sini, saya lihat, radikalisme dia terhadap Islam itu disebabkan karena trauma di usia perkembangan, entah karena tidak dapat pendidikan yang baik dari orang tuanya (ayahnya Maroko, ibu Prancis) atau karena pernah trauma di usia sekolahnya–misalnya ketika dia dikritik ketika pakai cat kuku berwarna hitam ketika usianya sedang pancaroba.

Jemaah Charlie–kira-kira begitu, “kelompok Charlie”–selain kritis juga bercorak pasifis-provokatif, yaitu kecenderungan untuk melawan kekerasan secara provokatif sebagai sarana menyelesaikan pertikaian. Mereka lihat ada problem antara ‘nilai Prancis’ versus ‘nilai Islam’, maka mereka gerakan perlawanannya berbasiskan pada ‘kekerasan simbolik’ yang provokatif. Itu solusi menurut mereka.

Dengan pikiran seperti itu, maka gerakan mereka tidak akan berubah, karena sudah jadi ‘kemapanan baru’, sebagai penemuan cara hidup ala Prancis di bawah laicite atau sekularisme. Gerakan pasifis-provokatif itu sudah jadi semacam batu keras yang sulit sekali diubah, walaupun dilawan dengan senjata, atau dibunuh seperti yang menimpa rekan-rekannya.

Militansi untuk jadikan pasifis-provokatif sebagai jalan perjuangan cita-cita memang kuat sekali. Kelompok ISIS misalnya, mengancam Al Rhazoui cs dengan kalimat ‘we will not close our eyes before we will separate your head from your body‘, akan tetapi, ya business as usual, tetap mereka terbitkan dengan tidak kalah provokatif.

Hidup-Mati untuk Sekularisme

Kru Charlie Hebdo umumnya adalah atheis, agnostik, dan sekularis. Stephane Carbonnier, alias Charb (1967-2015), adalah karikaturis Charlie yang jadi korban serangan Al-Qaeda. Dia atheis. Atheis radikal, bahkan. Pada 2012, dia bilang bahwa dia tidak takut akan retaliasi–pembalasan–dari pihak Islam, karena dia ‘tidak ada anak dan istri, tidak ada mobil, tidak ada hutang’, dan dengan militansinya dia berkata: “saya lebih suka mati berdiri daripada hidup berlutut!”

Baca Juga  Macron Tidak Memusuhi Islam, tapi "Islam Radikal" di Prancis

Sangat militan. Tahun 2013, Al-Qaeda tetapkan dia dalam ‘most-wanted list‘ karena menghina Islam. Dia yakin saja bahwa apa yang dia lakukan itu benar; sebagai jurnalis majalah satir yang mengamalkan secara ‘kaaffahfree of speech dengan the right to blaspheme. Hak untuk menghujat.

Militansi Charb juga terbaca dari bukunya, Open Letter: On Blasphemy, Islamophobia, and the True Enemies of Free Expression, yang diberi pengantar Adam Gopnik. Terbit setahun setelah dia kembali ke alam baka, ‘suara dari alam kubur’ itu menekankan bahwa perbedaan pandangan tidak lantas membuat orang Islam berhak untuk menembak.

Walau religio-phobia, ketakutan terhadap agama, atheis Charb lebih takut lagi terhadap ekstremisme orang Islam. Dia menyadari itu, walaupun dalam statement lain dia terlihat berani, dan seperti tidak ada takut-takutnya. Dalam buku itu, dia kayak dapat kesadaran tertentu untuk beri nasihat kepada kawan-kawannya agar mengenali ‘lereng licin’ yang ditimbulkan oleh kartun Charlie.

Kurang lebih dia bilang, bahwa jika ekstremis dari Buddha mulai membunuh, maka kita harus berhati-hati dalam menggambarkan tentang mereka. Begitu juga jika dapat perlawanan dari vegetarian–orang yang tidak makan daging hewan–maka kita harus menghormati wortel (berarti jangan makan daging, tapi makan wortel saja). Juga, dia bilang–masih dalam konteks ‘jika ada perlawanan’–kita harus menghormati persaudaraan para Nabi (the brotherhood of prophet) dari tiga agama monotheistik, Yahudi, Kristen dan Islam.

Analisa saya, ini menjadi semacam kekhawatiran juga bagi perjuangan mereka. Atau, mungkin semacam kegamangan antara idealisme sekularisme dengan penghormatan terhadap identitas orang lain. Atau, bisa jadi itu semacam strategi saja dari perlawanan anti-klerikal yang mungkin bisa naik dan bisa turun. Tapi, saya lihat juga militansinya memang sangat kuat untuk sekularisme. Mungkin karena dia punya azzam kuat sebagai penerus tradisi surat kabar satir Prancis yang; hidup dan mati untuk sekularisme.

Kebebasan Berbicara

Kebebasan berbicara alias freedom of speech dipahami sebagai hak untuk mengutarakan pendapat secara bebas tanpa tekanan. Termasuk memiliki right to blaspheme, hak untuk menghujat. Semua bisa mereka hujat, mulai dari para Nabi sampai penguasa dan politisi. Ketika bicara di Chicago pasca serangan ke Charlie Hebdo (2015), Zineb El Rhazoui bercerita bahwa mereka juga menghujat Marie Antoinette (1755-1793), Ratu Prancis terakhir sebelum Revolusi Prancis sebagai “whore“: perempuan sundal.

Antoinette dihujat seperti itu karena dianggap sebagai perempuan korup, amoral, dan tidak peduli dengan penderitaan orang lain. Banyak orang benci dia, bahkan berharap dia mati. Charlie Hebdo menangkap ‘suara kebencian’ itu dan dengan semengat anti-klerikal–yang merambah pada anti-tokoh atau otoritas–mereka serang juga lewat kartun karena kartun dianggap lebih cepat mempengaruhi masyarakat ketimbang artikel panjang.

Satire atau sindiran mereka pakai sebagai senjata melawan ‘kemapanan’ dengan kartun menghibur dan bercanda. Peluru sindiran dan hujatan mereka sematkan dalam konteks kekuasaan, agama, uang, politik, dan lain sebagainya. Mereka tidak takut karena merasa beroperasi di bawah sistem sekularisme Prancis, bukan di negara syariah. Tapi, yang mereka tidak mengerti–ini sekaligus menjadi penjelas–bahwa mereka tidak punya pakar Islam yang mengerti Islam secara utuh dan memahami bagaimana umat Islam berpikir dan bertindak.

Analisa Terorisme

Kekosongan pakar Islam di media itu membuat balas dendam kelompok Islam selalu panas, bahkan meningkat. Minimal ada 11 serangan yang dilakukan orang Islam pasca serangan terhadap Charlie Hebdo pada 7 Januari 2015. Serangan itu umumnya dilakukan oleh ‘lone wolf‘ (satu atau dua orang, atau beberapa orang secara koordinatif), menyasar lokasi: seperti gedung konser, stadion, restoran, supermarket, bar, dan gereja, atau orang seperti: jurnalis, pendeta, polisi, dan tentara.

Selain menggunakan senjata otomatis Kalashnikov, peluncur granat, granat tangan dan pistol, mereka juga menggunakan alat sederhana seperti palu dan pisau. Aneka senjata itu kabarnya tidak sulit diperoleh karena dimiliki oleh para geng di kota Paris. Kasus Koubachi bersaudara dan Amedy Coulibaly, menjelaskan itu.

Baca Juga  Salafi Nahdliyin: Faksi Konservatisme NU

Serangan terhadap Paris sejak 2015 itu tidak terlepas dari sentimen keislaman. Motif ‘balas dendam atas Nabi yang dilecehkan’ itu mereka katakan yang dibarengi dengan takbir, seperti kasus serangan kepada Samuel Paty dan serangan Katedral Nice–keduanya tahun 2020–sampai pada serangan terhadap tentara penjaga Museum Louvre dan serangan di Bandara Orly pada 2017.

Sebagai muslim kita sangat berharap bahwa kalimat takbir ‘Allahu Akbar’ tidak bermakna kematian. Kita ingin kalimat mulia tersebut menjadi ucapan hari-hari kita, di pagi dan petang sebagai bentuk kesalehan personal. Dan, kalimat mulia itu juga menjadi ruh dakwah Islam yang damai yang rahmat bagi semesta alam (QS. Al-Anbiya: 107).

Respon Islam

Surat Al-Baqarah 143 menggambarkan umat Islam sebagai umat terbaik, ummatan wastathan yang berciri: adil, baik, tengah, dan seimbang. Intelektual Muslim Dr. Muchlis M. Hanafi, berkata: “Seseorang yang adil akan berada di tengah dan menjaga keseimbangan dalam menghadapi dua keadaan.” Yaitu, keadaan terlalu berlebihan (ghuluw) dan ekstrem (tatharruf).

Maka, kendati problem menimpa umat Islam seperti kasus Charlie Hebdo, maka umat Islam juga harus tetap menjadi ummatan wasathan; mengutuk tapi tidak pro-kekerasan. Kutukan terhadap Charlie dan statement Presiden Macron–yang membela Charlie dan mengatakan ‘krisis Islam’–yang diikuti dengan serius boikot produk Prancis itu sudah sangat masuk akal, ketimbang misalnya melakukan tindakan kekerasan.

Sesungguhnya, tak mungkin di dunia ini manusia satu visi, atau satu agama. Allah swt berfirman: “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu. Akan tetapi, mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.” (QS. Al-Kahfi: 29)

Perbedaan sudah jadi sunnatullah: ada yang memilih Islam, ada non-Islam, bahkan ada yang atheis. Tugas muslim adalah berdakwah tanpa ada paksaan dan kekerasan, sebagaimana firman-Nya: “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah : 256). Berdakwah tetap jalan, namun ilmu dan akhlak mulia Islam tetap dikedepankan dengan dialog.

Orang-orang Charlie Hebdo yang atheis dan sekularis itu sesungguhnya orang yang malang. Mereka tidak dapat petunjuk kebenaran. Mereka digambarkan Al-Qur’an dalam konteks orang yang seperti ini: “Mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain persoalan waktu.” (QS. Al-Jatsiah: 24.

Manusia dahry (atheis) ini butuh untuk dialog, bahkan dibimbing untuk menemukan kebenaran. Tidak mustahil orang yang sebelumnya anti kepada Islam malah berubah cinta kepada Islam. Selain dari hidayah, peran dialog, akhlak dan kalimat yang baik, banyak sekali membantu transformasi orang jahat menjadi baik. Dan, sejarah sudah banyak sekali menceritakan itu.

Saat ini, Prancis adalah negara dengan tingkat atheisme yang tinggi sekitar 45-54 persen. Angkat moderat misalnya kita taruh saja 30 persen, itu sudah banyak. Orang nomor satu mereka juga ada yang atheis, seperti Presiden Francois Hollande, Walikota Paris Anne Hiladgo juga atheis. Sedangkan Presiden Emmanuel Macron, tulis Guardian (26/6/2018) adalah seorang penganut agnostik, yang percaya bahwa ada tidaknya Tuhan (atau hal-hal spiritual) adalah sesuatu yang tidak diketahui dan tidak dapat diketahui.

Maka, kembali pada pembuka tulisan ini, teranglah info bahwa militansi Charlie Hebdo yang atheis sekularis itu tidak terlepas dari pemimpinnya yang juga agnostik, bahkan sistemnya juga sekuler. Sedangkan, pertahanan mereka terhadap kebebasan itu sama dengan cerita delegasi Athena di atas yang memuja kebebasan, bahkan akan mempertahankan dengan senjata kuku dan gigi.

Editor: Nabhan

Yanuardi Syukur
13 posts

About author
Pengajar Antropologi Sosial Universitas Khairun, Ternate dan Kandidat Doktor Antropologi FISIP UI.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds