Inspiring

Ali Shariati dan Humanisme Islam

3 Mins read

Permasalahan manusia adalah salah satu permasalahan terpenting dibandingkan dengan permasalahan lainnya, sehingga dewasa ini kehidupan beragama menyoroti betapa penting kedudukan manusia yang diberi amanat sebagai pengatur di muka bumi ini. Manusia diposisikan sebagai fondasi beragama, yang kerap kali disebut dengan humanisme. Dalam Islam sendiri, Ali Shariati menjadi salah satu tokoh yang mengulas tentang humanisme Islam.

Humanisme yang menjadi fondasi beragama memberikan martabat manusia sebagaimana yang telah menjadi fitrah bagi kehidupannya. Berbeda dengan agama di masa lalu, yang menempatkan manusia tanpa daya jika dihadapkan dengan perintah agama. Di mana manusia diposisikan bersikap merendah dan penyerahan mutlak dengan doa serta sembahyang. Zaman tersebut dikenal sebagai zaman kegelapan (dark age), disusul dengan zaman renaissance.

Renaissance berkembang seiring dengan humanism. Pada saat itu humanisme menjadi ajaran modern, dengan mengagungkan manusia serta esensialitasnya dalam jagat raya ini, disebabkan agama zaman pertengahan luput akan hal itu. Hal ini terjadi sejalan dengan maraknya praktek pendegradasian manusia dalam struktur jagat raya. Meski paham ini bermula di negara Athena, namun telah menjadi suatu paham universal bagi peradaban modern di Barat. Memang pada dasarnya humanisme menjadi reaksi yang sangat keras dari filsafat skolastik serta agama Kristen zaman pertengahan.

Ali Shariati dan Penciptaan Manusia

Ali Shariati lahir di Iran, ia merupakan sosiolog Islam yang merumuskan kembali kedudukan manusia sebagaimana keotentikan ajaran agama, dengan menunjukan bahwa Islam telah lama menjunjung tinggi kedudukan manusia sejak saat diciptakan. Banyak ayat yang menjelaskan terkait dengan kedudukan manusia dengan mendudukan manusia dalam kedudukan yang tinggi dibandingkan dengan entitas lainnya. Ayat-ayat tersebut pun menyiratkan adanya humanisme ala Islam.

Baca Juga  Semangat Sri Kusmiyarsih Membangun Madrasah Berbasis Kewirausahaan

Manusia pertama dalam Islam adalah Adam AS. Ketika hendak diciptakan, seluruh malaikat dikumpulkan  serta diajak musyawarah terkait dengan penciptaannya, yang hendak Tuhan jadikan wakilnya di muka bumi.  Jika dilihat, tidak ada satupun zaman yang menempatkan kemuliaan kedudukan dan kesucian misi, bahkan humanisme pasca renaissance sekalipun. Menurut Ali dalam buku Tugas Cendekiawan Muslim, ketika Tuhan memilih wakilnya, dengan demikian Tuhan telah menetapkan status spiritual tertinggi sehingga diberikan kepercayaan untuk menjadi wakil-Nya di muka bumi.

Dalam beberapa ayat juga dijelaskan terkait dengan pencipataan manusia, yang berasal dari saripati tanah (Q.S 77:20). Meski dalam ayat tersebut manusia diciptakan dari air hina, namun dari setetes air hina Tuhan menciptakan dengan kondisi yang sangat baik (Q.S. 32:7).

Ali menjelaskan bahwa terdapat dua hakikat dalam diri manusia, lumpur dan roh suci, manusia kerapkali memandang simbol lumpur merupakan suatu kenistaan dan kehinaan. Sedangkan roh yang berasal dari Tuhan merupakan simbol dari kemahasempurnaan serta kemahasucian. bagian manusia yang suci dan sempurna adalah  rohnya, di sisi lain juga memiliki dimensi lumpur. Dua dimensi ini justru menjadikan manusia lebih sempurna dibandingkan dengan entitas lain yang berada di alam raya ini.

Penciptaan perempuan esensinya adalah sama dengan penciptaan manusia pada umumnya, berasal dari saripati tanah (Q.S 75:35). Berkaitan dengan penciptaan manusia yang berasal dari tulang rusuk Adam, rusuk yang dimaksud adalah hakikat, bukan bermakna literal sebagaimana pemahaman yang beredar. Bahkan, al-Qur’an pun tidak menyebutkan bahwa penciptaan perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

Intelektual Manusia yang Unggul

Konsep penciptaan perempuan dalam humanisme Islam berbeda dengan konsep yang lain, sekelas Nietzsche-pun masih membedakan laki-laki dan perempuan yang diciptakan dari sumber yang berbeda. Akan tetapi, masih menurut Nietzsche, laki-laki dan perempuan sering melakukan interaksi satu sama lain selama berabad-abad sehingga menemukan titik persamaan. Meskipun ujungnya memandang sama laki-laki dan perempuan, tetapi pada hakikatnya mereka tetap cenderung sulit menerima bahwa laki-laki dan perempuan sama derajatnya.

Baca Juga  Syafii Maarif: Sisi Lain yang Jarang Diketahui

Ali Shariati menunjukan bahwa dimensi intelektual manusia lebih unggul dari makhluk Allah manapun, sekalipun makhluk tersebut diciptakan dari cahaya. Dalam penciptaannya terbukti manusia diciptakan lebih superior dibandingkan makhluk yang lain. Tuhan menguji Malaikat untuk menyebutkan nama-nama, tetapi malaikat tidak dapat menyebutkan satu namapun. Sedangkan manusia pertama, Adam, dengan lancar dan ingat menyebutkan nama-nama. Dengan ujian tersebut, secara tidak langsung manusia lebih unggul daripada makhluk lainnya.

Sujudnya malaikat kepada manusiapun bukan sekedar perintah Tuhan, Ali melihat bahwa ada semacam pengakuan malaikat terkait dengan kelebihan manusia dalam ilmu pengetahuan. Adam mewakili manusia lainnya membuktikan bahwa kenyataannya dalam Islam bahwa keluhuran manusia diunggulkan dengan ilmu pengetahuannya yang lebih menonjol daripada malaikat yang diciptakan dari cahaya.

Manusia Sebagai Rekan Tuhan

Tuhan telah menawarkan amanat khalifah kepada bumi, matahari, flora, fauna serta unsur lainnya, mereka tidak menyanggupinya. Tuhan kemudian menawarkan kepada manusia dan mengamanahkan manusia untuk mengatur di dunia, dalam hal ini tentu sangat berbeda dengan konsep yang ada dalam pandangan Kristen abad pertengahan, yang menganggap manusia tanpa daya di hadapan Tuhannya. Ali menjelaskan bahwa dalam Islam, manusia berdaya di hadapan Tuhannya, dikarenakan manusia merupakan rekan Allah, pemegang amanah, teman dekat-Nya, sekaligus murid yang diajari-Nya. Demikian Tuhan menganggap bahwa manusia diamanahi misi yang sangat agung, diberikan langsung oleh Tuhannya.

Jalaluddin Rumi melihat bahwa amanat yang dimaksud adalah kehendak bebas manusia, manusia dapat melakukan apapun untuk menjalan misi dari Tuhannya. Dalam menjalankan misinya, manusia dikaruniai dengan pedoman untuk menjaga dan bertugas dalam mengemban amanah Tuhan. Hal ini untuk menyeimbangkan dua dimensional yang dimiliki oleh manusia, sehingga seimbang, tidak cenderung kepada akhirat secara total, tidak mengurusi kehidupan di dunia semata. Wallahu a’lam.

Editor: Nabhan

Baca Juga  Membaca Edgar Morin, Mengeja Kemanusiaan
Avatar
3 posts

About author
Mahasiswa Hukum Keluarga Islam, Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Muhammadiyah Bandung
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *