Perspektif

Politik Ketulusan: Belajar dari Warkop DKI dan Gus Dur

7 Mins read

Ada satu pertanyaan iseng: kenapa film Warkop DKI masih ditonton orang sampai tahun 2020? Jawabannya satu: ketulusan. Personil utamanya, Dono (Wahjoe Sardono), Kasino (Kasino Hadiwibowo), dan Indro (Indrodjojo Kusumonegoro) menunjukkan passion yang tulus untuk menghibur masyarakat Indonesia lewat film komedi pada dekade ketiga pasca Indonesia merdeka. Warkop DKI pun selalu dikenang bahkan puluhan tahun setelah film-film mereka ditayangkan.

Politik Ketulusan Warkop DKI

Dalam komedi, grup lawak Warkop DKI itu memainkan politik yang tulus. Mereka beradu peran dalam 30 film dengan tulus, nyaris tidak dibuat-buat, walaupun kita tahu bahwa film pastinya dibuat-buat. Beda jauh dengan film remake (produksi ulang)–atau yang sejenisnya–yang berusaha melucu tapi tidak terlihat lucu. Kenapa bisa gitu? “Because the legend can’t be replaced,” jawab seorang netizen.

Di antara film Warkop DKI yang paling ikonik dan masih ditonton orang adalah: Mana Tahaan (1973), Gengsi Dong (1980), Geer-Gede Rasa (1980), Pintar Pintar Bodoh (1980), Manusia 6 Juta Dollar (1981), IQ Jongkok (1981), Setan Kredit (1982), dan Chips (1982).

Di Instagram, bahkan ada banyak akun fansbase film yang menampilkan potongan pendek dari film mereka. Ketika Indro Warkop menulis 40 tahun Warkop DKI di akun Instagram @indrowarkop_asli, ada 2,268 akun yang komentar di bawahnya.

Dalam seni peran, ketulusan perlu hadir agar masuk ke dalam hati penonton, pun demikian halnya dalam politik praktis. Siapa yang ingin berpolitik maka dia harus menunjukkan ketulusan. Beberapa referensi terkait bagaimana mendapatkan pemilih itu menjelaskan ketulusan.

Dalam politik modern, ketulusan sang politisi dibingkai oleh tim sukses. Semaksimal mungkin seorang tokoh yang sedang diorbitkan diatur cara bicara, cara jalan, cara makan, cara menanggapi wartawan, hingga bagaimana pakaian yang pantas untuk meraih citra tertentu.

Ketulusan itu kemudian akan diuji ketika hasil pemilu keluar. Setelah berhasil, dia akan diuji apakah tetap tulus seperti citranya yang dulu, atau tidak. Pun ketika dia gagal, dia juga diuji apakah tetap tulus atau tidak. Mungkin benar kata novelis Irlandia Oscar Wilde: “A little sincerity is a dangerous thing, and a great deal of it is absolutely fatal.” Terlalu sedikit ketulusan itu bahaya, tapi terlalu banyak juga bisa fatal.

Satu kasus misalnya, ada seorang politisi yang sebelum kampanye memberikan bantuan kepada rumah ibadah. Tapi, ketika tidak terpilih, bantuan itu diambilnya lagi. Padahal, masyarakat telah menikmati bantuan politis tersebut. Kasus lain, seorang politisi memberikan televisi untuk beberapa kantong suara. Ketika gagal, televisi itu diambilnya lagi.

Ujian Ketulusan Politisi

Di sini, ketulusan seorang politisi betul-betul diuji. Apakah dia tulus dalam ucapan dan tindakan ataukah hanya sekedar pemanis saja untuk mendapatkan tujuan politisnya. Problem yang muncul adalah, ketika politisi ternyata tidak tulus, maka masyarakat terbagi dua, ada yang tetap memilihnya lagi pada pemilihan selanjutnya, atau ada yang sudah antipati. Kedua tipe itu ada dalam masyarakat kita.

Elizabeth Markovits dalam bukunya, The Politics of Sincerity: Plato, Frank Speech, and Democratic Judgment (2008) menyoroti bahwa kebohongan pejabat publik berdampak pada sinisme publik yang mendalam tentang politik. Sinisme itu, dalam konteks masyarakat modern, terlihat misalnya dari berbagai meme–cuplikan gambar dari berbagai media yang dimodifikasi untuk menghibur–yang disebarkan di media sosial, status dan tweet, serta berbagai komentar yang terlihat tidak berguna tapi mengandung pesan.

Baca Juga  The World's Most Refined Mountaineering Equipmen

Ketulusan seorang pejabat publik menjadi tanda bahwa dia berdedikasi pada kebenaran. Jika terlihat tidak tulus atau peralihan dari ketulusan pada ketidaktulusan, maka muncul kesan publik bahwa sang pejabat atau politisi itu tidak punya dedikasi pada kebenaran. Bisa jadi, ia hanya fokus untuk melayani kepentingan oligarki sebagai yang utama dan kebutuhan masyarakat nomor yang kesekian.

Dalam konteks relasi antar-agama juga memperlihatkan pentingnya ketulusan. Seorang yang sebutlah dikatakan menghujat atau menista agama umumnya akan diminta untuk menyampaikan permohonan maaf. Ketika disampaikan permohonan maaf itu, akan terlihat apakah yang bersangkutan tulus atau tidak.

Minimal, ketika permohonan maaf telah terucap masyarakat akan tenang. Hasrat mereka untuk melawan jadi terkendali, akan tetapi hal itu harus dilanjutkan dengan komunikasi. Tanpa adanya komunikasi yang berlanjut permohonan maaf itu hanya akan jadi ‘bom waktu’ bagi konflik di masa datang.

Hal itu terlihat misalnya pada kasus resistensi terhadap tokoh publik–yang pernah dianggap menghina agama–dan tidak ada komunikasi lanjutan yang hangat seperti ngopi bareng. Padahal, ngopi bareng tidak perlu mengeluarkan biaya besar. Hanya perlu hati yang besar di antara semua pihak untuk saling memaafkan, saling menerima, dan selanjutnya bersepakat untuk membangun interaksi baru yang lebih hangat dan bersahabat.

Selama komunikasi itu terputus maka stereotype akan muncul. Rasa curiga akan lahir, tumbuh, terus besar, dan akan melahirkan konflik lanjutan di masa datang. Kebuntuan komunikasi sering sekali menjadi pemicu dari lahirnya konflik lanjutan di masa datang.

Politik Ketulusan ala Gus Dur

Presiden Abdurrahman Wahid (1940-2009) adalah pribadi unik yang menunjukkan politik ketulusan. Dia memperjuangkan demokrasi bukan untuk kaya, tapi untuk masyarakat sejahtera. Jika mau kaya, sudah dimana-mana hartanya. Tapi, bukan itu maunya. Itu terlalu kecil bagi cucu pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari itu.

Satu lagi, Gus Dur menampilkan ketulusan yang dibalut dengan humor politik tidak hanya untuk memecah ketegangan tetapi untuk menciptakan ‘cara sikap baru’ menghadapi krisis. Terlihat tidak masuk akal bagi sebagian orang, tapi jika dicermati lagi, ada logika, etika, dan estetika di situ.

Muhammad Zikra dalam buku Tertawa Bersama Gu Dur: Humornya Kiai Indonesia (2010), diceritakan politik ketulusan dan humor kiai NU tersebut. Suatu ketika, Gus Dur berceramah pada pernikahan putra seorang kiai di Probolinggo, Jawa Timur dan mengatakan bahwa semua presiden RI itu KKN. Orang tahu, KKN itu akronim dari korupsi, kolusi, nepotisme.

“Kok bisa?” tanya Gus Dur. Dia jawab: “Ya presiden pertama (Soekarno) itu saya katakan Kanan Kiri Nona (KKN). Presiden kedua (Soeharto) juga KKN, tapi yang ini Kanan Kiri Nabrak. Yang ketiga (Habibie) malah lebih parah lagi, Kecil-Kecil Nekad. Yang keempat anda sudah tahu semua, Kanan Kiri Nuntun. Yang terakhir, yang satu ini (sambil tertegun beberapa saat) Kayak Kuda Nil.”

Baca Juga  Tiga Pendekar dari Jombang: Cak Nur, Gus Dur, dan Cak Nun

Memperjelas itu, kata Gus Dur, kuda nil memiliki ciri-ciri seperti: bertubuh besar, senang berendam, kurang gerak dan jarang ngomong. Selain di buku M. Zikra dan Noel, Mati Ketawa Gaya Indonesia (2009), humor Gus Dur juga dapat dibaca misalnya di laman merdeka.com (4/12/2013)

Humor itu disambut tawa dari semua hadirin. Begitulah model humor tulus natural dari seorang Gus Dur. Sejarah menunjukkan bahwa relasi Gus Dur dengan para presiden itu tidak selalu harmonis, pernah juga tegang. Tapi, itu hal biasa dalam politik. Bagaimapun humor Gus Dur, orang sudah paham bahwa beliau memang senang humor, dan statement itu tidak perlu ditanggapi dengan tegang urat.

Guyonan Soal Terorisme

Soal terorisme, Gus Dur juga pernah guyon. Katanya, aksi teroris saat ini (tahun itu, 2006) sudah tidak ada lagi. Kenapa demikian? Karena semua teroris sudah jadi menteri, katanya. Siapa teroris yang jadi menteri itu, adalah mereka yang dulu pekerjaannya menakuti rakyat Indonesia. Ada kritikan mendalam bahwa kritikus politik adakalanya tujuannya adalah jabatan.

Ada semacam keinginan untuk menertawakan diri sendiri. Gus Dur menunjukkan kepada publik Indonesia bahwa kita ini bukan siapa-siapa. Sebagai manusia kita bisa benar dan bisa salah. Maka, dalam hidup tidak perlu terlalu dijalani dengan tegang, apalagi dalam politik. Jalur ketulusan ala Gus Dur itu belakangan hilang dalam publik kita ketika di mana-mana orang lebih cepat panasan, naik darah, alias ngegas.

Dalam antropologi, humor seperti ini masuk dalam kajian Folklor Indonesia. Pioneer-nya adalah Antropolog UI James Danandjaja (1934-2013) yang menulis buku ‘Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain’ (1984). Sayang di Indonesia kajian ini tidak berkembang dalam antropologi ketimbang antropologi politik, agama, ekologi, maritim, dan sebagainya.

Padahal, kajian folklor ini tidak cuma mendokumentasikan berbagai cerita rakyat tapi juga membantu kita ‘melihat Indonesia’ dari kacamata gosip, humor, legenda, seni rupa, dongeng, dan lain-lain. Dalam antropologi, ‘hal-hal remeh’ seperti itu terlihat seperti sampah, tapi jika diolah sedemikian rupa ‘sampah’ itu bisa berubah menjadi emas. Selalu ada makna di balik tindakan manusia, begitu prinsipnya. Dan, tugas ilmuwan adalah menafsirkan apa makna dari peristiwa kebudayaan tersebut.

Humor Bersama Fidel Castro

Ketika bertemu Presiden Kuba, Fidel Castro, tulis Mahfud MD dalam bukunya Setahun Bersama Gus Dur (2010), Gus Dur memancing humor juga yang menarik, tulus, dan cerdas. Jarang sekali pejabat publik yang punya kecerdasan humor seperti ini.

Gus Dur cerita soal empat orang yang pernah jadi presiden Indonesia itu punya masalah gila. Presiden pertama (Soekarno) disebut gila wanita. Presiden kedua (Soeharto) disebut gila harta. Presiden ketiga (B.J. Habibie) disebut gila sungguhan. Keempat, dirinya sendiri adalah membuat orang lain gila atau yang memilih yang gila.

“Anda masuk kategori yang mana?” tanya Gus Dur pada Castro. “Saya yang ketiga atau yang keempat,” jawab Castro sambil tertawa ngakak.

Baca Juga  Prabu Basukarno, Gus Dur, dan Panduan Etis Menghadapi Politisasi Identitas

Di lain waktu, Gus Dur bertemu Habibie. Ia diminta cerita guyonan yang pernah dilontarkan kepada Presiden Castro. Karena terkejut dan risih untuk cerita humor itu, Gus Dur kemudian bercerita humor yang telah dimodifikasinya. Di depan Habibie, dia berkata: “Presiden pertama (Soekarno) adalah negarawan. Presiden kedua (Soeharto) adalah hartawan. Presiden ketika (Habibie) adalah ilmuwan. Sedangkan saya sebagai presiden keempat adalah wisatawan.” Orang-orang pada ketawa dengar itu.

Saat jadi presiden, Gus Dur memang termasuk sering jalan-jalan ke luar negeri. Saat ini, harus kita akui bahwa publik kita tidak lagi dihiasi dengan humor. Semua jadi terlalu tegang. Kita jadi rindu politik ketulusan berbingkai humor seperti Presiden Gus Dur. “Cara mudah mengenang Gus Dur bisa jadi lewat candaannya yang khas,” tulis laman Intisari Online (7/3/2017).

Maaf, Ketulusan, dan Pernyataan Presiden Macron

Sekarang kita kembali pada ketulusan. Dalam konteks pernyataan Presiden Macron yang dianggap melukai umat Islam, Presiden Joko Widodo bahkan mendesak Presiden Prancis itu untuk meminta maaf dan mencabut ucapannya yang melukai itu. Ucapan ‘krisis Islam’ yang menjadi masalah, bukan pada ucapan terkait pelaku teror dari apa yang disebutnya sebagai ‘islamis radikal.’

Desakan Presiden Jokowi itu tidak meminta ketulusan secara verbal. Artinya, asal Macron meminta maaf, itu sudah selesai. Tulus atau tidak tulus itu urusan nanti. Mungkin, Macron harus mencari kalimat yang tepat agar dia tetap menjaga laicite Paris sekaligus menjaga relasi dengan negara-negara Islam atau mayoritas berpenduduk muslim.

Pernyataan Pak Jokowi itu masuk akal, karena dampak dari perasaan umat Islam yang terhina itu bisa jadi bola liar. Kaum moderat bisa bersepakat untuk katakan tidak pada kekerasan, tapi tidak semua orang bisa melakukan itu di zaman ketika penyebaran berita provokatif tersebar begitu cepat. Langkah politis dengan retorika ketulusan perlu diambil untuk menurunkan tensi ini sekaligus mengantisipasi agar kejadian ini tidak jadi akumulasi dari kebencian di masa datang.

Pertanyaan antropologis pun diajukan: “What does it mean to be human?” Apa arti menjadi manusia? Tak kurang dari Lavenda, Schultz, dan Zutter (2011, 2014, 2020) menanyakan itu dalam buku mereka: Anthropology. Menjadi manusia adalah menjadi pemilik kebajikan dalam pikiran dan tindakan yang jujur dan tulus.

Kata ‘menjadi’ kita pakai sebagai bentuk perjuangan manusia untuk menemukan sisi-sisi kesejatian yang inheren dalam dirinya. Dalam proses itu, mereka pun berstrategi menjadi tulus demi tercukupnya berbagai kebutuhan hidup sebagai pribadi maupun asosiasi.

Ketulusan pada akhirnya bisa bermakna politik, yakni suatu cara unik untuk meraih capaian hidup lewat penerimaan orang lain. Ketulusan selain bernilai insani, dia juga mengandung nilai politis yang berguna tidak hanya demi keuntungan elektoral tapi juga untuk kehidupan survival kita sebagai makhluk sosial. Tentang ketulusan ini, kita bisa belajar dari Warkop DKI dan Gus Dur.

Editor: Nabhan

Yanuardi Syukur
13 posts

About author
Pengajar Antropologi Sosial Universitas Khairun, Ternate dan Kandidat Doktor Antropologi FISIP UI.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds