Feature

Ngapain Boikot Kalau Tak Mampu Membeli?

2 Mins read

Judul Ngapain Boikot Kalau Tak Mampu Membeli di atas merupakan pertanyaan saya sebagai bagian dari kelas menengah yang belum bisa naik-naik. Ini karena, kebanyakan dari produk-produk Prancis levelnya untuk kelas atas, bukan level menengah ke bawah. Kalaupun ada ya Aqua Galon. Namun, level kelas seperti saya tidak akan benar-benar mau boikot Aqua galon di tengah isi ulang produk Danone.

Ini karena, ketika ingin isi ulang, apakah galon Aqua sudah ada warung di terkecil? Bahkan, tidak sedikit, termasuk saya, yang mengisi ulang galon Aqua dengan air mineral isi ulang warung terdekat yang harganya mungkin cuma 4.000-6.000 rupiah. Saat isi ulang dengan harga murah ini toh tidak banyak orang yang tahu, karena mereknya ya tetap Aqua. Di luar kota-kota besar, produk-produk air mineral merek lokal jauh lebih banyak digunakan dan laris manis, karena memang murah dan cukup higienis untuk dikonsumsi. Jadi, ngapain boikot kalau nyatanya tak mampu membeli?

Ngapain Boikot?

Kalaupun ingin memboikot Carefour, saya dan istri juga udah jarang ke sana, apalagi kelas bawah. Alasannya? Perbandingan harga! Kalau ada yang lebih murah, kenapa milih yang agak mahal untuk barang konsumsi bulanan? Perbedaan harganya diakumulasikan bisa hemat 400-600 ribu dalam satu bulan. Bahkan, di tengah pandemi begini, mending membeli barang-barang di warung tetangga; jauh lebih murah sekaligus membantu penghidupan perekonomian. Begitu juga dengan boikot Pom Bensin Total. Selama masih ada Pertamina dengan bensin pertalite, ngapain isi bensin di Total?

Boikot ini sebenarnya sangat cocok untuk kelompok Islam dan ustaz/ustazah kelas menengah ke atas. Selain mereka memiliki barang-barang yang disebutkan tersebut, mereka juga kelas yang memungkinkan untuk mengakses barang-barang tersebut. Jika mereka benar-benar memboikot itu merupakan pilihan ideologi yang sangat keren. Ini karena, selain bentuk perlawanan, mereka bisa menentang lebih lanjut kapitalisme global.

Baca Juga  Problem Penghinaan Nabi Muhammad di Prancis

Meskipun saya akui, hal itu rasanya sulit. Ini karena, pemaknaan hijrah lebih dimaknai perubahan kepada kesalehan internal. Bukan pada perubahan perspektif untuk melihat ekonomi yang mengancam dalam pandangan Islam sekaligus inisiatif untuk membuat tandingannya.

Sementara itu untuk level kebanyakan dan lebih bawah, boikot kepada produk-produk Prancis itu sebenarnya menegaskan atas sejumlah barang yang memang mereka tidak miliki apalagi konsumsi. Meskipun yang harus diapresiasi adalah bentuk sikap politiknya; biar missqueen yang penting melawan. Sikap perlawanan terhadap ekonomi politik yang seharusnya tidak melulu terkait dengan politik identitas, melainkan harus ditransformasikan melalui perlawanan kelas terhadap struktur politik ekonomi yang tidak adil. Dalam konteks ini, saya pasti mendukung aksi boikot.

Dimulai dari Kelas Menengah Atas

Itu, sekali lagi, harus dimulai dengan kelompok Islam menengah atas, khususnya para artis yang berhijrah dan ustaz/ustazah dengan ekonomi kelas menengah atas. Pemboikotan itu tentu saja akan mengubah gaya hidup kelas mereka, meskipun, sekali lagi, rasanya tidak mungkin. Mengapa? Mana ada yang mau galon Aqua isi ulang dengan air mineral produk lokal harganya 4 ribuan? Kalaupun ada, kemungkinannya dua; sedang bikin video YouTube atau shooting untuk sinetron/film.

Karena itu saya masih sangat yakin, dalam pola konsumsi, masyarakat Muslim Indonesia sebenarnya tidak mengenal merek. Ini karena mereka memiliki prinsip; yang penting murah. Nah, persoalannya, ketika yang penting murah dan kebetulan produknya bagus, itu kebanyakan dari China; yang secara nama memiliki stereotip buruk dan dalam sejarah. Benar-benar dibenci dan berusaha dihilangkan.

Namun, sekali lagi, karena produk-produk China itu murah sekaligus bagus. Tidak ada yang pernah untuk melakukan pemboikotan terhadap produk-produk China, bahkan ketika ada kelompok Muslim Uighur “ditindas”. Kita juga tidak pernah melakukan kampanye kalau menggunakan ponsel-ponsel buatan China mendukung ideologi komunis kan? Sebaliknya, justru gawai murah dan berkualitas ini yang mendukung ibadah kita menjadi khusyu’; mendengarkan bacaan ayat-ayat Alquran dari video Ammar TV, menyimak tausiyah ustadz-uztadzah dari YouTube, dan berjualan produk-produk Islami di warung-warung online.

Baca Juga  Pandangan Dunia Charlie Hebdo

Editor: Nabhan

Avatar
83 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *