Inspiring

Gus Dur dan Kebiasaan Nongkrong di Kedai Kopi

3 Mins read

Sepertinya kita perlu meredefinisi kata nongkrong. Nongkrong yang biasa dilakukan anak muda dimaknai para orang tua sebagai kelakuan yang lebih banyak menawarkan mudarat ketimbang manfaat. Hal itu tentu ada latar belakangnya. Dan yang melatarbelakangi lahirnya anggapan itu tentu para pelakunya, yaitu kita yang masih tergolong anak muda.

Definisi Nongkrong

Kita, anak muda dalam jumlah jamak, mungkin membiasakan nongkrong dengan agenda-agenda “biasa” di dalamnya. Kita menghabiskan waktu menongkrong bahkan sampai malam hanya untuk mengobrol ringan dan ngalor-ngidul tanpa juntrungan. Terkadang sesekali membicarakan orang dan menertawakannya.

Hal itulah yang dianggap hanya membuang-buang waktu. Alih-alih belajar atau bekerja, eh malah nongkrong tidak jelas, mungkin begitu keluh orang tua kita. Maka, tidak heran kalau ada orang tua yang menggerutu dan tidak suka kalau anaknya rajin nongkrong. Wong isinya hal-hal tidak penting.

Tapi, kabar baiknya adalah masih ada anak muda yang punya kebiasaan nongkrong dengan isi obrolan yang berbobot. Nongkrong adalah istilah lebih ringan dan luwes dari diskusi.

Kalau saja isi dari nongkrong adalah diskusi, apalagi diskusi perihal hal-hal yang “berat” seperti agama, budaya, sastra, hingga filsafat. Saya yakin orang tua akan menyuruh anaknya untuk rajin-rajin menongkrong. Menongkrong atau berdiskusi itulah yang biasa dilakukan Gus Dur sejak muda.

Dikatakan oleh Greg Barton dalam bukunya Biografi Gus Dur, bahwa Gus Dur secara intens berdiskusi dengan teman-temannya dari lintas negara sejak ia kuliah di Al-Azhar Kairo.

Gus Dur, ketika itu malas mengikuti kelas bahasa Arab di kampus. Kemalasannya bukan lahir karena enggan belajar, tapi lebih karena bahasa Arab yang diajarkan sudah ia kuasai sejak mondok di sejumlah pesantren di Jawa.

Baca Juga  Achmad Soebardjo, Menteri Luar Negeri Pertama Indonesia

Daripada “membuang waktunya” dengan belajar sesuatu yang sudah dipahaminya, ia lebih memilih jalan-jalan dan berdiskusi di kedai-kedai kopi.

Kebiasaan Nongkrong Gus Dur di Kairo

Di Kairo, Gus Dur menumpahkan rasa kecewanya terhadap pelajaran di kelas dengan berdiskusi bersama para mahasiswa dan kaum intelektual di kedai-kedai kopi di Kota Kairo.

Ia dan teman-teman diskusinya punya diskursus yang menarik, termasuk mengobrol tentang karya-karya Marx dan Lenin; yang hari-hari ini buah pikir mereka dikhawatirkan tumbuh kembali di bangsa ini.

Mungkin, satu hal yang paling berpengaruh dalam peningkatan intelektualitas Gus Dur di Kairo adalah kebiasaannya berdiskusi di kedai-kedai kopi. Ia mampu melumat banyak buku di sana.

Ketika ia tidak terlalu banyak mendapat kucuran ilmu pengetahuan dari kelas formal karena kemajuan pikirannya, ia merasa mendapat manfaat dari lingkungan sosial dan intelektual di Kairo.

Ketika berpindah ke Baghdad pun, khususnya ketika kuliah di Universitas Baghdad, Gus Dur tetap keranjingan diskusi. Ia gemar menguliti pemikiran dan pengetahuannya dengan berdialog bahkan berdebat dengan kawan-kawannya di sana.

Hal itu sangat didukung oleh atmosfer intelektual yang progresif di Baghdad, kegiatan pertukaran pikiran dilakukan secara terbuka dan masif.

Gus Dur di Baghdad sibuk. Selain berkuliah dan mengerjakan tugas makalah yang mengharuskannya banyak membaca buku, ia pun bekerja sebagai penerjemah di sebuah perusahaan yang bernama Ar-Rahmadani.

Kecendekiawanannya terus terasah dengan seabreg aktivitas intelektualnya; membaca, menulis makalah, dan menulis esai untuk untuk sejumlah media di Indonesia.

Sesibuk apapun kegiatan Gus Dur di Baghdad, ia selalu menyempatkan waktu untuk menongkrong sambil ngopi dan diskusi di tepi Sungai Tigris.

Ia tidak lewatkan kesempatan terlibat dalam diskusi-diskusi di kedai kopi untuk mengasah ketajaman analisis dan kecakapan intelektualnya. Makin matanglah ia sebagai seorang cendekiawan muslim, yang kemudian semakin terbukti ketika berkiprah dan berkarya di Indonesia.

Baca Juga  Rekreasi Intelektual: Membaca Pemikiran KH Muchtar Adam

Belajar dari Gus Dur, Sang Guru Bangsa

Gus Dur punya gelar yang tidak semua tokoh mempunyainya, “guru bangsa”.

Ia mengajarkan hal-hal besar seperti kemanusiaan, keberagaman, hingga kemodernan. Dari pemikiran dan konsep-konsep besar itulah kita bisa merumuskan dan mendefinisikan ulang sesuai konteks yang lebih kontemporer.

Gelar guru bangsa yang kita sematkan kepada Gus Dur, jangan membuat kita hanya mencermati ide dan gagasan besarnya saja. Tapi juga menelisik kebiasaan hidupnya sampai pada yang paling kecil.

Termasuk kebiasaan Gus Dur muda yang gemar nongkrong dan diskusi di kedai kopi. Berkat kebiasaan itulah ia tumbuh sebagai tokoh yang punya pengaruh besar terhadap wacana pemikiran bangsa.

Kalau hari ini nongkrong lebih punya konotasi yang negatif, maka kita sebagai anak muda gagal memberi arti pada kata nongkrong. Kita, mungkin, lebih sering menampakkan sisi negatif dari nongkrong. Sehingga golongan tua gagal paham tentang apa yang kita lakukan pada saat menongkrong.

Nongkrong harus punya citra yang baik. Jangan sampai kegiatan nongkrong selalu diasosiasikan dengan kelakuan negatif. Nongkrong harus kita redefinisi menjadi sebuah kegiatan intelektual yang santai; membahas hal yang berat sampai ringan diselingi canda tawa.

***

Dalam usaha redefinisi makna nongkrong, kita perlu belajar banyak kepada Gus Dur. Bahwa ia sebagai pribadi yang penuh humor, tapi punya pemikiran yang sangat dalam, kritis, dan cerdas.

Ia menghidupkan tongkrongannya tidak dengan membicarakan orang, tapi membahas pemikiran para pemikir dunia. Ia tidak sekadar mengisi tongkrongannya dengan jokes tidak bermutu, tapi jokes satir yang bisa mengocok perut sekaligus membuat merenung.

Hidupkanlah tongkrongan-tongkrongan di burjo, angkringan, hingga kafe dengan obrolan yang menggugah nalar. Dengan begitu, nongkrong yang biasa kita lakukan akan sedikit banyak membuat kita lebih cerdas.

Baca Juga  Abdul Kadir dan Fachrodin: Kisah Ramuan Obat dari Tembakau

Kalau orang tua bisa merasakannya, kita tidak akan segan meminta izin untuk nongkrong. Atau orang tua malah akan sering menyuruh kita untuk menongkrong.

Hush, nongkrong sana! Biar pintar!” perintah mereka.

Editor: Zahra

Avatar
3 posts

About author
Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
Articles
Related posts
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *